Foto-foto Kongres IKOHI II - Photoes from the 2nd Congress of IKOHI
Berikut beberapa foto dari Kongres IKOHI II: Below are some pictures taken during the 2nd congress of IKOHI: Bersanding di pelaminan pembicara : Hasbi, Mugiyanto (Ketua IKOHI), Zomroetin (Komisioner Komnas HAM), Usman Hamid (Ketua BP KontraS), dan Wilson (Praxis). Sitting as panelists from the left : Hasbi, Mugiyanto (Chairperson of IKOHI), Zomroetin (Commissioner of National Commission on Human Rights), Usman Hamid (Head of Exceutive Body of KontraS), and Wilson (Praxis).
Wujud piala IKOHI Award. This is the IKOHI Award.
Mbak Suciwati dengan piala IKOHI Award yang kali ini dianugerahkan kepada Alm. Munir atas dedikasi dan pengorbanannya untuk penegakkan HAM di Indonesia. Ms. Suciwati holds the IKOHI Award which for this year is being awarded to the late Munir for his dedication in the field of human rights in Indonesia Inilah rombongan dari Jawa Timur Delegates from East Java. Keluarga Herman Hendrawan dari Bangka, Sumatra. Families of Herman Hendrawan from Bangka, Sumatra.
Rombongan Sulawesi Tengah beraksi. Delegates from Central Sulawesi in action.
Bapak Masoka dari Papua. Mr. Masoka from Papua.
Ari dari Kalimantan. Ari from Kalimantan (Borneo).
SIARAN PERS N0. 01/stat/ikohi/III/06
HASIL-HASIL KONGRES II IKATAN KELUARGA ORANG HILANG INDONESIA dan PENYERAHAN IKOHI AWARD KEPADA MUNIR
Solidaritas Korban Melawan Impunitas! Dari tanggal 7 s/d 10 Maret 2006 yang lalu, bertempat di LEC Athirah, bumi merah Makassar, telah diselenggarakan Kongres ke II Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI). Kongres ke II ini mengambil tema “Mengembangkan dan Memperkuat Organisasi Korban Pelanggaran HAM untuk Merebut Keadilan dan Kebenaran serta Melawan Impunitas.” Tema ini diambil sebab sampai detik ini impunitas masih menjadi masalah utama dalam upaya menegakkan, melindungi dan memajukan Hak Asasi Manusia. Berbagai upaya masyarakat sipil Indonesia, termasuk komunitas korban pelanggaran HAM untuk mendapatkan keadilan selalu membentur tembok tebal yang bernama impunitas.
Kongres ini diikuti oleh 72 peserta yang mewakili berbagai korban HAM dari 12 wilayah seperti; Aceh, Lampung, Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Banjarmasin dan Papua. Hadir juga para observer dari berbagai lembaga seperti Kontras, Imparsial, TIFA, ICCO (Belanda), Komnas HAM, LBH Makassar, YLKS Sulsel, Walhi Makassar, Praxis dan aktivis HAM dari Thailand. Berbagai solidarity message (pesan solidaritas dan dukungabn) juga berdatangan dari AJI Jakarta, AMAN, PRP Solo, Australia, Perancis, Belanda, Jerman, Selandia Baru, Amerika Serikat, Filipina, Pakistan, Bolovia , Paraguay dan AFAD
Kongres dibuka oleh Wakil Ketua Komnas HAM Zoemrotin, dilanjutkan dengan Stadium General yang terbuka untuk publik dengan menghadirkan pembicara Zumrotin dari Komnas HAM, Usman Hamid dari Kontras, Hasbi Abdullah dari LBH Makkasar dan Ketua IKOHI, Mugiyanto. Dari stadium general ini disimpulkan dua hal mendasar; Pertama, kondisi HAM di Indonesia masih gelap karena tidak adanya dukungan politik dari eksekutif dan legislatif; reformasi di dalam tubuh militer yang mengalami kemandegan; dan reformasi hukum serta perundanganyang justru tidak berpihak pada korban, tapi melanggengkan impunitas. Kedua, para korban pelanggaran HAM harus menjadi ‘penggerak utama’ dalam gerakan penegakan HAM untuk melawan impunitas.
Setelah itu Kongres II IKOHI memberikan Penghargaan IKOHI (IKOHI Award) kepada almarhum Munir yang diterima oleh istrinya Suciwati. Munir adalah pejuang (dan korban sekaligus) tangguh yang tidak kenal mundur dalam menegakkan HAM di negeri ini, dan yang paling penting lagi, yang membedakan dirinya dengan banyak aktivis HAM yang lain adalah, keberanian, keteguhan dan kedekatannya dengan para korban. Kapanpun dan dimanapun, Munir selalu bersedia bertemu dengan korban pelanggaran HAM, hingga dirinya menjadi bagian dari korban pelanggaran HAM itu sendiri.
Selanjutnya Kongres melalui sidang-sidang komisi dan diputuskan melalui rapat-rapat Pleno menetapkan enam hal penting yang menjadi pedoman dasar bagi organsiasi dan perjuangan IKOHI yaitu; Pertama, pembahasan dan evaluasi atas Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) Badan Pekerja IKOHI masa bakti 2002-2006. Dari LPJ Badan Pekerja ini dapat disimpulkan berbagai capaian-capaian dan rintangan yang dihadapi IKOHI selama periode 2002-2006. Berdasarkan itu semua dapat dilihat berbagai peluang dan kekuatan yang dimiliki IKOHI untuk periode 2006-2009 nanti. Kedua, menetapkan amandemen atas Anggaran Dasar IKOHI. Dalam amandemen in perubahan mendasar adalah gerakan IKOHI diperluas menjadi gerakan korban pelanggaran HAM, tidak hanya penghilangan paksa; dibentuknya Organisasi Daerah IKOHI yang tidak harus bernama IKOHI, pembentukan Presidium mewakili daerah yang berfungsi pengawasan dan konsultatif terhadap Badan Pekerja; Ketiga menetapkan program strategis IKOHI yang meliputi peningkataan kapasitas organisasi, pengorganisasian, jaringan dan solidaritas, pemberdayaan psikologis dan sosial-ekonomi korban dan pendataan; Keempat, Menetapkan resolusi IKOHI; Kelima, Menetapkan Mugiyanto sebagai Ketua Badan Pekerja IKOHI untuk periode 2006-2009 dan Sinnal Blegur sebagai Sekretaris Umum Badan Pekerja untuk periode 2006-2009 secara aklamasi. Ketua dan Sekum terpilih diberi mandat untuk membentuk strukur Badan Pekerja dan Program Kerja IKOHI sesegera mungkin sesuai dengan kebutuhan organisasi dan strategi perjuangan IKOHI kedepan; Terakhir menetapkan anggota presidium transisional periode 2006-2009 yang terdiri dari para perwakilan Organisasi Daerah (Orda) IKOHI yang terdiri dari; Zulkifli Ibrahim mewakili Aceh; Yonas Masoka mewakili Papua; Wilson mewakili Jakarta; Sipon mewakili Jawa Tengah; Sukiswantoro mewakili Jawa Timur; Nurlela mewakili Sulawesi Tengah dan Ismail Asegaf mewakili Sulawesi Selatan.
Dalam tiga bulan kedepan prioritas organisasi IKOHI adalah; Pertama, mensosialiasikan hasil-hasil kongres di organisasi daerah, baik yang sudah memiliki struktur maupun yang masih berbentuk koordinator wilayah; Kedua, membuat Rencana Kerja Daerah dan Rencana Kerja Nasional sebagai implementasi keputusan-keputusan Kongres II IKOHI menyangkut organisasi, program strategis dan resolusi. Ketiga, mulai mengkoordinasikan kepengurusan Badan Pekerja di pusat dan daerah-daerah serta melakukan konsultasi dengan Presidium bila diperlukan. Keempat, mulai merespon isu-isu strategis yang disepakati saat Kongres, yang meliputi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Pengoptimalan Pengadilan HAM, pemberdayaan korban dan pembangunan solidaritas korban.
Demikianlah pokok-pokok mendasar yang telah diputuskan dalam Kongres ke II IKOHI di Makassar. Semoga semua keputusan-kepuutsan yang diambil tersebut mampu menyatukan dan memberdayakan para korban pelanggaran HAM sebagai aktor utama dari penegakan HAM di negeri ini. Semoga pula para pengambil keputusan politik di legislatif dan eksekutif serta media dapat menjadi bagian dari perjuangan korban.
Jakarta, 16 Maret 2006
Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia
Ketua (Mugiyanto)
Sekretaris Umum (Sinnal Blegur)
RESOLUSI KONGRES II IKOHI
Makassar, 7-10 Maret 2006 Stop Impunitas dan Kekerasan Negara, Tegakkan Hak-Hak Korban Sekarang Juga Kekerasan negara atas masyarakat sipil, pelanggaran HAM yang meluas secara geografis dan dalam rentang waktu yang lama serta penghancuran demokrasi dan hak-hak sipil di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan negara yang dikomando dan didominasi oleh para elit politik berlatar belakang militer dan kepolisian selama 32 tahun kekuasaan rezim orde baru. Sampai sekarang sistem politik ala orde baru dan praktek impunitas masih tetap berlanjut.
