<body bgcolor="#000000" text="#000000"><!-- --><div id="flagi" style="visibility:hidden; position:absolute;" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><div id="flagtop"></div><div id="top-filler"></div><div id="flagi-body">Notify Blogger about objectionable content.<br /><a href="http://help.blogger.com/bin/answer.py?answer=1200"> What does this mean? </a> </div></div><div id="b-navbar"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-logo" title="Go to Blogger.com"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/logobar.gif" alt="Blogger" width="80" height="24" /></a><div id="b-sms" class="b-mobile"><a href="sms:?body=Hi%2C%20check%20out%20%5B%20Ikatan%20Keluarga%20Orang%20Hilang%20Indonesia%20%5D%20%3A%3A%20IKOHI%20Indonesia%20at%20ikohi.blogspot.com">Send As SMS</a></div><form id="b-search" name="b-search" action="http://search.blogger.com/"><div id="b-more"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-getorpost"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_getblog.gif" alt="Get your own blog" width="112" height="15" /></a><a id="flagButton" style="display:none;" href="javascript:toggleFlag();" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif" name="flag" alt="Flag Blog" width="55" height="15" /></a><a href="http://www.blogger.com/redirect/next_blog.pyra?navBar=true" id="b-next"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_nextblog.gif" alt="Next blog" width="72" height="15" /></a></div><div id="b-this"><input type="text" id="b-query" name="as_q" /><input type="hidden" name="ie" value="ISO-8859-1" /><input type="hidden" name="ui" value="blg" /><input type="hidden" name="bl_url" value="ikohi.blogspot.com" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_this.gif" alt="Search This Blog" id="b-searchbtn" title="Search this blog with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value='ikohi.blogspot.com'" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_all.gif" alt="Search All Blogs" value="Search" id="b-searchallbtn" title="Search all blogs with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value=''" /><a href="javascript:BlogThis();" id="b-blogthis">BlogThis!</a></div></form></div><script type="text/javascript"><!-- var ID = 3565544;var HATE_INTERSTITIAL_COOKIE_NAME = 'dismissedInterstitial';var FLAG_COOKIE_NAME = 'flaggedBlog';var FLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/flag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var UNFLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/unflag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var FLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif';var UNFLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/unflag.gif';var ncHasFlagged = false;var servletTarget = new Image(); function BlogThis() {Q='';x=document;y=window;if(x.selection) {Q=x.selection.createRange().text;} else if (y.getSelection) { Q=y.getSelection();} else if (x.getSelection) { Q=x.getSelection();}popw = y.open('http://www.blogger.com/blog_this.pyra?t=' + escape(Q) + '&u=' + escape(location.href) + '&n=' + escape(document.title),'bloggerForm','scrollbars=no,width=475,height=300,top=175,left=75,status=yes,resizable=yes');void(0);} function blogspotInit() {initFlag();} function hasFlagged() {return getCookie(FLAG_COOKIE_NAME) || ncHasFlagged;} function toggleFlag() {var date = new Date();var id = 3565544;if (hasFlagged()) {removeCookie(FLAG_COOKIE_NAME);servletTarget.src = UNFLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = false;} else { setBlogspotCookie(FLAG_COOKIE_NAME, 'true');servletTarget.src = FLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = true;}} function initFlag() {document.getElementById('flagButton').style.display = 'inline';if (hasFlagged()) {document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;} else {document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;}} function showDrop() {if (!hasFlagged()) {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'visible';}} function hideDrop() {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'hidden';} function setBlogspotCookie(name, val) {var expire = new Date((new Date()).getTime() + 5 * 24 * 60 * 60 * 1000);var path = '/';setCookie(name, val, null, expire, path, null);} Function removeCookie(name){var expire = new Date((new Date()).getTime() - 1000); setCookie(name,'',null,expire,'/',null);} --></script><script type="text/javascript"> blogspotInit();</script><div id="space-for-ie"></div>
IKOHI

Friday, July 27, 2007

Eksposure Korban ke Aceh



EKSPOSURE KORBAN PELANGGARAN HAM KE ACEH
Oleh: Agnes Gurning[1]

Penandatanganan nota kesepahaman (MoU), antara pemerintah Indonesia dengan Kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, merupakan awal bagi lahirnya sebuah proses menuju kedamaian Aceh yang permanen. Peristiwa bersej! arah ini merupakan penantian panjang dan melelahkan dari para pendamba kedamaian, terutama masyarakat korban. Karena itu, dukungan terhadap kesepakatan damai tersebut menjadi penting, sebab disadari setiap tahapan proses yang akan dilalui memiliki potensi untuk gagalnya kesepakatan damai tersebut. Kegagalan perundingan pada masa Cessation of Hostilities Agreement (COHA), mesti menjadi pengalaman sejarah yang amat berharga untuk tidak sampai terulang kembali. Karena itu, menjaga, mengawal dan memastikan semua tahapan proses tersebut berjalan sesuai kerangka perjanjian dengan sendirinya menjadi penting dilakukan.

