<body bgcolor="#000000" text="#000000"><!-- --><div id="flagi" style="visibility:hidden; position:absolute;" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><div id="flagtop"></div><div id="top-filler"></div><div id="flagi-body">Notify Blogger about objectionable content.<br /><a href="http://help.blogger.com/bin/answer.py?answer=1200"> What does this mean? </a> </div></div><div id="b-navbar"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-logo" title="Go to Blogger.com"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/logobar.gif" alt="Blogger" width="80" height="24" /></a><div id="b-sms" class="b-mobile"><a href="sms:?body=Hi%2C%20check%20out%20%5B%20Ikatan%20Keluarga%20Orang%20Hilang%20Indonesia%20%5D%20%3A%3A%20IKOHI%20Indonesia%20at%20ikohi.blogspot.com">Send As SMS</a></div><form id="b-search" name="b-search" action="http://search.blogger.com/"><div id="b-more"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-getorpost"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_getblog.gif" alt="Get your own blog" width="112" height="15" /></a><a id="flagButton" style="display:none;" href="javascript:toggleFlag();" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif" name="flag" alt="Flag Blog" width="55" height="15" /></a><a href="http://www.blogger.com/redirect/next_blog.pyra?navBar=true" id="b-next"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_nextblog.gif" alt="Next blog" width="72" height="15" /></a></div><div id="b-this"><input type="text" id="b-query" name="as_q" /><input type="hidden" name="ie" value="ISO-8859-1" /><input type="hidden" name="ui" value="blg" /><input type="hidden" name="bl_url" value="ikohi.blogspot.com" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_this.gif" alt="Search This Blog" id="b-searchbtn" title="Search this blog with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value='ikohi.blogspot.com'" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_all.gif" alt="Search All Blogs" value="Search" id="b-searchallbtn" title="Search all blogs with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value=''" /><a href="javascript:BlogThis();" id="b-blogthis">BlogThis!</a></div></form></div><script type="text/javascript"><!-- var ID = 3565544;var HATE_INTERSTITIAL_COOKIE_NAME = 'dismissedInterstitial';var FLAG_COOKIE_NAME = 'flaggedBlog';var FLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/flag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var UNFLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/unflag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var FLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif';var UNFLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/unflag.gif';var ncHasFlagged = false;var servletTarget = new Image(); function BlogThis() {Q='';x=document;y=window;if(x.selection) {Q=x.selection.createRange().text;} else if (y.getSelection) { Q=y.getSelection();} else if (x.getSelection) { Q=x.getSelection();}popw = y.open('http://www.blogger.com/blog_this.pyra?t=' + escape(Q) + '&u=' + escape(location.href) + '&n=' + escape(document.title),'bloggerForm','scrollbars=no,width=475,height=300,top=175,left=75,status=yes,resizable=yes');void(0);} function blogspotInit() {initFlag();} function hasFlagged() {return getCookie(FLAG_COOKIE_NAME) || ncHasFlagged;} function toggleFlag() {var date = new Date();var id = 3565544;if (hasFlagged()) {removeCookie(FLAG_COOKIE_NAME);servletTarget.src = UNFLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = false;} else { setBlogspotCookie(FLAG_COOKIE_NAME, 'true');servletTarget.src = FLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = true;}} function initFlag() {document.getElementById('flagButton').style.display = 'inline';if (hasFlagged()) {document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;} else {document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;}} function showDrop() {if (!hasFlagged()) {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'visible';}} function hideDrop() {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'hidden';} function setBlogspotCookie(name, val) {var expire = new Date((new Date()).getTime() + 5 * 24 * 60 * 60 * 1000);var path = '/';setCookie(name, val, null, expire, path, null);} Function removeCookie(name){var expire = new Date((new Date()).getTime() - 1000); setCookie(name,'',null,expire,'/',null);} --></script><script type="text/javascript"> blogspotInit();</script><div id="space-for-ie"></div>
IKOHI

Friday, September 19, 2008

Ultah ke-10: IKOHI Mensyukuri Kemenangan


Refleksi Ketua IKOHI
Memperingati Satu Dasawarsa IKOHI
17 September 1998 – 17 September 2008