Praktik kekerasan negara yang sistematis diawali dengan perebutan kekuasaan yang gagal paska Gerakan 1 Oktober 1965 (Gestok 1965) oleh para perwira menengah di dalam Angkatan Darat atas para jenderal yang mereka sebut sebagai anggota Dewan Jendral. Kejadian ini juga melibatkan politik luar negeri Amerika Serikat. Setelah itu Jendral Suharto dan Angkatan Darat mengambil alih kekusaan politik dan menerapkan sebuah mekanisme kekuasaan yang sarat kekerasan dan pelanggaran HAM.
Rejim Orde Baru lalu menjalankan politik stabilitas sebagai jalan untuk memenangkan kepentingan modal internasional dalam proses pembangunan di Indonesia. Tapi pada praktiknya yang terjadi adalah sebuah proses penghisapan sumber daya alam, sumber daya manusia dan menciptakan ladang Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) diantara para pemilik modal dengan penguasa negara baik sipil maupun militer secara sistematis. Setelah reformasi, militer memang tidak lagi secara langsung duduk di lembaga negara, tapi sistem politik dan praktek otoriter masih tetap dijalankan.
Selama kekuasan Orde Baru, otoritarianisme ini dipraktikkan secara sistematis dan masif dengan pembenaran pada doktrin Dwi Fungsi ABRI/TNI, dimana institusi militer mempunyai wewenang untuk melakukan intervensi dalam berbagai kehidupan masyarakat. Berbagai institusi negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif diisi oleh orang-orang yang berlatar belakang militer atau orang-orang yang dipilih setelah diseleksi oleh penguasa militer. Akibat dari penerapan Dwi Fungsi TNI tersebut adalah terjadinya proses militerisasi berbagai institusi masyarakat sipil, politik dan negara. Akibatnya proses demokrasi dan hak-hak sipil ditindas dan dibenarkan untuk ‘ditiadakan’ dengan alasan demi mengejar laju pertumbuhan ekonomi.
Selain menguasai lapangan sosial-politik dan ekonomi, militer juga menginternalisasi politik kekerasan dan praktek pelanggaran HAM melalui pembentukan Komando Teritorial (Koter). Dalam prakteknya Koter ini menjadi alat untuk mengawasi, menindas, menteror dan mengontrol rakyatnya sendiri dari tingkat desa hingga nasional, mengikuti struktur birokrasi negara. Bahkan dalam momentum pemilu di jaman Orba, Koter juga digerakkan untuk memobilisasi suara guna mendukung partai pemerintah Golkar.
Di bawah sebuah rejim otoriter yang menjadikan institusi kekerasan sebagai poros kehidupan sosial-ekonomi-politik maka tercipta juga tradisi militerisme yang berkembang ke masyarakat sipil melalui berbagai pembentukan ormas pemuda, satgas, milisi-milisi dan berbagai laskar, yang intinya mengadopsi perilaku militeristik kedalam kehidupan kaum sipil. Paska kekuasaan Soeharto, militerisasi sipil ini makin terasa dengan menggunakan berbagai label seperti organisasi pemuda, milisi, organisasi mengatasnamakan agama, organisasi kedaerahan, pam swakarsa atau identitas kebangsaan secara chauvinis.
Politik kekerasan negara yang terorganisir, sistematis, masif, berulang dan berskala luas merupakan watak dari kekuasaan yang menyertai kemunculan berbagai rejim-rejim otoriter di berbagai belahan dunia. Rejim-rejim otoriter mengunakan politik kekerasan, bukan hanya sebagai cara untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaan, tapi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari integrasi sebuah negeri kedalam kepentingan ekonomi global negeri-negeri maju. Karena itu tanggung jawab moral dan etis juga ada di pundak negeri-negeri maju karena selama puluhan tahun telah melakukan ‘pembiaran’, bahkan menjalin kerjasama dengan sebuah pemerintahan yang sarat dengan pelangaran Hak Asasi Manusia, seperti dalam kasus Indonesia.
Pelanggaran HAM Pelanggaran HAM dan politik kekerasan di Indonesia yang luas secara geografi dan terjadi dalam rentang waktu yang lama bukanlah terjadi secara kebetulan, spontan atau karena tindakan individual, tapi memang merupakan suatu strategi, mekanisme dan praktek kekuasaan yang dengan sadar diorganisir dan dijadikan ‘cara’ untuk mengontrol dan menaklukkan masyarakat. Akibat politik stabilitas adalah terjadinya suatu pola dan keberulangan dimana institusi kekerasan yang kebanyakan melibatkan militer (dan kepolisian) dapat melakukan kekerasan di berbagai wilayah yang berbeda dalam berbagai rentang waktu yang panjang, bahkan hingga sekarang.
Dalam praktik pelanggaran HAM yang terjadi dan melibatkan institusi militer, para pelaku utama yang mengambil keputusan politik dan komando operasional selalu luput dari jeratan hukum bahkan sanksi internal organisasi militer sendiri. Militer biasanya lebih suka mengunakan mekanisme pengadilan internal militer dan mengorbankan para prajurit di lapangan sebagai umpan.
Mekanisme Hukum Pelanggaran HAM Semakin kencangnya tuntutan korban pelanggaran HAM dan masyarakat sipil kemudian memaksa pemerintah membuat UU No.26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, untuk mengadili kasus pelanggaran berat HAM. Selanjutnya pada tahun 2004, melalui disahkannya UU N0. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), mekanisme untuk menyelesaikan pelanggaran berat HAM bertambah satu lagi, yaitu melalui KKR seperti contoh di Afrika Selatan.
Namun pembuatan mekanisme Pengadilan HAM dan KKR tersebut tampaknya lebih banyak digunakan oleh pemerintah untuk kebutuhan politik diplomatisnya, ketimbang untuk menyelesaikan problem di masa lalu, membela para korban apalagi untuk mencari keadilan dan kebenaran. Bahkan ada kesan kuat kedua produk UU itu dalam prakteknya akan melegalisir praktek impunitas, dimana para pelaku kejahatan HAM tidak akan pernah di hukum, tapi justru mendapatkan pengampunan. Pola-pola impunitas tergambar secara jelas sebagai berikut:
Pola pertama, pelaku sama sekali tidak disentuh oleh proses hukum. Termasuk dalam kategori ini adalah kasus tragedi kemanusiaan tahun 1965 dan kasus pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) seperti kasus konflik agraria, lingkungan, pendidikan, kesehatan, masyarakat adat dan lain-lain.
Pola kedua, pelaku dibebaskan oleh hakim dalam proses pengadilan, baik di tingkat pertama, banding maupun kasasi. Contoh paling mutahir (13/1/2006), tercatat Mahkamah Agung dalam kasasinya membebaskan Mayor Jenderal (Purn) Pranowo, terdakwa kasus pelanggaran berat HAM pada peristiwa Tanjung Priok tahun 1984. Sebelumnya, pada tanggal 8 dan 9 September 2005 Pengadilan HAM di Makassar untuk kasus Abepura Berdarah juga membebaskan 2 orang terdakwa yaitu Kombes Johny Wainal Usman dan AKBP Daud Sihombing.
Pola ketiga, kasus dipeti-eskan atau dibiarkan mengambang dengan alasan-alasan teknis yuridis-prosedural. Contoh nyata dari pola ini terjadi antara lain pada kasus tragedi Mei 1998 dan kasus Trisakti-Semanggi I dan II yang berhenti di Kejaksaan Agung, kasus Lampung 1989, Bulukumba, dan Manggarai di Komnas HAM, dan yang sangat menonjol akhir-akhir ini adalah kasus pembunuhan aktivis HAM Munir di Kepolisian
Keadilan dan Kebenaran Bagi Korban Dua mekanisme yang tersedia untuk menangani pelanggaran berat HAM (Pengadilan HAM dan KKR) seharusnya bisa digunakan secara maksimal, sehingga hak-hak korban atas keadilan, kebenaran dan pemulihan bisa terpenuhi. Namun di sana sini kami masih melihat berbagai kelemahan pelaksanaan UU Pengadilan HAM, baik ketika sebuah kasus sedang diselidiki oleh Komnas HAM, disidik oleh Kejaksaan, maupun diadili di Pengadilan HAM. Kami bahkan sampai pada kesimpulan bahwa mekanisme pengadilan HAM atas kasus Timor Timur, Tanjung Priok dan Abepura hanya dijadikan sebagai mesin pencuci kesalahan para pelaku, karena semua terdakwa pada akhirnya dibebaskan.
UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga kami lihat masih mengandung banyak kelemahan mendasar yang pada akhirnya menjadikan Komisi tersebut hanya memberikan keuntungan dan keamanan para pelaku pelanggaran berat HAM tanpa ada hasil terungkapnya kebenaran, adanya penghukuman dan adanya pemenuhan hak-hak korban. Karenanya, kami menyimpulkan bahwa dua mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu sebagaimana tersebut dalam UU No. 26 tahun 2000 dan UU No. 27 tahun 2004, belum dapat mengakomodasi kebutuhan, kepentingan dan tunturan para korban pelanggaran HAM.
Dari perspektif IKOHI, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi haruslah diletakkan pada prinsip-prinsip untuk memenuhi standar internasional pertanggungjawaban atas pelanggaran Hak Asasi Manusia di masa lalu. Standar tersebut adalah: the right to know yaitu hak mengetahui bagi korban, the right to justice yaitu hak atas keadilan bagi para korban dan the right to reparation yaitu hak pemulihan bagi para korban.