Korban pelanggaran HAM merupakan stakeholder utama dalam proses perdamaian ini. Di dalam MoU, secara tegas disebutkan bahwa korban merupakan pihak yang menjadi pihak pihak yang terlibat dalam setiap tahapan. Korban pelanggaran HAM bukan hanya ketika Pengadilan HAM memanggil para korban menjadi saksi atau ketika para Komisioner KKR mewawancarai para korban dalam rangka mengungkap kebenaran, tetapi korban juga akan terlibat pada saat pemberian amnesti bagi pelaku jika korban memberikan maaf. Apabila korban tidak solid maka peluang untuk di adu domba cukup besar serta para korban hanya menjadi objek pada pelaksanaan kedua instrumen tersebut.

Begitu juga dalam pelaksanaan proses reintegrasi. Korban merupakan kelompok yang disebutkan dalam MoU sebagai penerima dana reintegrasi. Tetapi dalam implementasinya, seolah olah korban hanyalah aktor sekunder dari proses reintegrasi itu. Korban tidak pernah terlibat dalam setiap perumusan kebijakan yang berkaitan dengan penyerahan dana reintegrasi. Akses informasi juga sangat tertutup selama pelaksanaan dana itu. Akibatnya, banyak dana yang disalurkan tidak tepat sasaran. Dan sementara korban yang sebenarnya tidak mendapatkan manfaat sama sekali.

Berdasarkan permasalahan di atas, menjadi penting keberadaan sebuah wadah korban yang efektif dalam mendorong dan memberi andil dalam setiap tahapan perdamaian. Wadah ini diharapkan dapat menjadi corong untuk menyuarakan aspirasi korban pelanggaran HAM dalam per umusan kebijakan Negara yang berdampak pada korban. Wadah yang dimaksud, sebenarnya telah didirikan pada tahun 2000 melalui Kongres Rakyat Korban se-Aceh pada tanggal 4 - 6 November 2000 di Gedung Sosial Banda Aceh. Wadah itu bernama Solidaritas Persaudaraan Korban Pelanggaran HAM (SPKP HAM).

Struktur kepengurusan SPKP HAM pun dibentuk. Dan sejak saat itu pula komunitas korban di Aceh ini mulai menjalankan kegiatannya dengan lebih terarah. Bantuan kesehatan, pengaduan kasus, investigasi dan advokasi korban terus dilakukan oleh SPKP HAM. Pada tahun 2001 tercatat lebih 300 kasus mereka tangani. Dukungan moral dan immaterial dari berbagai kalangan pun disalurkan melalui SPKP HAM ini.

Hampir 7 tahun sudah SPKP HAM berdiri. Berbagai lika-liku dan dinamika organisasi sudah mereka lewati. Bukannya mudah untuk tetap eksis sebagai organisasi korban hingga sekarang, terlebih setelah ditempa situasi konflik yang sempat memanas lagi dan pemberlakuan Darurat Militer di Aceh tahun 2003. Intimidasi dan terror pada periode tersebut sempat membuat aktivitas organisasi ini turun. Beberapa pengurusnya bahkan mengalami penculikan, penahanan dan juga penembakkan. Setelah masa ini, praktis organisasi mengalami status quo dan tak menjalankan aktivitas apapun.

Pasca tsunami, beberapa orang caretaker dan aktivis SPKP HAM berkumpul di sekretariat Koalisi NGO HAM untuk mendiskusikan kembali wadah organisasi korban ini. Semua peserta diskusi sepakat untuk membangun kembali organisasi korban ini dengan berbagai pertimbangan khususnya perlunya keterlibatan korban dalam setiap proses pengambilan kebijakan negara atas nasib korban. Untuk itulah disepakati agar dilaksanakan kongres kedua. Kongres kedua ini berlangsung pada tanggal 20 - 23 Juli 2007 di Saree, Aceh Besar.

Diselenggarakannya Kongres kedua ini tentu merupakan langkah penting yang menandai kebangkitan komunitas korban di Aceh. Pada masa damai sekarang ini ada ruang yang tersedia bagi komunitas korban ini untuk mencapai keadilan, yaitu Pen gadilan HAM dan KKR Aceh, terlepas dari segala kontroversi di sekitarnya. Namun kehendak korban untuk mengambil sikap dan posisinya sendiri dalam ruang tersebut merupakan sesuatu yang perlu didukung oleh banyak pihak. Sebab memang sudah saatnya bagi korban untuk bicara tentang nasibnya sendiri.