Mensyukuri Kemenangan
(Modal Memperjuangkan Kebenaran dan Keadilan bagi Korban)



17 September 2008 adalah peringatan hari jadi IKOHI yang ke-10. Persis 10 tahun yang lalu, keluarga korban aktifis pro-demokrasi yang diculik oleh satuan Kopassus mendirikan tenda keprihatinan di halaman YLBHI, Jakarta. Mereka prihatin, karena pemerintah Habibie tidak segera mencari korban penculikan yang masih hilang dan menindak para pelaku. Padahal keterlibatan militer, khususnya Kopassus pada waktu itu sudah terlihat gamblang.

Untuk mengejawantahkan keprihatinan menjadi tindak perjuangan, dan dengan dorongan dari Munir, para keluarga korban yang dimotori oleh Misiati dan Raharjo Utomo (orangtua Petrus Bima Anugerah), Said Alkatiri (ayah Noval Alkatiri), Hj. Marufah (ibunda Faisol Riza), Eva Arnaz (istri Dedy Hamdun), Yuniarsih (ibunda Herman Hendrawan), serta Paian Siahaan (ayah Ucok Siahaan) mendirikan sebuah paguyuban keluarga korban penghilangan paksa yang mereka beri nama Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia atau IKOHI. Adnan Buyung Nasution, Ali Sadikin, Adi Andoyo, HJC Princen dan Amin Rais, adalah beberapa saksi hidup pendirian IKOHI pada waktu itu.

Kini usia IKOHI sudah beranjak satu dekade. Pada ulang tahun IKOHI yang ke-10 ini, kami mengambil tema “Mensyukuri Kemenangan”, sebuah tema yang mungkin kontroversial, menimbulkan beribu gugat tanya atau malah mencengangkan mengingat masih jauhnya keadilan, kebenaran dan perdamaian dari hati para korban pelanggaran HAM. Namun IKOHI memiliki cara tersendiri untuk memaknainya.

Ditengah politik dan budaya impunitas yang mengental, perjuangan menuntut kita untuk cermat dan tidak hanya melihat hal-hal negatif, halangan, rintangan, hambatan dan kegagalan. Kita juga dituntut untuk melihat, menghargai dan mensyukuri beberapa kemenangan yang sering tidak kita sadari. Menghargai dan mensyukuri kemenangan akan menebalkan optimisme dan harapan bahwa yang kita perjuangkan tidaklah tanpa hasil atau gagal. Mengenali, merawat dan mensyukuri kemenangan yang ada akan menjadi energi dan tenaga perjuangan yang memang menuntut stamina prima.

IKOHI menganggap bahwa kemenangan tidak hanya selalu berarti diadilinya para pelaku, terungkapnya kebenaran dan dipenuhinya hak-hak para korban dan keluarganya. Kemenangan bagi kami bisa berwujud hal-hal sepele yang sering kita abaikan, tapi ia bermakna jauh lebih agung dari sekedar digelarnya panggung dagelan pengadilan HAM, atau dibentuknya Komisi Kebenaran yang semangatnya adalah memaafkan dan melupakan.

Tanpa sadar, kita sebenarnya telah memenangi perjuangan pertama yang sangat menentukan. Kemenangan itu adalah ketika kita, para korban dan keluarga korban mempertanyakan keadilan lalu mengorganisasikan diri. Kita musti sadar, ketika Yani Afri, Suyat, Wiji Thukul, Herman Hendrawan dan Bima dihilangkan, para penculik bermaksud menghilangkan juga semangat dan perjuangan para aktifis pro-demokrasi ini. Ketika Munir dibunuh, para pembunuh juga ingin Munir mati bersama kegiatan, semangat dan perjuangannya untuk demokrasi dan hak asasi manusia. Tapi, apakah kegiatan mereka berhenti, semangat mereka pudar dan perjuangannya luntur. Jawabannya adalah tidak! Tidak hanya keluarga yang ditinggalkan yang terus berjuang, bahkan kini kelompok masyarakat yang lain pun akhirnya menjadi pewaris nilai dan pelanjut perjuangan mereka. Sehingga menjamurlah organisasi-organisasi korban pelanggaran HAM di berbagai daerah. Ini adalah kemenangan terbesar kita, kemenangan untuk tetap hidup dan berlawan, dari usaha pembungkaman, ancaman bahkan pembunuhan dan penghilangan.