Bagi para korban, KKR juga bukan hanya sebuah mekanisme untuk berdamai antara korban dan pelaku, tapi lebih jauh lagi harus menciptakan sebuah kewajiban pada negara untuk mengingat (duty to remember) dan selanjutnya mencegah kemungkinan terjadinya keberulangan di masa mendatang (non reoccurrent principal).
Dengan kondisi-kondisi seperti diatas, dalam hubungannya dengan berbagai kasus pelanggaran HAM yang telah dan akan terjadi, maka IKOHI menyatakan:
1. UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR harus direvisi melalui proses uji materiil (Judicial Review), terutama pada pasal-pasal yang menguntungkan pelaku pelanggaran berat HAM dan melanggengkan impunitas. KKR harus memberikan jaminan bagi dipenuhinya hak-hak masyarakat atas kebenaran (the right to know), hak atas keadilan (the right to justice) dan hak korban atas pemulihan (the right to reparation). 2. Melakukan amandemen terhadap UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM atas pasal-pasal yang mempersulit proses-proses pengadilan hak asasi manusia. 3. Mendesak pemerintah untuk mempercepat ratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court-ICC), dari yang rencananya akan dilakukan pada tahun 2008. 4. Mendorong pemerintah Indonesia untuk mendukung disahkannya Konvensi PBB untuk Perlindungan Semua Orang dari Tindak Penghilangan Paksa (United Nations Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearances), oleh Majelis Umum PBB 2006.
Kepada para korban pelangaran HAM, IKOHI menyerukan: 1. Dibentuknya paguyuban-paguyuban korban pelanggaran HAM atau cabang-cabang IKOHI di berbagai wilayah, sebagai wadah berkonsolidasi dan berkoordinasi untuk usaha-usaha mengungkapkan kebenaran, mengadili para pelaku dan merebut hak-hak pemulihan bagi korban, baik itu melalui proses Pengadilan HAM maupun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. 2. Agar melibatkan diri dengan gerakan HAM dan demokrasi yang bersimpati dan mendukung perjuangan penegakan HAM. 3. Melakukan solidaritas di komunitasnya masing-masing atas perjuangan yang sedang dilakukan oleh para korban di daerah atau negara lain. Makassar, 10 Maret 2006
Penghargaan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), 2006
Sekilas tentang penghargaan IKOHI kepada Munir:
Peristiwa pembunuhan politik atas Munir di dalam pesawat Garuda tujuan Belanda 7 September 2004 lalu, kembali mengingatkan kita betapa kekuasaan politik Indonesia tak juga berhenti melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Daftar kejahatan HAM para penguasa politik dan aparat kekerasan Negara akan terus bertambah panjang seiring dengan semakin menguatnya proses impunitas di Indonesia.
Perjuangan berat dan melelahkan dari para korban dan pejuang hak asasi manusia adalah melawan lupa!
Perjuangan untuk merebut penghargaan yang bermartabat bagi kehidupan hak asasi manusia tidak hanya diwujudkan melalui pembangunan gerakan para korban, sebagai salah satu pihak yang berkepentingan langsung, namun harus dibarengi penggalangan dukungan public yang luas untuk terus menerus menuntut penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM. Bila hari ini kejahatan kemanusian menggedor pintu rumah tetangga kita, maka tak mustahil besok ia datang menggedor pintu rumah kita! Terus menggugat, menggalang solidaritas adalah upaya penting untuk melawan lupa dan impunitas!
Untuk itu penghargaan yang diberikan oleh IKOHI kepada Sdr. Alm. Munir merupakan sebagian dari upaya melawan proses tersebut. Sebagaimana telah diketahui oleh khalayak luas, reputasi perjuangan dan karya nyata almarhum di lapangan hak asasi manusia serta demokrasi tak diragukan lagi. Segala resiko politik, kekerasan, intimidasi hanyalah sebuah jalan peneguhan komitmen almarhum untuk tetap berjuang, hingga perjuangan tersebut harus meminta nyawanya sendiri!
IKOHI menilai bahwa segala jejak perjuangan tersebut belumlah cukup menggambarkan secara keseluruhan sosok almarhum!
Sosok Munir bagi para keluarga korban adalah sahabat sejati yang selalu datang dengan empati dan ketulusan untuk terus mendorong perjuangan di jalan yang paling melelahkan. Tak banyak pejuang bertahan terhadap ujian tersebut. Namun Munir berhasil menjaga élan perjuangan para keluarga korban melalui caranya tersebut! Inilah yang membulatkan kami untuk memutuskan memberikan penghargaan.
Sebuah penghargaan yang sangat sederhana, namun mewakili harapan dan semangat juang keluarga korban telah diberikan kepada Munir, dan diterima oleh Suciwati sebagai istri almarhum, di Makassar, 8 Maret 2006. Semoga penghargaan ini menjadi penanda dalam ingatan kolektif kita, untuk terus berjuang melawan lupa dan impunitas! Mari bergandeng tangan merebut martabat kemanusiaan!
Terima kasih,
Jakarta, 16 Maret 2006 Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI)
Diberikan kepada :
Nama :
Tempat Tanggal Lahir:
Keluarga :
Pendidikan Terakhir :
Pengalaman Organisasi : Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Unbraw Malang, 1988 Koordinator wilayah IV Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia, 1989 Anggota Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan Berpikir, Unbraw 1988 Sekertaris Dewan Perwakilan Mahasiswa Hukum UNBRAW, 1988 Sekertaris Al Irsyad cabang Malang, 1988 Divisi Hukum, Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KASUM). Koordinator Komite Solidaritas Untuk Buruh (KSUB) Surabaya, 1994. Anggota Presedium Nasional Komisi Independen Pemantauan Pemilihan Umum, 1997-2000. Anggota Badan Penasehat KOMPAK (Komite Mahasiswa Menentang Kekerasan), 1997- to date. Anggota Dewan Penasehat Formasi (Forum Mahasiswa Syariah Indonesia), 1999-to date. Pendiri dan Koordinator KIPP HAM (Komisi Independen Pemantauan Pelanggaran HAM), 1996. Pada Maret 1998 KIPP HAM dirubah menjadi KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur pada sebelum, selama dan sesudah kerusuhan 1999. Anggota Tim Penyusunan Rancangan Undang-Undang Pengadilan HAM, 2000. Anggota Tim Penyusunan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, 2000.
Karir : Tenaga Relawan LBH Surabaya, 1989. Ketua LBH Surabaya, Pos Malang, 1991. Koordinator Divisi Perburuhan dan Divisi Sipil & Politik LBH Surabaya, 1992-1993. Kepala Bidang Operasional, LBH Surabaya, 1993-1995. Direktur LBH Semarang, 1996. Sekertaris bidang Operasional YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), 1996. Wakil ketua YLBHI bidang Operasional, 1997-2001. Koordinator Badan Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), 1998. Pendiri dan Inisiator Lembaga Perdamaian dan Rekonsiliasi (Lerai) yang menangani kasus konflik horisontal (seperti konflik idi Maluku). Ketua Dewan Pengurus KontraS, 2000-2004. Anggota Dewan Penasehat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste (Commissao de Acolhimento, Verdade e Reconcilicao de Timor Leste (CAVR)), 2003. Executive Director of Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor), 2002-2004. Anggota Kelompok Kerja “ Security Sector Reform ”, Pro-Patria, ...- akhir hayat Anggota Istisyariah Al Irsyad, ..-akhir hayat
Penghargaan : As Leader for the Millennium dari Asia Week, 2000. Man of the Year 1988 dari Majalah UMMAT. Tokoh Terkenal Indonesia abad XX, Majalah Forum Keadilan. Penghargaan Pin Emas sebagai Lulusan UNBRAW yang sukses. The Right Livelihood Award (Alternative Nobel Prizes) untuk promosi HAM dan Kontrol sipil atas militer, Stockholm, December 2000. An Honourable Mention of the 2000 UNESCO Madanjeet Singh Prize atas usaha-usahanya dalam mempromosikan toleransi dan Anti Kekerasan, Paris, November 2000.