Kongres ini pun merupakan kesempatan emas yang sangat baik untuk korban pelanggaran HAM untuk saling berbagi pengalaman dan bertukar pikiran, tidak hanya bagi mereka yang ada di Aceh tetapi juga yang di luar Aceh. Karena itu, IKOHI sebagai wadah organisasi korban pelanggaran HAM di lingkup nasional pun berupaya agar ajang ini juga bisa dimanfaatkan sebagai pembelajaran bagi komunitas korban di wilayah lain. Dengan bantuan dari ICTJ (International Center for Transitional Justice) maka exposure korban pelanggaran HAM ke Aceh pun dilakukan. 10 orang korban yang berasal dari Papua, Poso, Makassar, Solo, Malang, Jakarta (3 orang) dan bahkan Timor Leste (2 orang) pun diberangkatkan ke Aceh untuk mengikuti Kongres kedua SPKP HAM tadi.

Eksposure ini bertujuan antara lain untuk: membangun tali solidaritas korban pelanggaran HAM; membangun jaringan organisasi korban pelanggaran HAM; saling bertukar strategi perjuangan korban merebut keadilan dan kebenaran; dan saling berbagi pengalaman tentang perjuangan dan aksi yang sudah dilakukan. Keragaman konteks yang terjadi di setiap daerah yang berbeda tersebut diharapkan akan menjadi bahan masukan dan diskusi yang kaya dalam kongres korban ini. Terlebih hadir pula korban dari Timor Leste yang pernah merasakan KKR di negaranya. Dengan demikian harapannya adalah korban dapat merumuskan strategi perjungannya ke depan dengan lebih baik.

Eksposure dilakukan tidak sekedar mengikutkan 10 korban tadi dalam kongres. Tetapi mereka akan meluangkan 1 hari sebelumnya untuk live-in di tempat tinggal komunitas korban yang ada di Aceh. Dari sini diharapkan agar mereka dapat berinteraksi secara lebih pri! badi sehingga dapat saling menggali informasi yang lebih mendalam.

Yang menarik juga, kesepuluh korban ini diperlengkapi dengan kamera dan buku catatan. Selama perjalanannya di Aceh, masing-masing dari mereka ditugasi untuk memotret dan mencatat setiap hal menarik yang mereka temukan. Kumpulan hasil catatan jurnal dan foto-foto yang dibidik oleh korban tentu akan menjadi bahan yang menarik yang bisa menonjolkan suara dan cara pandang korban.

Sampai saat tulisan ini dibuat, kongres koreban tersebut masih berlangsung. Sebelum korban berangkat ke Aceh, ada keantusiasan yang jelas mereka perlihatkan. Walaupun sebagai orang yang belum pernah masuk wilayah Aceh, ada pula yang menyimpan kekhawatiran tentang kondisi Aceh. Namun kekhawatiran tersebut tak menutup keinginan mereka untuk bersolidaritas dengan sesama korban pelanggaran HAM di Aceh. Untuk mengetahui hasil perjalanan mereka, kita bisa tunggu penuturan mereka seusai berkongres.

Galang solidaritas melawan impunitas!


[1] Penulis adalah Koordinator Divisi Pendataan dan Capacity Building - Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), sekaligus sebagai anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

Thursday, July 26, 2007

Resolusi Kongres Korban Pelanggaran HAM Aceh


RESOLUSI KONGRES KORBAN PELANGGARAN HAM
(SPKP HAM) ACEH

Operasi militer yang digelar oleh pemerintah Indonesia di Aceh sejak tahun 1976-2005 untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka, dengan berbagai bentuk operasi militer yang diterapkan mulai dari penerapan Daerah Operasi Militer (DOM), Darurat Militer (DM), Darurat Sipil I (DS I) dan Darurat Sipil II (DSII), di Aceh telah mengakibatkan terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat sipil yang tak berdosa. Kondisi ini diperparah lagi dengan tidak adanya proses hukum terhadap para pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM, dan tidak adanya rehabilitasi atas dampak konflik yang dialami korban.