Walaupun tidak ada penghukuman, digelarnya pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Timor Timur dan Tanjung Priok juga adalah merupakan kemenangan bagi korban, masyarakat dan bagi hak asasi manusia itu sendiri. Pengadilan itu menjadi anti klimaks dari kebrutalan sebuah rejim, yang dengan alat kekerasannya yaitu polisi dan tentara pernah secara barbar menginjak-injak kemanusiaan. Walau tidak berhasil menghukum pelaku, Pengadilan HAM Ad Hoc itu pernah meminta pertanggungjawaban pihak dan orang-orang yang pada masa Orde Baru sangat berkuasa dan karenanya menakutkan. Walaupun gagal, Pengadilan HAM Ad Hoc telah berhasil memberi pelajaran penting bagi aparat represif negara untuk tidak semena-mena diwaktu mendatang.

Demikian juga proses hukum dalam bentuk penyelidikan atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat seperti kasus Mei 1998, Trisakti - Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa 1997 – 1998, Lampung 1989, Wamena dan lain-lainnya. Walaupun semuanya berhenti di laci Jaksa Agung, mereka adalah hasil dari buah perjuangan korban dan keluarganya, serta kelompok masyarakat yang mengagungkan ditegakkannya hak-hak asasi manusia.

Masih banyak dan teramat banyak kemenangan-kemenangan para korban untuk diuraikan disini. Orang boleh bilang, bahwa itu hanyalah kemenangan-kemenangan kecil. Tapi kita musti tahu, kemenangan-kemenangan kecillah yang akan membuka jalan bagi kemenangan-kemenangan besar. Kemenangan besar hanya bisa diraih bila kemenangan-kemenangan kecil sudah didapat. Sedikit demi sedikit, lama lama menjadi bukit.

Memperjuangkan keadilan dan kebenaran dalam sebuah rejim yang tidak bersahabat dengan hak asasi manusia sungguh luar biasa berat. Ia seperti perjuangan untuk menumbangkan rejim itu sendiri. Dalam hal ini, sastrawan asal Ceko Milan Kundera secara persis mengatakan dalam bukunya “the Book of Laughter and Forgetting” bahwa “the struggle of man against power is like the struggle of memory against forgetting”.

10 tahun sejak IKOHI berdiri, bukanlah waktu yang singkat untuk berjuang. Terlebih lagi bagi para korban pelanggaran HAM yang peristiwanya terjadi jauh sebelum itu, seperti korban peristiwa pembantaian paska 30 September 1965, DOM di Aceh dan Papua, Tanjung Priok, Lampung, Petrus dan sebagainya. Mereka telah berjuang sejak peristiwa terjadi hingga ke seluruh sisa hidupnya.

Dari sini, saya mencoba melontarkan sebuah pertanyaan, yang menurut saya layak untuk kita renungkan jawabannya. Karena dari sana kita mungkin bisa memetik makna atau hikmah. Pertanyaannya adalah, apa yang membuat para korban sanggup bertahan untuk berjuang sedemikian lama? Energi apa yang mereka miliki untuk menjaga stamina perjuangan?

Dalam buku “Api Dilawan Air; Sosok dan Pemikiran Munir” yang diterbitkan LP3ES disebutkan bahwa Munir adalah orang yang sangat percaya pada sikap optimis. Optimisme dapat menggiring orang pada kehidupan yang lebih baik. Sikap optimis dapat membuat orang percaya pada pengharapan. Sikap itu juga dapat menuntun orang memahami kemanusiaan yang sesungguhnya.

Demikianlah, optimisme membuat orang hidup dan terus berusaha. Optimisme bisa muncul ketika kita memiliki harapan. Harapan bisa ada karena contoh-contoh dan pengalaman-pengalaman keberhasilan dan kemenangan. Disinilah pentingya kita menghargai keberhasilan dan kemenangan. Dan salah salah satu wujud penghargaan kita terhadap keberhasilan dan kemenangan adalah dengan mensyukurinya.