Kasus yang pernah ditangani : Penasehat Hukum dan Anggota tim Investigasi dalam kasus Fernando Araujo Dn kawan-kawan di Denpasar. Araujo dituduh sebagai pemberontak melawan pemerintahan Indonesia untuk memerdekakan Timor Timur dari Indonesia, 1992. Penasehat Hukum dalam kasus Jose Antonio de Jesus Dasneves (Samalarua) di Malang, 1994, dengan tuduhan melawan pemerintah RI untu kemerdekaan Timor Timur, 1994. Penasehat Hukum keluarga Marsinah dan sejumlah buruh lainnya di PT. CPS dan menuntut KODAM V Brawijaya atas kekerasan dan pembunuhan terhadap Marsinah, aktivis buruh, 1994. Penasehat Hukum warga Nipah, Madura, dalam kasus Pembunuhan petani-petani oleh Militer, 1993. Penasehat Hukum Sri Bintang Pamungkas (Ketua Umum PUDI) dalam kasus kriminalisasi dengan tuduhan subversi dan gugatan tata usaha negara atas perkara pemecatannya sebagai dosen di Universitas Indonesia, Jakarta, 1997. Penasehat Hukum Muchtar Pakpahan (Ketua Umum SBSI) dalam kasus kriminalisasi dengan tuduhan subversi, Jakarta, 1997. Penasehat Hukum Dita Indah Sari, Coen Hussain Pontoh, Sholeh (ketua PPBI dan anggota PRD) dalam kasus kriminalisasi dengan tuduhan subversi, Surabaya, 1996. Penasehat Hukum mahasiswa dan petani di Pasuruan, dalam kasus kerusuhan di PT. Chief Samsung, dengan tuduhan sebagai otak kerusuhan, 1995. Penasehat Hukum dari 22 buruh PT. Maspion, dalam kasus penyerangan di Sidoarjo, Jawa Timur, 1993. Penasehat Hukum DR George Yunus Adicondro (Dosen Universitas Kristen Satyawacana Salatiga) dalamkasus penghinaan pemerintah, Yogyakarta,1994. Penasehat Hukum Muhadi (Supir yang dituduh melakukan penembakan terhadap seorang polisi, Madura, Jawa Timur, 1994. Penasehat Hukum para korban dan keluarga Korban Penghilangan Orang secara paksa 24 aktivis politik dan mahasiswa di Jakarta, 1997 hingga 1998. Penasehat Hukum korban dan keluarga korban pembantaian dalam tragedi Tanjung Priok 1984, hingga 1998. Penasehat Hukum korban dan keluarga korban penembakan mahasiswa di Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999). Penasehat Hukum dan koordinator advokasi kasus-kasus pelanggaran berat HAM di Aceh, Papua, melalui KontraS. Termasuk beberapa kasus diwilayah Aceh dan Papua yang dihasilkan dari kebijakan operasi Militer. Pada tahun 2004, Munir bergabung dengan tim advokasi SMPN 56 yang digusur oleh Pemda DKI.
NGO declaration on Disappearance Convention
Kawan-kawan yang baik,Ini ada perkembangan ke arah yang tidak mengenakkan sehubungan dengan usaha pengesahan Konvensi Anti Penghilangan Paksa (Draft International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance). Untuk tetap mendesakkan agenda pengesahan Rancangan Konvensi tersebut dalam Sidang Komisi HAM PBB Sesi 62 nanti, kami SANGAT MENGHARAPKAN DUKUNGAN KAWAN-KAWAN SEKALIAN dengan cara mencantumkan nama organisasi, nama Anda dan jabatan Anda dalam petisi tersebut. FIDH sebagai organisasi yang menginisiatifi usaha ini, mengharapkan dukungan tersebut sudah sampai ke mereka hari ini, Kamis, 16 Maret pukul 14.00 waktu Jenewa (atau sekitar pukul 20.00 WIB). Dukungan petisi tersebut harap dikirimkan ke email interngeneva@fidh.org, dengan subjek "NGO declaration on Disappearance Convention".
Demikian permohonan dukungan ini kami sampaikan. Terima kasih.
NB: Petisi terlampir di bagian paling bawah.
Salam hangat, Mugiyanto IKOHI ===============
Dear Colleagues,You will have heard that the opening of the 62nd CHR has been postponed for one week. Discussion is ongoing in the CHR bureau on the modalities of organisation of this last session. A number of countries are advocating for a purely procedural commission, that would not adopt any resolution, but for an omnibus resolution to transfer the work of the Commission to the Human Rights Council.Following this scenario, the draft convention on disappearances would not be adopted at the 62nd session but handed to the Council, its adoption put back to whenever the Council would be operational.ICJ, HRW and FIDH have today addressed a letter to members of the UN Commission on Human rights in Geneva, in order to call on them to adopt the Convention at the 62nd session. Given the state of affairs, we believe necessary to issue a declaration signed by as many organisations as possible, joining the call.I would therefore like to invite you to sign the attached declaration (copied hereunder).* NGOs wishing to sign should send an email to interngeneva@fidh.orgunder the subject "NGO declaration on Disappearance Convention" with the name of the organisation, country where it is based, name and function of the signatory.* Signatures will be collected up till tomorrow afternoon, 14.OO pm Geneva time.
Thank you for responding promptly, and forwarding this email to any other interested organisation.Thanking you for your support,Antoine MadelinFIDH
==================
NGO Declaration
Building protection for the victims of disappearances cannot be held hostage to transitional arrangements NGOs call on Member States to adopt Draft Convention on Enforced Disappearance at the 62nd Commission on Human Rights
We, the undersigned NGOs call on Member States of the UN Commissionon Human Rights to adopt the Draft International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance at the 62nd and ultimate session and to transmit it to the General Assembly for its final adoption.
We fear that the Commission, for reasons of transitional arrangements, would postpone the adoption of the text to hand it to the Council. Yet, we believe that further delaying its adoption would jeopardize it.
Postponing the adoption of such an important text for procedural reasons would be an act of betrayal for the families of victims that have been working for the adoption of the text for many years: building protection for the families of victims cannot be held hostage to transitional arrangements. The Commission has a historical opportunity to adopt the Draft Convention and it should not let it pass.
The Convention fills a huge gap in international law: the absence at the universal level of a treaty addressing the multiple human rights violations and the international crime that is enforced disappearance.
This text, adopted by consensus on 23 September 2005 by the intersessional Working Group established by the Commission, is the result of several years of work of the Working Group. The consensus was reached thanks to the constructive spirit of all delegations. The Draft Convention is now before the Commission for its adoption. Since 1980, when the first ever independent enquiry mechanism of the Commission on Human Rights, the Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances was established, the Commission has made tireless efforts to face this hideous practice of enforced disappearance. In 1992, the Commission adopted the Declaration on the Protection of All Persons from Enforced Disappearance. In 2006, as this work is nearing its end, it would be incomprehensible if the Commission did not renew its commitment against enforced disappearance and did not adopt the Draft International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance.
Signatories 1. International Commission of Jurists, Nicholas Howen, Secretary General 2. F??ation internationale des ligues des droits de l'Homme (FIDH), Sidiki Kaba, President 3. Human Rights Watch, Reed Brody 4. Indonesian Association of Families of the Disappeared (IKOHI), Indonesia, Mugiyanto, Chairperson 5. May 18 Memorial Foundation, South Korea, Agnes Gurning, International Intern
DISAPPEARANCES, NUNCA MAS! Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia - IKOHI Indonesian Association of Families of the Disappeared Jl. Borobudur No. 14, Jakarta 10320 Telp/Fax: +62-21-31904733 Email: kembalikan@yahoo.com, Web: www.ikohi.org JAKARTA - INDONESIA
[KONGRES II IKOHI] Pesan Solidaritas dari Watch Indonesia, Jerman
Watch Indonesia! Arbeitsgruppe für Demokratie, Menschenrechte und Umweltschutz in Indonesien und Osttimor e.V.
Planufer 92 d, 10967 Berlin, Germany Tel./Fax: +49-30-698 17 938 e-mail: watchindonesia@snafu.de http://home.snafu.de/watchin
Solidarity Message kepada kongres IKOHI ke dua di Makassar
Berlin, 5 Maret 2006
Kawan-kawan yang baik!
Terima kasih atas undangan IKOHI yang saya menerima pada 1 Maret. Maaf, dengan jelas saya tidak mungkin datang dengan begitu cepat. Namun bersama ini saya ingin menyampaikan sambutan kepada para hadirin kongres ke dua yang akan berlangsung di Makassar minggu ini.
Penghilangan paksa orang yang kemudian ditahan, disiksa, atau bahkan dibunuh sudah jadi kenyataan kelabu pada saat rezim Suharto. Tidak terhitung jumlah korban masa 1965/66, banyaknya korban di daerah konflik, dan sampai kini belum tuntas pula nasib korban yang diculik pada tahun 1997/98.
Apakah dengan lengsernya Suharto situasi membaik? Apakah dengan sistem yang lebih demokratis penghilangan orang sudah termasuk sejarah? Tidak. Masih banyak juga yang hilang dan dibunuh. Antara lain saya ingat teman kita, Jafar Siddiq yang tahun 2000 hilang secara misterius di Medan. Empat minggu kemudian jenazahnya ditemui di pinggir jalan.
Saya ingat Theys Eluay yang dibunuh di Papua. Dan tentu saja saya ingat sahabat kita, Munir, yang diracun di pesawat Garuda. Belum terhitung banyak korban lain yang hilang dan dibunuh, a.l. di daerah konflik di Aceh, Maluku, Kalimantan, Poso, Papua dll.
Kenapa hampir tidak satupun dari kasus2 tsb. bisa diadili, sehingga para pelaku masih bebas semua?
Ternyata pemilu yang bebas dan langsung belum menjamin demokrasi bermakna. Masih ada aparat-aparat yang agak susah dapat diawasi oleh perwakilan rakyat. Dan masalah ini sama sekali tidak terbatas pada demokrasi baru atau periode transisi.
Saya terkejut bila belajar mengenai penghilangan orang di Jerman belum lama ini. Kok, bahkan di suatu demokrasi stabil dan lama bisa jadi begitu? Kasusnya begini: Khaled Al-Masri, warga negara Jerman keturunan Arab, tahun 2003 naik pesawat dari Jerman ke Skopje, Makedonia. Di perjalanan dia diculik CIA, kemudian ia ditahan dan disiksa di penjara AS di Kabul, Afghanistan. CIA mencurigai Al-Masri sebagai pengikut jaringan Al Qaida. Akhirnya dia bebas juga, karena menurut keterangan AS salah orangnya. Mereka sebenarnya mencari orang lain dengan nama yang mirip atau sama. Sungguh mengerikan!
