RESOLUSI KONGRES II IKOHI
Praktik kekerasan negara yang sistematis diawali dengan perebutan kekuasaan yang gagal paska Gerakan 1 Oktober 1965 (Gestok 1965) oleh para perwira menengah di dalam Angkatan Darat atas para jenderal yang mereka sebut sebagai anggota Dewan Jendral. Kejadian ini juga melibatkan politik luar negeri Amerika Serikat. Setelah itu Jendral Suharto dan Angkatan Darat mengambil alih kekusaan politik dan menerapkan sebuah mekanisme kekuasaan yang sarat kekerasan dan pelanggaran HAM.
Rejim Orde Baru lalu menjalankan politik stabilitas sebagai jalan untuk memenangkan kepentingan modal internasional dalam proses pembangunan di Indonesia. Tapi pada praktiknya yang terjadi adalah sebuah proses penghisapan sumber daya alam, sumber daya manusia dan menciptakan ladang Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) diantara para pemilik modal dengan penguasa negara baik sipil maupun militer secara sistematis. Setelah reformasi, militer memang tidak lagi secara langsung duduk di lembaga negara, tapi sistem politik dan praktek otoriter masih tetap dijalankan.
Selama kekuasan Orde Baru, otoritarianisme ini dipraktikkan secara sistematis dan masif dengan pembenaran pada doktrin Dwi Fungsi ABRI/TNI, dimana institusi militer mempunyai wewenang untuk melakukan intervensi dalam berbagai kehidupan masyarakat. Berbagai institusi negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif diisi oleh orang-orang yang berlatar belakang militer atau orang-orang yang dipilih setelah diseleksi oleh penguasa militer. Akibat dari penerapan Dwi Fungsi TNI tersebut adalah terjadinya proses militerisasi berbagai institusi masyarakat sipil, politik dan negara. Akibatnya proses demokrasi dan hak-hak sipil ditindas dan dibenarkan untuk ‘ditiadakan’ dengan alasan demi mengejar laju pertumbuhan ekonomi.
Selain menguasai lapangan sosial-politik dan ekonomi, militer juga menginternalisasi politik kekerasan dan praktek pelanggaran HAM melalui pembentukan Komando Teritorial (Koter). Dalam prakteknya Koter ini menjadi alat untuk mengawasi, menindas, menteror dan mengontrol rakyatnya sendiri dari tingkat desa hingga nasional, mengikuti struktur birokrasi negara. Bahkan dalam momentum pemilu di jaman Orba, Koter juga digerakkan untuk memobilisasi suara guna mendukung partai pemerintah Golkar.
Di bawah sebuah rejim otoriter yang menjadikan institusi kekerasan sebagai poros kehidupan sosial-ekonomi-politik maka tercipta juga tradisi militerisme yang berkembang ke masyarakat sipil melalui berbagai pembentukan ormas pemuda, satgas, milisi-milisi dan berbagai laskar, yang intinya mengadopsi perilaku militeristik kedalam kehidupan kaum sipil. Paska kekuasaan Soeharto, militerisasi sipil ini makin terasa dengan menggunakan berbagai label seperti organisasi pemuda, milisi, organisasi mengatasnamakan agama, organisasi kedaerahan, pam swakarsa atau identitas kebangsaan secara chauvinis.
Politik kekerasan negara yang terorganisir, sistematis, masif, berulang dan berskala luas merupakan watak dari kekuasaan yang menyertai kemunculan berbagai rejim-rejim otoriter di berbagai belahan dunia. Rejim-rejim otoriter mengunakan politik kekerasan, bukan hanya sebagai cara untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaan, tapi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari integrasi sebuah negeri kedalam kepentingan ekonomi global negeri-negeri maju. Karena itu tanggung jawab moral dan etis juga ada di pundak negeri-negeri maju karena selama puluhan tahun telah melakukan ‘pembiaran’, bahkan menjalin kerjasama dengan sebuah pemerintahan yang sarat dengan pelangaran Hak Asasi Manusia, seperti dalam kasus Indonesia.
Pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM dan politik kekerasan di Indonesia yang luas secara geografi dan terjadi dalam rentang waktu yang lama bukanlah terjadi secara kebetulan, spontan atau karena tindakan individual, tapi memang merupakan suatu strategi, mekanisme dan praktek kekuasaan yang dengan sadar diorganisir dan dijadikan ‘cara’ untuk mengontrol dan menaklukkan masyarakat. Akibat politik stabilitas adalah terjadinya suatu pola dan keberulangan dimana institusi kekerasan yang kebanyakan melibatkan militer (dan kepolisian) dapat melakukan kekerasan di berbagai wilayah yang berbeda dalam berbagai rentang waktu yang panjang, bahkan hingga sekarang.
Dalam praktik pelanggaran HAM yang terjadi dan melibatkan institusi militer, para pelaku utama yang mengambil keputusan politik dan komando operasional selalu luput dari jeratan hukum bahkan sanksi internal organisasi militer sendiri. Militer biasanya lebih suka mengunakan mekanisme pengadilan internal militer dan mengorbankan para prajurit di lapangan sebagai umpan.
Mekanisme Hukum Pelanggaran HAM
Semakin kencangnya tuntutan korban pelanggaran HAM dan masyarakat sipil kemudian memaksa pemerintah membuat UU No.26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, untuk mengadili kasus pelanggaran berat HAM. Selanjutnya pada tahun 2004, melalui disahkannya UU N0. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), mekanisme untuk menyelesaikan pelanggaran berat HAM bertambah satu lagi, yaitu melalui KKR seperti contoh di Afrika Selatan.
Namun pembuatan mekanisme Pengadilan HAM dan KKR tersebut tampaknya lebih banyak digunakan oleh pemerintah untuk kebutuhan politik diplomatisnya, ketimbang untuk menyelesaikan problem di masa lalu, membela para korban apalagi untuk mencari keadilan dan kebenaran. Bahkan ada kesan kuat kedua produk UU itu dalam prakteknya akan melegalisir praktek impunitas, dimana para pelaku kejahatan HAM tidak akan pernah di hukum, tapi justru mendapatkan pengampunan. Pola-pola impunitas tergambar secara jelas sebagai berikut:
Pola pertama, pelaku sama sekali tidak disentuh oleh proses hukum. Termasuk dalam kategori ini adalah kasus tragedi kemanusiaan tahun 1965 dan kasus pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) seperti kasus konflik agraria, lingkungan, pendidikan, kesehatan, masyarakat adat dan lain-lain.
Pola kedua, pelaku dibebaskan oleh hakim dalam proses pengadilan, baik di tingkat pertama, banding maupun kasasi. Contoh paling mutahir (13/1/2006), tercatat Mahkamah Agung dalam kasasinya membebaskan Mayor Jenderal (Purn) Pranowo, terdakwa kasus pelanggaran berat HAM pada peristiwa Tanjung Priok tahun 1984. Sebelumnya, pada tanggal 8 dan 9 September 2005 Pengadilan HAM di Makassar untuk kasus Abepura Berdarah juga membebaskan 2 orang terdakwa yaitu Kombes Johny Wainal Usman dan AKBP Daud Sihombing.