Ketika didirikan 10 tahun lalu, yang kemudian disempurnakan pada Kongres I tanggal 11 sampai 14 Oktober 2002, kami ingin menjadikan IKOHI sebagai wadah perjuangan korban. Kami berkeyakinan bahwa sudah waktunya korban harus mengubah diri menjadi penyintas, atau bahkan pejuang. Korban harus menjadi pelaku atau subjek dari perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, untuk selanjutnya bergandengan tangan dengan para aktifis HAM atau siapapun yang menginginkan ditegakkannya keadilan di negeri ini. Korban dan keluarga korban kami yakini sebagai entitas yang paling punya kepentingan dan sah untuk memperjuangkan keadilan bagi mereka sendiri atau keluarganya yang dijadikan korban oleh negara.

Sejak didirikan, IKOHI telah mengalami berbagai dinamika pasang surut dan metamorfosa. Dari paguyuban yang terdiri dari puluhan keluarga korban penculikan tahun 1997-1998, IKOHI kemudian menjadi organisasi korban penghilangan paksa di seluruh Indonesia. Bahkan sejak Kongres II di Makassar pada tanggal 6-8 Maret 2006 IKOHI disepakati untuk menjadi wadah organisasi korban dan keluarga korban berbagai tindak pelanggaran HAM di seluruh Indonesia, tidak hanya penghilangan paksa saja. Hal ini menunjukkan adanya semangat yang luar biasa bagi korban untuk bersatu, menghilangkan sekat-sekat peristiwa, kasus dan wilayah. Hal ini juga didasari pada pengalaman bahwa korban pelanggaran HAM apapun, dimanapun, didasari konteks politik seperti apapun dampaknya bagi korban adalah sama, yaitu penderitaan.

Satu dasawarsa sudah usia IKOHI hari ini. Dengan prioritas kerja pada pemberdayaan dan penguatan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM serta kampanye penyelesaian kasus oleh negara, IKOHI telah turut memberi warna pada keadaan hak asasi manusia pada hari ini. Memang masih jauh untuk bisa dikatakan baik, terutama bila diukur pada sejauh mana negara mengungkap kebenaran, meminta pertanggungjawaban pada para pelaku dan pemenuhan hak hak korban. Tetapi tidak bisa dikatakan pula bahwa perjuangan IKOHI gagal. Dengan segala keterbatasan kapasitas sumberdaya manusia, dukungan dana, masyarakat dan terutama politik HAM pemerintah yang masih melanggengkan impunitas, IKOHI masih bisa bersama dengan korban memperjuangkan digelarnya pengadilan HAM, didirikannya Komisi Kebenaran dan merespon isu-isu mutahir lainnya seperti pembunuhan pemimpin kami, Munir. Dengan dukungan berbagai pihak, IKOHI juga bisa menjalankan program layanan konsultasi psikologis, biaya bantuan sekolah bagi anak-anak korban, menggelar pendidikan HAM di beberapa daerah, pelatihan psikososial, merintis usaha ekonomi mandiri dan koperasi seperti yang kami lakukan di Jakarta.

Sebagai organisasi yang didirikan oleh keluarga korban penculikan aktifis tahun 1997-1998, IKOHI berhasil mengawal proses hingga Komnas HAM menyelesaikan penyelidikan ad hoc untuk kasus tersebut, yang sayangnya kini di peti-eskan oleh jaksa Agung.

Di kancah internasional IKOHI juga telah bisa turut berperan aktif di forum-forum sidang Komisi HAM dan Dewan HAM PBB, terutama setelah IKOHI menjadi anggota Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) pada tahun 2003. Semua aktifitas itu ditujukan untuk menarik dukungan komunitas internasional agar mendesak dan mendorong Indonesia taat pada prinsip-prinsip HAM universal dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi dan memperhatikan hak-hak korban. IKOHI juga secara rutin berkomunikasi dengan Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Paksa (UNWGEID) dengan melaporkan kasus-kasus penghilangan paksa secara individual. Bahkan khusus untuk isu penghilangan paksa, IKOHI berbahagia telah turut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan lobby di PBB hingga akhirnya Konvensi Internasional tentang Penghilangan Orang Secara Paksa disahkan oleh PBB pada bulan Desember 2006. Dan sebagai pengakuan atas sepak terjang IKOHI itu, ketua IKOHI, Mugiyanto akhirnya dipilih secara konsensus untuk menjadi Ketua AFAD dalam Kongres ke-3 di Katmandú, Nepal akhir tahun2006 yang lalu.