Namun ada berbagai hal menarik: - kasus ini sudah menjadi bahan diskusi umum di media massa Jerman maupun internasional - semua pihak sadar atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia terhadap Al-Masri - sama sekali tidak dipersoalkan bahwa korban keturunan imigran dan beragama Islam, karena semua orang sama di depan hukum, apalagi warga negara Jerman - semua pihak menyadari juga bahwa tidak relevan pertanyaan apakah korban bersalah atau tidak bersalah, karena orang bersalah pun punya hak - diakui bahwa negara berwajib untuk melindungi hak biasa semua warga negara serta hak asasi manusia semua orang (termasuk orang asing)
Dengan demikian anggota parlamen dari semua fraksi merasa dipanggil untuk membahas berbagai pertanyaan: - apakah instansi negara/pemerintah tahu atau seharusnya bisa tahu mengenai penculikan Al-Masri? - apakah negara dan pemerintah sudah berusaha dengan maksimal untuk melindungi hak2 dasar warga - negaranya? - parlamen berwajib mengawasi pemerintah dan lembaga-lembaga negeri termasuk bahan intelijen. - Namun bagaimana tugas ini bisa diindahkan sambil melindungi pula rahasia negara? - bagaimana parlamen atau lembaga lain bisa mengawasi aktifitas-aktifitas bahan intelijen asing di tanah Jerman?
Sudah berbagai kali ada rapat komisi intelijen di parlamen Jerman di mana anggotanya (dari semua fraksi) bertanya para mentri, pejabat tinggi dan staf bahan intelijen Jerman. Komisi ini punya segala hak informasi tetapi hasil investigasinya tidak boleh diumumkan. Berbagai anggota parlamen tidak puas dengan informasi yang diberikan selama ini, dan khususnya mereka tidak puas karena informasi tsb. tertutup untuk masyarakat banyak. Maka sedang mereka menuntut supaya dibentuk komisi mencari fakta di mana hasil investigasinya boleh diberi tahu kepada umum. Di samping ini Parlamen Eropa juga akan membahas kasus ini.
Mungkin kasus ini menarik sebagai studi banding. Sejelek apapun substansi kasus Al-Masri, menurut saya penting untuk mencatat bahwa parlamen tidak usah didorong oleh ornop seperti IKOHI melainkan anggota parlamen sudah sadar betul atas kewajibannya.
Apa yang dijalankan IKOHI sebenarnya bukan tugas ornop. Seharusnya parlamen dan lembaga2 resmi (kejaksaan, pengadilan dsb.) menjalankan tugas2 ini. Baru kalau begitu sistem di Indonesia adalah demokrasi bermakna.
Nampaknya lembaga-lembaga tsb. kurang mampu atau kurang mau memenuhi tugas yang sebenarnya, sehingga menjadi sangat penting supaya ornop seperti IKOHI mengisi defisit ini. Jadi, IKOHI perlu diakui dan didukung penuh sebagai salah satu pilar utama demi demokrasi bermakna di Indonesia!
Semoga kongres IKOHI bersukses!
Salam solidaritas
Alex FlorWatch Indonesia!, Berlin, Jerman
[KONGRES II IKOHI] Solidarity Message from Truth and Justice Commission, Pakistan
"Farooq Khan" Tue, 28 Feb 2006 12:15:43 +0500
MESSAGE FROM TRUTH AND JUSTICE COMMISSION
We are delighted to know that IKOHI (INDONESIA) IS HOLDIING ITS 2nd CONGRESS ON MARCH 7.10 2006.iT IS OCCASSION OF GREAT IMPORTANCE FOR IKOHI and all of us, who are working for human dignity and honour. Our joint struggle is for a world without disappearances and other human rights violations. This world will never be beautiful, if people suffer and perpetrators enjoy. Life for us is to struggle for a better world, a world with out disappearances, a world with out hunger, a world with out human rights violations. We are sure we will overcome.
Thanks Farooq (truth and justice commission)
[KONGRES II IKOHI] Solidarity Message from HoM, Netherlands
SOLIDARITY MESSAGE For the occasion of the 2nd congress of the Indonesian Association of Families of Disappeared (IKOHI)
Through this message the people working for the Humanist Committee on Human Rights (HOM) and its project Linking Solidarity would like to show their solidarity with our friends from the Indonesian Association of Families of Disappeared and the organisation of the 2nd congress on March 7-10, 2006. We also want to express our feelings of sympathy with all the victims of disappearances in Indonesia.
Linking Solidarity has worked with IKOHI for quite some years. We have witnessed the indispensable work IKOHI carries out to support the victims of disappearnces and their struggle for better protection on the national and international level. We hope that IKOHI will continue to grow and establish new links and ties of solidarity with victims of disappearances in other parts of Asia and around the world.
The strength and willpower of the people working for IKOHI was tested severely with the sad loss of Munir and the serious treats to the lives of some of you. In spite of all this, IKOHI continuous to organise successful activities, that prove that the struggle for truth and justice has persevered and will continue. It however also reflects the sad reality of the difficulties and danger faced by all those who denounce that disappearances are a persistent phenomenon.
As a theme for your 2nd Congress you have chosen ‘Developing and Strengthening Organisations of Victims of Human Rights Violations to Fight for Justice and Truth and Combating Impunity’. We fully support the choice of this theme as we think that a successful struggle for truth and justice in a country depends for a large part on an active movement of strong human rights organisations and dedicated activists.
HOM and Linking Solidarity have great admiration for all those at IKOHI who have been refusing to surrender and just accept that the fate of the disappeared will not be revealed and the author of the violation will remain unpunished. Your commitment and tenacity are an inspiration to many other families in many parts of the world.
We hope that you will have a peaceful congress that offers strength and healing.
Utrecht February 28th, 2005 Dave Hardy and Ewoud Plate HOM/Linking Solidarity The Netherlands
[KONGRES II IKOHI] Solidarity Message from Australians for a Free East Timor, West Papua and Acheh; Australia
---------- Forwarded Message -----------From: Rob Wesley-Smith <rwesley@ozemail.com.au>To: wilson@praxis.or.idSent: Fri, 3 Mar 2006 23:40:44 +0930Subject: Solidarity 28th Feb 2006Dear Wilson and Eko Our solidarity with you during the holding of the Congress of the Indonesian Association of Families of the Disappeared IKOHI. We know about the human rights abuses amounting to genocide perpetrated by the Indonesian armed forces ABBRI/TNI mainly under the Suharto rule but also after him. We know this included abuses in Indonesia including Jakarta, Makassar and Acheh by uniformed and non uniformed mainly army personnel and their armed thugs or militias, as we have been watching the same thing happening for a long time in East Timor 1975-99, and West Papua 1961 - now. In East Timor now as a culture of fear of offending Indonesia exists in the leadership, we hear excuses for not pursuing justice. This provides IMPUNITY not only to the Indonesian military human rights abusers, but it strengthens the global campaigns of those who seek impunity for crimes they continue to commit, this including the USA very much at present. In East Timor after nearly 4 years of work a comprehensive report CAVR details many of these abuses and crimes. This process and report allows a first step towards justice for victims of those murdered or simply disappeared. Finality can only come after adequate prosecutions and sentencing of perpetrators, and the passing of time. Maybe a first step is to call for a CAVR like process in Indonesia. We also recognise Munir, and demand from your President SBY that he have the courage to deny impunity to all of his killers. We extend solidarity to all of you involved with the IKOHI congress, and hope that much good will come from this. Your sincerely Rob Wesley-SmithAustralians for a Free East Timor, West Papua and AchehDarwin NT Australiarwesley@ozemail.com.au61 8 89832113 0419 807175------- End of Forwarded Message -------
[KONGRES II IKOHI] Solidarity Message from Religious Group for Human Rights,
Thu, 02 Mar 2006 10:05:37 +0800 From: Religious Group for Human Rights ChairpersonIKOHI
Thank you very much for your invitation to send a message for the occasion.
First of all we would like to congratulate you for getting this event being organised. It is quite important to keep the memory of this sad events alive so that awareness of the gravity of the crimes persists and that a movement for the prevention of similar tragedies in future is made to emerge.
In this context may I suggest two things:1. You will find in our website www.ahrchk.net under the books sections, "books on line" a book with the title Memories Of a Father. It will be good if this book can translated into bahasa and distributed. As the book draws out the feelings, the sentiments and the human aspects related to disappearance it can have a real impact on the readers.
2. I am taking a section of the statement issued by us for the international Human Rights day on Indonesia. Please feel free to take relevant sections from the statement for your purposes.
Thanks and let us be in touch. Good progress with your discussions and deliberations.
Philip Setunga
========================== Indonesia
Two historical events of great importance to prospects for human rights in Indonesia occurred in 2004. The first was the direct election of a president. The second was the enactment of a long-awaited unified judicial system with the Supreme Court at its apex. For over four decades, the Indonesian judiciary was under direct control of the executive; as this has now been ceded to the Supreme Court, for the first time the principle of judicial independence has been established. However, in-principle independence is altogether different from practice. Whether or not the new president has the political will to reform the entire prosecution system so that the rule of law is properly established the independence accorded to the Supreme Court remains to be seen. And unless accompanied by reforms to the police, judiciary and other agencies, justice will remain illusory. The many entrenched corrupt practices in the legal system, such as verdict trading and abuse of managerial powers, need also to be addressed through monitoring and disciplinary agencies. A former Supreme Court judge has himself recognised that the main obstacle to the effective functioning of the judiciary in Indonesia is the widespread corruption among its ranks.