Sebagaimana kita ketahui, para korban konflik mengalami kerugian yang sangat besar yang telah membawa dampak secara langsung dan tidak langsung terhadap kelangsungan hidupnya ke depan. Penyiksaan, trauma masa lalu, kehilangan orang yang dicintai, hilangnya pekerjaan, kondisi kesehatan yang buruk, pengorbanan atas harta benda, pencemaran nama baik, perkosaan dan pelecehan seksual terhadap perempuan merupakan bentuk-bentuk kekerasan yang sampai kapanpun tidak bisa ditolerir dan sampai saat ini belum ada penyelesaiannya.


Pasca penandatanganan MoU antara pemerintah RI dan GAM di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005, kondisi keamanan di Aceh perlahan pulih dan membaik. Namun kondisi ini belum diikuti oleh sikap pemerintah untuk memperhatikan nasib para korban pelanggaran HAM dengan segera memberikan keadilan bagi mereka, baik melalui pengungkapan kebenaran, pengadilan dan rehabilitasi.


MoU jelas-jelas telah memandatkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Pengadilan HAM untuk Aceh, dimana ini merupakan suatu peluang besar bagi para korban untuk mendapatkan keadilan dengan cara yang bermartabat. MoU juga memandatkan reintegrasi terhadap para korban konflik dan akan memberikan kompensasi bagi korban yang dapat membuktikan kerugiannya. Namun, reintegrasi bukanlah sekedar jumlah nominal yang harus diterima korban, tetapi harus lebih menyeluruh mencakup penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM secara berkeadilan. Keterlibatan korban pelanggaran HAM bukan hanya ketika Pengadilan HAM memanggil para korban menjadi saksi atau ketika para komisioner KKR mewawancarai para korban dalam rangka mengungkap kebenaran, tetapi korban juga akan terlibat pada saat pemberian Amnesti bagi pelaku jika korban memberikan maaf.


Nasib korban pelanggaran HAM adalah nasib Aceh ke depan, Tidak ada perdamaian tanpa keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Negara atau Pemerintah harus bertanggungjawab atas segala dampak yang dialami korban selama konflik Aceh berlangsung. Ini harus ditunjukkan sebagai wujud pemerintah dalam mendukung keberlangsungan perdamaian yang berkeadilan di Aceh.


Sebagai sikap keberpihakan pemerintah terhadap para korban pelanggaran HAM di Aceh, maka kami meminta kesediaan Pemerintah Aceh dan DPRA untuk turut menandatangani pernyataan sikap masyarakat korban konflik Aceh.


1. Meminta pemerintahan Aceh agar segera membentuk pengadilan HAM dan KKR di Aceh sebagaimana yang telah diamanatkan dalam MoU Helsinki.
2. Meminta Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk mempercepat realisasi proses reintegrasi dan penanganan bagi korban pelanggaran HAM secara maksimal, bermartabat dan berkeadilan.
3. Meminta Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk segera merombak sistem dalam tubuh Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dan menjalankan program yang berorientasi langsung ke masyarakat korban.
4. Meminta Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk melibatkan Korban secara representatif dalam proses pengambilan kebijakan dan implementasi kebijakan yang menyangkut dengan penanganan terhadap korban konflik Aceh.
5. Meminta Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk memperjelas kembali kategori korban konflik.
6. Menuntut Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk melakukan pertemuan secara periodik dengan korban konflik Aceh.
7. Menuntut Pemerintahan dan DPRA untuk melakukan penanganan terhadap korban konflik dalam APBD.
8. Menuntut BRA untuk merobah sistem Program reintegrasi yang selama ini dilakukan dengan pola PPK.
9. Meminta Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk menyediakan pendidikan gratis dengan memberikan beasiswa kepada anak korban konflik mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
10. Meminta Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis secara permanen untuk korban konflik. Dengan memberikan kartu khusus kepada semua keluarga korban.
11. Meminta BRA agar transparansi dalam pengelolaan dana, verifikasi data korban, dan pelaksanaan program reintegrasi.
12. Meminta Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk menyediakan media informasi tentang program reintegrasi di tiap desa.
13. Meminta DPRA untuk lebih serius mengawasi dan mengevaluasi terhadap pemenuhan hak korban konflik.
14. Meminta Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk memasukkan pendidikan HAM dalam kurikulum sekolah.
15. Meminta Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk menyelesaikan klaim tanah yang pernah dirampas paksa untuk dijadikan pos pos militer pada masa konflik.
16. Meminta Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk mendesak Pemerintah Indonesia agar menangkap dan mengajukan para Pelanggaran HAM di Aceh untuk diadili di Pengadilan HAM.

Pada saat Kongres ini, seluruh peserta juga menuntut kepada Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan kasus Pelanggaran HAM di Indonesia. Seperti: Kasus Tanjung Periok, Kasus penculikan mei, kasus 65, kasus pelanggaran HAM di Papua, Poso dan Timur Leste sebagai bentuk solidaritas.