Keberhasilan IKOHI melewati satu dasawarsa atau satu dekade ini tak lain dan tak bukan adalah karena kerjasama dan dukungan segenap keluarga korban yang selama ini hidup dan berjuang bersama-sama IKOHI. Tanpa mereka dan dukungan mereka, IKOHI bukanlah apa-apa dan bukan siapa-siapa.

Organisasi-organisasi daerah yang merupakan jaringan IKOHI seperti SPKP-HAM Aceh, SKP-HAM Sulteng, Sulsel dan Sultra, IKOHI K2N, serta IKOHI Jateng dan Jatim adalah jaringan utama kami, tempat para korban membangun dan menjalin solidaritas. Demikian juga Kontras Jakarta, Aceh, Papua dan Medan, serta Elsam, ICTJ, Praxis, Yayasan Pulih, ICMC, VHR dan Imparsial adalah lembaga-lembaga yang sangat berperan membesarkan dan menguatkan kami.

Terima kasih juga kami sampaikan atas dukungan dan kerjasamanya; Demos, HRWG, YLBHI, PSHK, PEC, LBH Jakarta, Arus Pelangi, Ultimus, Media Bersama dan lain-lain yang tak mungkin disebutkan satu persatu, serta kawan-kawan yang bersama di jaringan gerakan HAM dan demokrasi; PRP, KORBAN, FPN dan gerakan sektoral lainnya. Kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas dukungannya selama ini. Terima kasih juga kami sampaikan kepada lembaga-lembaga yang telah memberikan dukungan finansial demi suksesnya program-program IKOHI seperti Yayasan Tifa, Kedutaan Besar Swiss, Hivos, IALDF, ICMC, AFAD, Tapol, EKD, the Bodyshop, Forum Asia, Kedutaan Besar Argentina, dll.

Menginjak usai ke-11, IKOHI akan menjadikan kegagalan sebagai pelajaran untuk memperbaiki dan melanjutkan apa yang telah kami raih. Menghargai dan mensyukuri kemenangan, walaupun yang terkecil sekalipun, akan kami jadikan sebagai modal untuk bersiap dalam perjuangan jangka panjang, terutama dengan memprioritaskan pada dipenuhinya hak-hak korban akan keadilan, kebenaran, perdamaian, jaminan ketidakberulangan serta pemulihan fisik dan mental.

Selamat Ulang Tahun IKOHI!

Solidarity Message from AFAD for the IKOHI 10th Anniversary

Solidarity Message from AFAD



Dear Friends, sister, brothers – officers and members of the Indonesian Association of Families of the Disappeared (IKOHI), as you celebrate the 10th anniversary of your organization today, we bow our heads, send you our warmest greetings and once again renew our strong unity with you in our shared struggle and vision for "a world without desaparecidos."


Your theme for the day, "A Decade of Victims' Struggle for Truth and Justice" is most fitting. It is also now 10 long years since we forged our collective strength and started marching together gradually but surely towards the achievement of our shared dreams and aspirations. As we look back, the road was not easy – sometimes, this was thorny and bumpy, we met trials, difficulties and pains including that of losing some of our beloved co-workers like Munir and Aasia – who are now among the many Asian human rights defenders who became victims themselves.


Yet, they were not silenced by the powers-that-be despite their physical deaths because we who are left behind remain firm and steadfast in pursuing the cause they have died for. We keep on with the long, long journey towards the achievement of justice for our disappeared loved ones and for all desaparecidos all over the world.