At the start of December, the National Human Rights Commission of Indonesia requested the national assembly to revise human rights law no. 39/1999, so that it can press state institutions to follow up on its findings and recommendations, in particular, the police and public prosecutor. In fact, the attorney general's office has so far refused to even discuss the findings of the commission over killings and riots in May and November of 1998. The AHRC has already demanded that the attorney general use the in-depth investigation reports on these incidents placed at his disposal as a means to initiate criminal prosecutions. Regrettably, it has appeared that to date the attorney general has been interested primarily in causing delays in justice for the thousands of victims rather than in beginning direct investigations, as recommended by these reports. The effect of these delays is to grant impunity to the violators of gross human rights abuses.
The failure of the judiciary and the attorney general to enforce even the existing laws in the country impartially and effectively has guaranteed impunity not only to the perpetrators of recent abuses, but also those going back to the assumption of power by the New Order regime in 1965. The massacre of over a million people and imprisonment of huge numbers of others created the climate of impunity that persists to this day throughout the archipelago. However, rather than filling the hearts of victims and their families with hope, the recent drafting of a Truth and Reconciliation Commission Bill has caused deep anxiety. Instead of being intent upon properly addressing the massive rights violations committed under the previous regime, the bill, which was passed this year, seems intent upon protecting the perpetrators of abuses from any subsequent attempts to hold them legally responsible for their actions. Although recognising at last that the gross human rights violations of previous decades must be investigated "in order to establish the truth, to maintain justice and a culture that value human rights", the bill stipulates that mutual forgiveness between perpetrator and victim is a precondition for compensation, restitution and rehabilitation. In the event that the perpetrator of the crime is unwilling to be a party to this charade, the only alternative is for the case to go to an as yet untested ad hoc human rights court, which may involve considerable time and expense.
Extreme forms of torture and cruelty continue to be perpetrated by the police and security forces in Indonesia up to the present day, whether in Aceh, Papua or even in Jakarta, as evidenced by the recent shooting into a crowd of protesters with live bullets in Bogor. In that case, public pressure caused a commission to be appointed that found there was excessive use of force; however, the officers involved only received warnings. Meanwhile, a district court in Padang, West Sumatra recently sentenced five policemen to 18 months in jail for beating a drug suspect to death. When officers who shoot into a crowd get only a warning, and others who beat someone to death get only 18 months춁nd this is a rare instance of state officers being tried and convicted of such an offence춛hat confidence can people have in such a justice system?
Despite the gains of recent times, the military is still the pre-eminent power in Indonesia. Although overt power has been largely transferred to the national assembly, the military is well represented at all levels of policy-making and implementation. In conflict zones, it is the sole authority. The continued strength of its grip on all aspects of administration in Indonesia means that cases of human rights abuse committed in areas of civil conflict are never properly investigated or brought to the courts. In fact there is a strong feeling among ordinary people that such conflicts are being allowed to continue in order that the military can justify its entrenched dominance. This certainly applies where the police are concerned: recent efforts to grant the police a measure of autonomy are yet to take root. The historic control exercised by the military over the police persists both in mind and practice. The election of an army officer as president does little to assuage doubts that the military may not be called upon to take a new and equally powerful role for itself in the future.
[KONGRES II IKOHI] Pesan Solidaritas dari YSKP45, Jerman
Salam Solidaritas untuk Kongres ke-2 IKOHI Pelanggaran Hak-Hak Azasi Manusia diRepublik Indonesia telah merupakan Organisme dari kekuasaan Rezim Militer Jendral Suharto-Orde Baru. Menurut pengakuan Jendral TNI AD Sarwo Edhi Wibowo sampai 3 juta manusia,Warganegara Republik Indonesia, dalam periode 1965/1966 yang dibunuh. Hanya di Kodim Painan Sumatera Barat atas perintah Letkol.TNI AD Purnomo Sipur 300 orang yang dibunuh secara massal, pada tanggal 9 November 1965, dan kuburan mereka ditemukan di Bukit Pulai sekitar 15 Kilometer dari kota Painan. Yang lebih biadab lagi, di daerah Painan itu juga, 300 orang lainnya dikubur hidup-hidup sambil berdiri setengah badan dan dibiarkan siang dan malam tanpa diberi makan dan minum. Keluarga mereka hanya boleh melihat saya, lain tidak. Dan setelah 5 sampai 7 hari, atas Kebiadaban Kebudayaan Orde Baru, mereka semua tewas.( Catatan harian HD Haryo Sasongko "ANAK BANGSA TERPIDANA", PT Pustaka Utan Kayu, 2003). Kuburan massal seperti itu bertebaran diseluruh Bumi Nusantara dari Keluarga Orang Hilang. Dari Petisi Rakyat Indonesia Korban Peristiwa Tragedi Nasional 1965 yang ditujukan kepada Presiden RI dan DPR RI tanggal 13 Desember 2005 dan atas nama 20 juta Rakyat korban diskriminasi penguasa sampai dengan hari ini adalah Keluarga Orang Hilang atau dihilangkan alias dibunuh oleh kebiadaban Orde-Baru. Kami, Yayasan Sosial Kemanusiaan Pancasila45 (YSKP45) adalah satu Institusi yang didirikan Tahun 1980 oleh, diantaranya, Prof.Sunaryo SH, salah satu pendiri PNI bersama Bung Karno dan Pejuang untuk Kemerdekaan RI, Pembela dan Pengisi Kemerdekaan RI, dan Azas YSKP45 adalah: Trisila: Socio Nasionalisme, Socio Demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa, (dari Pidato Bung Karno Lahirnya Pancasila), dengan pedoman pelaksanaan:Trisakti: Berdaulat dalam Politik, Berdikari dalam ekonmi dan berkepribadian dalam Kebudayaan. Dengan pengertian Pelaksanaan UUD'45 secara konsekwen, menyambut dengan hangat dan menyampaikan salam solidaritas kami kepada para Pimpinan IKOHI dan kepada para Peserta Kongres ke-2 IKOHI yang 마무 berlangsung hari ini, tanggal 7 - 10 Maret 2006, dengan harapan agar sukses dalam merumuskan Program perjuangan IKOHI untuk demokrasi, untuk keadilan dan untuk Hak-Hak Azasi Manusia. Humanisme Kemanusiaan Pancasila45 menuntut solidaritas Kemanusiaan yang tinggi antara manusia, dan kami, YSKP45 semenjak berdiri sampai dengan hari dengan intensiv menginformasikan tentang Pelanggaran-Pelanggaran Hak Hak Azasi Manusia di Republik Indonesia yang dilakukan oleh Orde-Baru dan yang didiamkan oleh Penguasa sampai dengan hari ini, kepada Lembaga-Lembaga Internasional urusan Hak Hak Azasi Manusia. Adalah suatu harapan baik bagi Rakyat dan Bangsa Indonesia yaitu dengan terbentuknya Front Persatuan antara lima Partai yang ber-Azas-kan Pancasila baru-baru ini, 01 Maret 2006, perjuangan untuk urusan demokrasi, untuk keadilan Sosial dan untuk Hak Hak Azasi Manusia, dan untuk perdamaian akan mengambil bentuknya yang lebih maju. Selamat bekerja agar sukses! Salam Solidaritas Dr.Alexander TjaniagoKetua YSKP45 Committee LuarnegeriF.R. of Germany45327 EssenE-Mail: YSKP45@lycos.com
[KONGRES II IKOHI] Solidarity Message from Pasar Malam, France
From: Johanna Lederer To: http://us.f348.mail.yahoo.com/ym/Compose?To=kembalikan@yahoo.com Sent: Wednesday, March 01, 2006 5:01 PM Subject: Invitation and Call for Solidarity, 2nd Congress of IKOHI Association franco-indonsienne Pasar Malam Association culturelle, Loi 1901, pour l'amiti centre les peuples francis et indoncien afi.pasar-malam@wanadoo.frhttp://pasarmalam.free.fr14 rue du Cardinal Lemoine, 75005 Paris Phone 01 56 24 94 53 Siret 48073503400013 Code APE/NAF 913E Dear Sirs,
Youhave our whole and undivided solidarity and attention concerning your rightful battle along with the victims for truth,justice and reparation.
We are very sorry not to be ableto attend this important March congress. Please convey our thoughts to all the IKOHI combatants fortruth and against impunity.
Yoursfaithfully,
Johanna Lederer
chairperson association franco-indon?ienne Pasar Malamassociation Loi 1901 pour l'amiticentre les peuples francis et indoncien14 rue du Cardinal Lemoine 75005 - ParisPhone : 01 56 24 94 53afi.pasar-malam@wanadoo.frhttp://pasarmalam.free
[KONGRES II IKOHI] Solidarity Message from OPFMD
Dear Friend Mugi and Members of the IKOHI,
Solidarity message from OPFMD
It is with deep respect that OPFMD want to congratulate for the second congress of IKOHI held on March 7-10, 2006 in Makassar, Central Sulawesi.
This is indeed big achievement for an organization that exists now 7 years. We have no doubt IKOHI grown in to a powerful organization and very necessary organization for the family members of the disappeared in Indonesia.