Pola ketiga, kasus dipeti-eskan atau dibiarkan mengambang dengan alasan-alasan teknis yuridis-prosedural. Contoh nyata dari pola ini terjadi antara lain pada kasus tragedi Mei 1998 dan kasus Trisakti-Semanggi I dan II yang berhenti di Kejaksaan Agung, kasus Lampung 1989, Bulukumba, dan Manggarai di Komnas HAM, dan yang sangat menonjol akhir-akhir ini adalah kasus pembunuhan aktivis HAM Munir di Kepolisian
Keadilan dan Kebenaran Bagi Korban
Dua mekanisme yang tersedia untuk menangani pelanggaran berat HAM (Pengadilan HAM dan KKR) seharusnya bisa digunakan secara maksimal, sehingga hak-hak korban atas keadilan, kebenaran dan pemulihan bisa terpenuhi. Namun di sana sini kami masih melihat berbagai kelemahan pelaksanaan UU Pengadilan HAM, baik ketika sebuah kasus sedang diselidiki oleh Komnas HAM, disidik oleh Kejaksaan, maupun diadili di Pengadilan HAM. Kami bahkan sampai pada kesimpulan bahwa mekanisme pengadilan HAM atas kasus Timor Timur, Tanjung Priok dan Abepura hanya dijadikan sebagai mesin pencuci kesalahan para pelaku, karena semua terdakwa pada akhirnya dibebaskan.
UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga kami lihat masih mengandung banyak kelemahan mendasar yang pada akhirnya menjadikan Komisi tersebut hanya memberikan keuntungan dan keamanan para pelaku pelanggaran berat HAM tanpa ada hasil terungkapnya kebenaran, adanya penghukuman dan adanya pemenuhan hak-hak korban.
Karenanya, kami menyimpulkan bahwa dua mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu sebagaimana tersebut dalam UU No. 26 tahun 2000 dan UU No. 27 tahun 2004, belum dapat mengakomodasi kebutuhan, kepentingan dan tunturan para korban pelanggaran HAM.
Dari perspektif IKOHI, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi haruslah diletakkan pada prinsip-prinsip untuk memenuhi standar internasional pertanggungjawaban atas pelanggaran Hak Asasi Manusia di masa lalu. Standar tersebut adalah: the right to know yaitu hak mengetahui bagi korban, the right to justice yaitu hak atas keadilan bagi para korban dan the right to reparation yaitu hak pemulihan bagi para korban.
Bagi para korban, KKR juga bukan hanya sebuah mekanisme untuk berdamai antara korban dan pelaku, tapi lebih jauh lagi harus menciptakan sebuah kewajiban pada negara untuk mengingat (duty to remember) dan selanjutnya mencegah kemungkinan terjadinya keberulangan di masa mendatang (non reoccurrent principal).
Dengan kondisi-kondisi seperti diatas, dalam hubungannya dengan berbagai kasus pelanggaran HAM yang telah dan akan terjadi, maka IKOHI menyatakan:
1. UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR harus direvisi melalui proses uji materiil (Judicial Review), terutama pada pasal-pasal yang menguntungkan pelaku pelanggaran berat HAM dan melanggengkan impunitas. KKR harus memberikan jaminan bagi dipenuhinya hak-hak masyarakat atas kebenaran (the right to know), hak atas keadilan (the right to justice) dan hak korban atas pemulihan (the right to reparation).
2. Melakukan amandemen terhadap UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM atas pasal-pasal yang mempersulit proses-proses pengadilan hak asasi manusia.
3. Mendesak pemerintah untuk mempercepat ratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court-ICC), dari yang rencananya akan dilakukan pada tahun 2008.
4. Mendorong pemerintah Indonesia untuk mendukung disahkannya Konvensi PBB untuk Perlindungan Semua Orang dari Tindak Penghilangan Paksa (United Nations Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearances), oleh Majelis Umum PBB 2006.
Kepada para korban pelangaran HAM, IKOHI menyerukan:
1. Dibentuknya paguyuban-paguyuban korban pelanggaran HAM atau cabang-cabang IKOHI di berbagai wilayah, sebagai wadah berkonsolidasi dan berkoordinasi untuk usaha-usaha mengungkapkan kebenaran, mengadili para pelaku dan merebut hak-hak pemulihan bagi korban, baik itu melalui proses Pengadilan HAM maupun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
2. Agar melibatkan diri dengan gerakan HAM dan demokrasi yang bersimpati dan mendukung perjuangan penegakan HAM.
3. Melakukan solidaritas di komunitasnya masing-masing atas perjuangan yang sedang dilakukan oleh para korban di daerah atau negara lain.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home