Today as in many other important dates we share, let us further strengthen our unity and continue to work together so that in giving our share towards the resolution of enforced disappearance cases, our children and our children's children will not anymore suffer the same fate suffered by our beloved desaparecidos who are now physically gone but are immortalized in our minds and hearts.


Our work may not be easy as we experienced so often in the past. But especially during the most trying times, let us always remember that we are not alone, that we have collectively evolved an Asia-wide federation for the disappeared and their families, one that has always maintained strong ties with the international movement for the desaparecidos and their families. It is from our strong regional and global unity that we will always derive the much-needed strength and inspiration to go on and it is from this same vein that we assure you our loving presence.

The organizing of families of the disappeared, which is the central task of IKOHI is a recognition of the principal role of the families in bringing to a triumphant end the years of struggle towards a world without desaparecidos.

We wish you more fruitful years to come! More power to all of you! Long live IKOHI!





MARY AILEEN DIEZ-BACALSO

Secretary-General
Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD)
Rms. 310-311 Philippine Social Science Center Bldg.,
Commonwealth Ave., Diliman, 1103 Quezon City
Phone: 00-632-9274594Telefax: 00-632-4546759
Website: http://www.afad-online.org/

Friday, September 12, 2008

AFAD Remembers Munir


Asian Federation Against Involuntary Disappearances -AFAD
Rms. 310-311 Philippine Social Science Center Building
Commonwealth Avenue, Diliman, 1103 Quezon City Philippines
Telefax: 00-632-4546759 Telephone Number 00-632-9274597 Mobile 00-63-9177924058
Email afad@surfshop.net.ph website www.afad-online.org


Remembering Munir…



There is an old adage that says “those who are brave enough to speak out in the face of death inspire the courage of others.” This is how Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) remembers its former Chairperson, Munir Said Thalid in the commemoration of his fourth death anniversary as it joins hands in solidarity with his family, friends and colleagues in the human rights community in Asia and in other continents in the pursuit for justice against all forms of human rights abuses and impunity.

In its third book entitled, “Reclaiming Stolen Lives” launched on 29 August 2008, the eve of International Day of the Disappeared, AFAD revisited Munir’s life and work through an article written by Mr. Chang Chiu. The article provides accounts of Munir’s exemplary contribution to human rights and to the demand for accountability as part of the democratic transition of Indonesia.

Munir as he is popularly known, was the most fearless and outspoken critic of Indonesia's armed forces which committed gross human rights violations in Papua, Aceh and East Timor during the 32-year authoritarian of former Indonesian president Haji Mohammad Suharto. He became the powerful voice of the voiceless victims of human rights abuses as he championed their cause in and out-of-the-courtroom even in the face of intimidation and coercion, including death threats. After the fall of the Suharto government, Munir co-founded the Commission for Disappearance and Victims of Violence (Kontras) to help the families of democratic activists who were kidnapped and murdered by the military to know the truth and to seek justice. He also served as a member of IMPARSIAL, a commission created by the government to investigate the human rights violations in East Timor. It was during this period when he was elected Chairperson of AFAD, a Federation of human rights organizations working directly on the issue of enforced disappearances in Asia.

Munir’s human rights work didn’t leave unnoticed by various international bodies which are also committed to the same principle. He was awarded with numerous recognitions, including a citation as Man of the Year in 1998 by a leading Indonesian Muslim periodical called, “UMMAT.” He was also chosen as one of the “Young Leaders for the Millennium” by Asia Week and ‘The Right Livelihood Award’, which is considered as the 'Alternative Nobel Prize' in 2000 for his courage and dedication to human rights.

However, this same principle had also put Munir’s life in peril. There were those who considered him as a threat to their power and interest and would want him no less than dead. On 7 September 2004, the shadow of death had finally whisked away a good soul, Munir was murdered with a fatal dose of arsenic on a Garuda flight bound for Amsterdam. He was supposed to take up a scholarship in humanitarian law and human rights at Utrecht University. A Garuda pilot suspected of being a member of BIN (Indonesia’s National Intelligence Agency) was accused of murder in conspiracy with the national airline officials. Despite legal maneuvering to throw out Munir’s case, the mounting pressure from local and international human rights community had paved the way to two convictions.