If compare with other countries the issue of Enforced disappearances in Indonesia is most complicated and very difficult. But we understand family members of enforced disappeared in Indonesia still keep hope that they can achieve justice with guidance and help of IKOHI.
Fighting against enforced Disappearances is a long process and very difficult. But we hope through the second congress, IKOHI could improve the capacity to sustain the struggle to eradicate enforced disappearances in Indonesia.
It is not always easy to fulfill all expectation of victims. But it is the conviction of the OPFMD that you should never give up hope for truth, justice, redress.
On behalf of Family members of the disappeared in Sri Lanka we wish every success for the 2nd congress of IKOHI and hope that due to their efforts it would be possible to create societies that would not only respect the right to life but also the right to live in human dignity .
In solidarity Shantha D.Pathirana General Secretary Organization of Parent and family members of the disappeared OPFMD 38. De Soysa Strret, Slave island, Colombo 2
[KONGRES II IKOHI] Solidarity Message from Anne-Laurence Lacroix
Thu, 2 Mar 2006 09:19:41 +0100 Jakarta
Dear Mugiyanto,
Thank you for your message and invitation to take part in the 2nd Congress of the IKOHI. Unfortunately, I will not be able to participate in this very important meeting.
I wish you every success for your Congress.
In solidarity,
Anne-Laurence Lacroix Deputy Director
[KONGRES II IKOHI] Solidarity Message from LFF, Australia
From: <glenn_osboldstone@workcover.vic.gov.au>To: <kembalikan@yahoo.com>Cc: <wilson@praxis.or.id>Sent: Friday, March 03, 2006 8:39 AMSubject: Message of solidarity Dear IKOHI Lawyers for Forests, Inc, (LFF) is a not-for-profit association of legal professionals that promotes the conservation and better management of Australia's remaining native forests. LFF encourages its members to become more environmentally aware and encourages law firms to become more environmentally friendly, for example, by avoiding paper and pulp products from unsustainable sources in favour of recycled or environmentally sensitive alternatives. Through analysis of the laws and regulatory framework applicable to the native forests sector and by advocating law reform, LFF is also working to promote better native forest law and policy. LFF also provides a referral service for individuals charged with criminal offences under forest legislation and for environmental groups seeking legal advice. We realise that those in Indonesia doing similar work to us are unfortunately exposed to great danger, including threats to their physical safety. In Australia we are lucky in that we can campaign openly on political and environmental issues generally without fear of physical attack. In Indonesian such activism can lead to persons being beaten, jailed, or even "disappeared" which as we all know, usually means killed. The work you do is vital in ensuring that human rights violations are not forgotten and that those people who have been "disappeared" by the TNI, police, Kopassus, the government and others are also not forgotten. As you may know, the Australian government has recently renewed training exercises with Kopassus. This is unfortunate but hopefully respect for human rights will eventually infiltrate into that notorious organisation. LFF sends its strongest encouragement to you for a successful 2nd Congress. Kind regards Glenn OsboldstoneVice-President, LFFMelbourne Victoria Australia
[KONGRES II IKOHI] Pesan Solidaritas dari LAPAR, Makassar
Date: 3 Mar 2006 14:45:15 +0700양식의 맨 위
"IKOHI adalah satu-satunya organisasi yang konsen pada korban hilang, perketat jaringan dan pompa terus semangat kerja untuk menuntaskan kasus yang ada dan mencegah terulangnya kasus yang sama"
Anto Lapar Makassar
[KONGRES II IKOHI] Pesan Solidaritas dari Indonesian Solidarity, Australia
Thu, 02 Mar 2006 03:14:04 +0000
Bung Wilson;
Atas nama Indonesian Solidarity, sebuah organisasi hak asasi yang ada di Sydney - Australia. Kami merasa senang dengan diadakannya konggres nasional IKOHI, ini merupakan sebuah kemajuan yang cukup berarti bagi rakyat Indonesia untuk mencari keadilan.
Kami mengharap konggres bisa sukses sesuai dengan yang di agendakan, dan memperkuat akar keadilan yang sejati di tanah air. karena akar keadilan merupakan pondasi bagi demokrasi itu sendiri.
Salam Solidaritas
Eko Waluyo
[KONGRES II IKOHI] Solidarity Message from IHRC, New Zealand
From: Maire Leadbeater To: wilson@praxis.or.id Cc: EKO WALUYO Sent: Friday, March 03, 2006 11:48 AM Subject: Best wishes
Dear Wilson,
Best wishes for the success of your important conference supporting the interests of the families of the disappeared.
As the Timor Leste Commission for Reception, Truth and Reconciliation has proved, it is possible to undertake a successful search for truth and accountability. This process is important for the families most directly affected but also for society as a whole.
Warm solidarity wishes,
Maire Leadbeater (Indonesia Human Rights Committee, Auckland, New Zealand)
[KONGRES II IKOHI] Solidarity Message from FIND, Philippines
Sat, 4 Mar 2006 07:18:03 GMT 양식의 맨 아래
Solidarity Statement for the 2nd Congress of IKOHI - Indonesia From FIND - Philippines
The Families of Victims of Involuntary Disappearance (FIND), extends its warmest greetings and congratulations to IKOHI as you hold your 2nd Congress on 7-10 March 2006 in Indonesia. FIND is honored to be a witness of your organization's development since your establishment in 1998, and of being your colleague organization within AFAD.
On this noble occasion of IKOHI, we wish to reiterate our solidarity and support to your continuing work towards promoting human rights and attaining justice for victims of human rights violations particularly enforced or involuntary disappearances in your country. Your congress' theme, "Developing and Strengthening Organization of Victims of Human Rights Violation to Fight for Justice and Truth and Combating Impunity" is a very timely aim towards empowering victims' and families' organizations in the midst of the present political climate in the whole of the Asian region.
Consolidating members and networks, strengthening solidarity among victims, uniting platform, mission and vision for achieving justice, truth and reparation, and ending impunity.... these are the very aims of each and every human rights organization established anywhere in the world ... all with the end goal of putting an end to atrocities and violations of human rights
For we know only too well that the fight for truth, justice and redress for victims is a huge task ahead, having a strong organization is a potent tool in the long and arduous journey towards this end.
Thus, we continue to link arms with you and all the families' organizations of the world to work on combating impunity and to putting an end to the practice of making people disappear and making their families suffer in an endless wait.
In closing, we assure you of our wishes of success and of our deep solidarity to all of your officers and members, in your continuing struggle against the scourge of involuntary disappearances in your country. More power!
Yours sincerely on behalf of all the families of the disappeared in the Philippines,
(SGD) RAQUEL PACA-SANTOS Secretary General FIND
[KONGRES II IKOHI] Solidarity Message from FEDEFAM
Date:Wed, 1 Mar 2006 22:47:01 -0400 From: nheredia@mail.megalink.com Re: Invitation and Call for Solidarity Message, 2nd Congress of IKOHI
양식의 맨 아래 Gracias por la informaci?.
Deseamos exito y resultados optimos para la causa que nos une Con afecto
Nila Heredia FEDEFAM
[KONGRES II IKOHI] Solidarity Message from Deborah
From: "the kennedys" <THEKENNEDYS@telefonica.net>To: <wilson@praxis.or.id>Sent: Thursday, March 02, 2006 2:12 PMSubject: solidarity Dear WILSON, I want you to know that people like me all around the world are watching what’s going on in Indonesia with great sadness and anger.......they must be stopped!!!!! Sending strength and love across the miles..... Deborah, Papua New Guinean living in Spain
[KONGRES II IKOHI] Solidarity Message from Guatemala
Guatemala, march 9, 2006
Friend Mugiyanto and Friends IKOHI:
"The forced disappearance is an accompanied crime of a series of violations to the human rights" that not alone has collected you victimize in Guatemala, but also at world level, it is a topic of vital importance in the societies of the present so that is not repeated the history in the future.
The Guatemalan League of Mental Health, is pleased in greeting you by the accomplishment of yours second families congress from disappeared, important step for the decision making and consolidation of the organization for future projects. The topic "Developing and Strengthening Organization of Victims of Human Rights Violation to Fight for Justice and Truth and Combating Impunity", it is very succeeded since is important to emphasize the aspects of the fight of the justice and the truth without putting aside the principal topic that it is that of the violations to the human rights by disappearances, for the repair psicosocial of the human being.
Might have delighted me to accompany you in the congress. Due to time and the distance is made me impossible, but from Guatemala the relatives of the program "Todos por el Reencuentro" (“All by the Reencounter”) that seek to theirs children disappeared by the war in Guatemala, them send a brotherly and combative greeting wishing many successes in your congress.