Demikian aspirasi korban pelanggaran HAM Aceh yang dirumuskan dalam kongres Masyarakat korban di Saree, Aceh Besar.

Saree, Aceh Besar 23 Juli 2007
Solidaritas Persaudaraan Korban Pelanggaran HAM
(SPKP HAM) Aceh

Ketua BPO Ketua DUK
Ali Zamzami.HR Tgk. Nurdin

Ketua SPKP HAM Ketua SPKP HAM
Kabupaten Aceh Besar Kabupaten Aceh Utara
Drs. Nasrullah Imran

Ketua SPKP HAM Ketua SPKP HAM
Kabupaten Aceh Timur Kabupaten Pidie
Amiruddin Hj. Nurma

Ketua SPKP HAM Ketua SPKP HAM
Kabupaten Nagan Raya Kabupaten Aceh Barat
Mukhtaruddin Mirwanda

Ketua SPKP HAM Ketua Aceh Tengah
Kabupaten Aceh Selatan Kabupaten Aceh Tengah
Ridha Nisfu Spd. Mukhlis

Ketua SPKP HAM Ketua SPKP HAM
Kabupaten Aceh Barat Daya Bireun
Saiful Husniddin Muzakkir


Solidaritas Korban Pelanggaran HAM

Mugiyanto
(Korban Penculikan 1998)/Ketua IKOHI (Ikatan Orang Hilang Indonesia)

Gayus Yomaki (Papua) :
Ketua IKOHI (Ikatan Orang Hilang Indonesia) K2N

D.T. Utomo (Malang)
Ketua IKOHI JATIM (Ikatan Orang Hilang Indonesia)

Dyah Sujirah
(IKOHI JATENG)

Boy (Kendari)
(SKP HAM SULTRA)

Nurlela
(SKP HAM SULTENG)

Wanna Yetty
(Korban Tanjung Priok 1984) /IKOHI (Ikatan Orang Hilang Indonesia) Jakarta

Edio Borges (Timor Leste)
(Korban Santa Cruz 1991 Timor Leste)

Lestari (Jakarta)
(Korban Peristiwa 65)

Ruminah
(Korban Peristiwa Mei)

Eliza dos Santos
(Korban Pembantaian Liquisa 1999 Timor Leste)

Informasi lebih lanjut bisa menghubungi:
Ketua SPKP HAM Aceh Sdr. Ali Zamzami (Hp. 0813 6082 5000 / 0852 7752 8000)



NAVIGATION
BUKU BARU!!!

Image and video hosting by TinyPic>

Kebenaran Akan Terus Hidup
Jakarta : Yappika dan IKOHI xx, 220 hlm : 15 x 22 cm
ISBN: Cetakan Pertama,
Agustus 2007
Editor : Wilson
Desain dan Tata letak :
Panel Barus
Diterbitkan Oleh :
Yappika dan IKOHI
Dicetak oleh :
Sentralisme Production
Foto : Koleksi Pribadi

Dipersilahkan mengutip isi buku dengan menyebutkan sumber.

Buku ini dijual dengan harga RP. 30,000,-. Untuk pembelian silahkan hubungi IKOHI via telp. (021) 315 7915 atau Email: kembalikan@yahoo.com


NEWEST POST



ARCHIVES


ABOUT



IKOHI was set up on September 17, 1998 by the parents and surfaced victims of disappearances. Since then, IKOHI was assisted by KONTRAS, until October 2002 when finally IKOHI carried out it first congress to complete its organizational structure. In the Congress, IKOHI decided its two priority of programs. They are (1) the empowerment of the social, economic, social and cultural potential of the members as well as mental and physical, and (2) the campaign for solving of the cases and preventing the cases from happening again. The solving of the cases means the reveal of the truth, the justice for the perpetrators, the reparation and rehabilitation of the victims and the guarantee that such gross violation of human right will never be repeated again in the future.

Address
Jl. Matraman Dalam II, No. 7, Jakarta 10320
Indonesia
Phone: 021-3100060
Fax: 021-3100060
Email: kembalikan@yahoo.com


NETWORK


COUNTERPARTS

Indonesian NGOs
State's Agencies
International Organizations

YOUR COMMENTS

Powered by TagBoard
Name

URL / Email

Comments [smilies]



engine: Blogger

image hosting: TinyPic








layout © 2006
IKOHI / content © 2006 IKOHI Indonesia

public licence: contents may be cited with acknowledgement of the owner

best view with IE6+ 1024x768 (scripts enabled)