Polycarpus Budihari Priyanto was found guilty of murder and sentenced to 20 years imprisonment while Garuda’s former chief executive, Indra Setiawan was sentenced for one year for being an accomplice. But even when the Indonesian courts had convicted the principal suspects, evidence still shows that they did not act on their own and there is an indication of a clear involvement of the secret services. In fact as early as June 2005, a government-appointed fact-finding team had already handed over its report to President Susilo Bambang Yudhoyono with its recommendation to investigate the role of National Intelligence Agency in Munir’s death.

It was only after three years since the fact-finding team’s report came out that the government acted on it. In August of this year, Major General Muchdi Purwopranjono, a deputy director at the time of Munir’s death, who was in charge of covert military operations, was arrested and charged with premeditated murder. During Munir’s murder case, it was established that the convicted Garuda pilot had a regular mobile phone communication with General Muchdi which provided a valid ground to believe that he ordered the killing of Munir. Although the arrest of General Muchdi is considered by many as a breakthrough in the fight against impunity and a good showing on the part of the government of President Susilo Bambang Yudhoyono who for keeping its promise to clean up Indonesia’s tarnished human rights reputation, the complexity of Munir’s death can not just put to blame those who were incidentally placed down the chain of command responsibility. The involvement of the state intelligence agency in the Munir’s murder shows the invisible hands from the higher ups.

Truly, Munir’s murder case is a litmus test not only to Indonesia’s justice system but also to its human rights situation particularly in providing protection to human rights defenders. Munir’s life will always serve as our guiding light. His courage and dedication will continuously inspire us in our struggle until those who are responsible for his death and for all human rights violations committed against thousands of innocent victims are brought to justice. We will not allow that his death be in vain. Munir’s life and death will forever relive his dream to build a peaceful, just and humane society and world where injustices and disappearances will have no place.


7 September 2008

Problema Raparasi Korban

PROBLEMATIKA PROSES PEMENUHAN HAK
KORBAN PELANGGARAN BERAT HAM DI INDONESIA
Oleh Rini Kusnadi *

Pendekatan dan proses penanganan berbagai kasus pelanggaran HAM berat selama ini hanya berkutat pada penuntutan terhadap pelaku. Hal ini tentu bukan sesuatu yang ditentang. Namun hal yang sering luput di samping penuntutan terhadap pelaku adalah mengenai pemenuhan hak korban. Seringkali pemenuhan hak korban ini dimengerti sebagai sesuatu yang akan terjadi setelah proses hukum final. Sementara kita tahu bahwa hanya sedikit kasus pelanggaran HAM berat yang bisa masuk dalam proses peradilan (Kasus Timor Timur, Tanjung Priok, Abepura).

Yang ada itu pun pada akhirnya tidak memuaskan rasa keadilan karena para pelaku bebas. Alhasil, pemenuhan hak korban atas reparasi pun menjadi hal yang tidak dianggap ada. Ini menunjukkan bahwa korban belum menjadi bagian yang penting dalam proses penegakkan hukum di Indonesia. Padahal perkembangan pendekatan HAM universal telah mengarah pada sikap bahwa hak korban harus dipenuhi terlepas dari proses hukum atas kasus yang menimpanya. Artinya, ketika seseorang atau sekelompok orang menjadi korban, maka sepatutnyalah mereka menerima hak-haknya atas reparasi (pemulihan).

Pengertian dan ruang lingkup korban menurut Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 tahun 1985 adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan peraturan yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Sedangkan Peraturan Pemerintah N0. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pelanggaran HAM berat menyatakan bahwa korban adalah perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran HAM berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, ganguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun.

Pemenuhan hak korban yang berupa reparasi ini diterjemahkan oleh Komisi HAM PBB sebagai upaya pemulihan kondisi korban pelanggaran HAM ke kondisi sebelum pelanggaran tersebut terjadi pada dirinya, baik menyangkut fisik, psikis, harta benda, dan hak status sosial politik korban yang dirusak dan dirampas. Upaya pemerintah untuk melakukan reparasi sudah diatur dalam Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan, ayat 1, bahwa korban pelanggaran HAM yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

Ayat 2 menyatakan bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM. Ayat 3 menyatakan bahwa ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Dalam penjelasan pasal tersebut kompensasi diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian yang sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Restitusi diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga yang ganti rugi ini dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Sedangkan rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lainnya.