Sincerely,
Marco Antonio Garavito
[KONGRES II IKOHI] Pesan Solidaritas dari AMAN
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Jl. B No. 4 Rt 01 Rw 06 Rawa Bambu Satu , Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520, Indonesia. Telp./Fax. +62 –21- 7802771, E-mail: rumahaman@cbn.net.id web: www.aman.or.id MEMPERKUAT ORGANISASI UNTUK MENUNTASKAN KASUS PENGHILANGAN ORANG SECARA PAKSA DEMI MASA DEPAN DEMOKRASI DI INDONESIASejak 1965 hingga saat ini paling tidak terdapat ribuan kasus orang hilang di Indonesia. Mereka yang hilang umumnya masyarakat, mahasiswa atau aktivis yang bersuara lantang mengkritik kebijakan pemerintah. Kasus penghilangan orang secara paksa bukan hanya terjadi Indonesia. Sejak 1971 telah terjadi sedikitnya 1.170 kasus penghilangan orang secara paksa di Filipina. Kasus itu terjadi pada saat Filipina di bawah rezim Marcos, Aquino, Ramos, Estrada, hingga Arroyo. Sebagian besar mereka yang hilang adalah petani, buruh, mahasiswa, serta kalangan gereja yang menentang keras sikap otoriter penguasa. Di Sri Lanka bagian selatan, peristiwa serupa menimpa sekitar 60.000 orang. Semua itu terjadi akibat perang yang berkecamuk antara tentara pemerintah dengan tentara pembebasan Macan Tamil. Di Argentina, tidak kurang dari 30.000 kasus penghilangan paksa menimpa aktivis, termasuk anak-anak. Demikian pula di Pakistan, El Savador, serta sejumlah negara di Afrika dan Eropa Timur. Tidak bisa dipungkiri penghilangan paksa adalah fenomena internasional. Mengungkap kasus pembunuhan dan penghilangan paksa tidak mudah. Keluarga korban posisinya serba rentan, baik dalam hal finansial, pengorganisasian, maupun jaringannya. Namun, solidaritas keluarga korban bisa dijadikan benteng terakhir mendorong tegaknya hukum dan keadilan bagi para korban.
Di Indonesia, keluarga korban dari beberapa kasus penghilangan orang secara paksa, secara terus-menerus mencoba menjebol tembok angkuh yang melindungi para pelaku dan menutupi kasus demi kasus untuk tidak diungkap. Semangat it uterus dikobarkan walau tidak ada jaminan perjuangan keluarga korban akan membuahkan hasil nyata.
Hinggga saat ini berbagai upaya tersebut sangat sulit terwujud tanpa adanya kemauan politik pemerintah. Upaya menyelesaikan praktik penghilangan orang secara paksa nampaknya masih akan terbentur berbagai kendala.
Inilah tugas berat IKOHI, sebagai organisasi yang menyatukan ikatan solidaritas para keluarga korban penghilangan paksa di Indonesia. Sebuah tugas mulia yang tak mudah untuk dituntaskan. Penguatan dan konsolidasi organisasi, baik secara internal maupun eksternal, dapat diajukan sebagai sebuah alternatif untuk menjawab semua persoalan dan kebutuhan organisasi guna mencapai harapan yang diinginkan.
Meskipun demikian, sejarah akan mencatat, perjuangan mahasiswa, aktivis, ataupun sekedar masyarakat biasa yang tewas atau dihilangkan secara paksa karena keberanian mereka mengkritisi kebijakan pemerintah, tidaklah sia-sia. SELAMAT BERKONGRES!!
Jakarta, 6 Maret 2006
Salam, SEKRETARIAT NASIONAL AMAN
[KONGRES II IKOHI] Pesan Solidaritas dari AJI JAKARTA
PESAN SOLIDARITAS UNTUK KONGGRES IKOHI
Atas nama para wartawan yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, saya mengucapkan selamat kepada rekan-rekan anggota Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI). Semoga, terbentuknya IKOHI sebagai wadah keluarga korban penghilangan paksa dapat membantu upaya menuntut keadilan bagi anggotanya.
Sebagaimana keluarga Anda, tidak sedikit wartawan yang menjadi korban kekerasan, mulai dari pemukulan, penghilangan paksa dan bahkan penghilangan nyawa secara tidak sah. Kita ambil contoh wartawan Udin (Muhammad Syafruddin) di Yogyakarta dan wartawan RCTI Ersa Siregar. Mereka adalah dua diantara nama-nama wartawan yang menjadi korban kekerasan sampai kehilangan nyawanya.
Di luar negeri, seperti Irak, Afganistan, Sri Lanka, dan Amerika Latin, banyak wartawan yang dihilangkan secara paksa. Di Irak misalnya, semenjak meletus perang, penyanderaan terhadap wartawan seolah-olah menjadi senjata diplomasi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di sana.
Sebagaimana Anda, para wartawan adalah human right defenders (pembela HAM). Kegiatan mengumpulkan dan menyebarkan informasi yang benar dan penting diketahui publik, merupakan usaha untuk memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar. Namun untuk memenuhi hak itu, seringkali banyak wartawan idealis dan teguh pada prinsip yang menjadi korban kekerasan.
Semoga IKOHI juga memperhatikan keluarga wartawan yang menjadi korban penghilangan paksa, karena mereka menghadapi masalah yang sama dengan korban-korban penghilangan paksa yang lain. Barangkali, Anda yang selama ini tergabung dalam IKOHI hanyalah keluarga orang-orang yang dihilangkan karena aktivitas politiknya. Tapi harus diingat juga, banyak orang lain yang dihilangkan secara paksa bukan karena aktivitas politiknya, namun karena aktivitas lain seperti kegiatan jurnalistik dan sebagainya.
Sekali lagi, selamat berkongres! Semoga IKOHI dapat merumuskan program-program yang lebih sesuai dengan kepentingan anggotanya.
Jakarta, 7 Maret 2006
Margiyono Sekretaris
AJI JAKARTA Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Alamat: Jl. Prof. Dr. Soepomo, Komplek BIER No. 1 Jakarta Selatan
[KONGRES II IKOHI] Solidarity Message from AFAD
7 March 2006
Dear IKOHI members,
Peace!
First and foremost, I would like to congratulate you for the success of your organization. This struggle for the attainment of truth, justice, redress and the recuperation of historical memory has never been and will never be an easy task for us human rights organizations so long as the world’s governments choose to be numb to the sufferings of humanity and continue to not recognize the rights of every individual. Yet you have remained strong over these years. Your undaunted courage to fight for every person disappeared, tortured, killed; to protect every person from the inhuman acts of enforced or involuntary disappearances amidst threats of powerful and influential people is truly an inspiration to AFAD and its members.
Moreover, the organization has done quite well in continuing the fight that Munir had started and had dedicated his life to for the Indonesian people. Munir was a stalwart symbol of committed human rights activism. His work for the people is truly commendable and his courage admirable! He was never cowered by threats. Perpetrators of disappearances feared him instead for he brandished the sword of truth and justice. This prompted them to silence him forever and sow terror upon those who continue his work.
Despite this, however, IKOHI remains standing and fighting for the cause of the disappeared and for the protection of the citizens. Indeed Munir’s death must not be seen as a reason to surrender to the threats of the oppressive government but it must serve as a source of strength to further carry out his work and this fight!
IKOHI has come a long way since its establishment in 1998. It has progressed a lot since its first congress in 2002. Now, a dedicated member of our federation, we witness the growth and maturity of an organization that has contributed much to the global campaign against disappearances and impunity.
I believe it is but apt and timely to carry the theme of “Developing and Strengthening Organization of Victims of Human Rights Violation to Fight for Justice and Truth and Combating Impunity” for this congress that aims to further consolidate the members and networks, strengthen solidarity among the victims, unite the platform, mission and vision of IKOHI which is to achieve justice, truth and reparation and end impunity.
I and my staff regretfully may not be there on this eventful occasion in the history of your organization, but we send you these words of support and gratitude for your commitment and effort to stand by us and all the other organizations not just in the Asian region but the rest of the world that continue the fight for the cause of the desaparecidos.
As you have pledged support and unity with the federation, so do we, and all of AFAD’s members pledge support to you. We have been bonded by our advocacy. But more than that we have been made one by our hearts - our love for humanity. Let us all keep the fires of love and hope burning! Love will always be stronger than fear. Together with you, we shall continue to fight for a world without disappearances!
Again, congratulations and more power to IKOHI!
With you always in solidarity,Mary Aileen Bacalso AFAD Secretary-General
|
NAVIGATION
BUKU BARU!!!
>
Kebenaran Akan Terus Hidup
Jakarta : Yappika dan IKOHI
xx, 220 hlm : 15 x 22 cm
ISBN: Cetakan Pertama, Agustus 2007
Editor : Wilson
Desain dan Tata letak : Panel Barus
Diterbitkan Oleh :
Yappika dan IKOHI
Dicetak oleh :
Sentralisme Production
Foto : Koleksi Pribadi
Dipersilahkan mengutip isi buku dengan menyebutkan sumber.
Buku ini dijual dengan harga RP. 30,000,-. Untuk pembelian silahkan hubungi IKOHI via telp. (021) 315 7915 atau Email: kembalikan@yahoo.com
NEWEST POST
ARCHIVES
ABOUT
IKOHI was set up on September 17, 1998 by the parents and surfaced victims of disappearances. Since then, IKOHI was
assisted by KONTRAS, until October 2002 when finally IKOHI carried out it first congress to complete its organizational
structure. In the Congress, IKOHI decided its two priority of programs. They are (1) the empowerment of the social, economic,
social and cultural potential of the members as well as mental and physical, and (2) the campaign for solving of the cases
and preventing the cases from happening again. The solving of the cases means the reveal of the truth, the justice for the
perpetrators, the reparation and rehabilitation of the victims and the guarantee that such gross violation of human right
will never be repeated again in the future.
Address
Jl. Matraman Dalam II, No. 7, Jakarta 10320
Indonesia
Phone: 021-3100060 Fax: 021-3100060
Email: kembalikan@yahoo.com
NETWORK
COUNTERPARTS
Indonesian NGOs
State's Agencies
International Organizations
YOUR COMMENTS
|