Hambatan untuk mendapatkan Reparasi
Meskipun pemerintah sudah mengesahkan undang-undang mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM. namun tetap saja proses untuk mendapatkan reparasi sendiri mengalami berbagai hambatan.

Pertama, pelaku harus dinyatakan bersalah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida. Kedua, untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk kasus-kasus kejahatan yang terjadi sebelum tahun 2000 harus ada dukungan dari DPR dan Presiden. Ketiga, jaksa harus membuat permohonan untuk reparasi bagi korban sebagai bagian dari tuntutannya. Apabila pelaku dinyatakan bersalah, maka ia harus membayar restitusi. Apabila pelaku tidak membayar restitusi ini, maka korban harus melaporkannya pada Jaksa Agung yang kemudian akan meminta Departemen Keuangan untuk membayar kompensasi.

Bagi perempuan korban kejahatan seksual, hambatan pertama tidak mungkin dapat diterobos. Pengadilan HAM menggunakan hukum acara yang sama dengan kejahatan biasa (KUHAP). Dalam hal membuktikan perkosaan, maka seorang perempuan harus mempunyai 2 orang saksi, ditambah sebuah surat pemeriksaan dari dokter yang berdasarkan surat dari polisi 24 jam sesudah kejahatan terjadi. Tentunya, tak akan ada satupun kasus perkosaan yang terjadi pada tahun 1965, di daerah konflik manapun, yang dapat memenuhi persyaratan ini, sehingga tidak mungkin diadili pengadilan HAM.

Dalam kenyataannya, sampai saat ini belum ada satupun korban maupun keluarga pelanggaran HAM yang mendapatkan hak reparasinya yang sudah diatur dalam UU No.26 tahun 2000 ini. Hal ini, semakin memperlihatkan ketidakseriusan pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi. Walaupun pemerintah sudah mencoba mengeluarkan peraturan tentang reparasi untuk korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, namun tetap saja dalam prosesnya banyak sekali hambatan. Sehingga tidak memungkinkan bagi para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM untuk mendapatkan hak reparasinya.

* Penulis adalah Staf Departemen Penguatan Korban Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)

(diambil dari Buletin SADAR Edisi 155 Tahun IV, 2008)

NAVIGATION
BUKU BARU!!!

Image and video hosting by TinyPic>

Kebenaran Akan Terus Hidup
Jakarta : Yappika dan IKOHI xx, 220 hlm : 15 x 22 cm
ISBN: Cetakan Pertama,
Agustus 2007
Editor : Wilson
Desain dan Tata letak :
Panel Barus
Diterbitkan Oleh :
Yappika dan IKOHI
Dicetak oleh :
Sentralisme Production
Foto : Koleksi Pribadi

Dipersilahkan mengutip isi buku dengan menyebutkan sumber.

Buku ini dijual dengan harga RP. 30,000,-. Untuk pembelian silahkan hubungi IKOHI via telp. (021) 315 7915 atau Email: kembalikan@yahoo.com


NEWEST POST



ARCHIVES


ABOUT



IKOHI was set up on September 17, 1998 by the parents and surfaced victims of disappearances. Since then, IKOHI was assisted by KONTRAS, until October 2002 when finally IKOHI carried out it first congress to complete its organizational structure. In the Congress, IKOHI decided its two priority of programs. They are (1) the empowerment of the social, economic, social and cultural potential of the members as well as mental and physical, and (2) the campaign for solving of the cases and preventing the cases from happening again. The solving of the cases means the reveal of the truth, the justice for the perpetrators, the reparation and rehabilitation of the victims and the guarantee that such gross violation of human right will never be repeated again in the future.

Address
Jl. Matraman Dalam II, No. 7, Jakarta 10320
Indonesia
Phone: 021-3100060
Fax: 021-3100060
Email: kembalikan@yahoo.com


NETWORK


COUNTERPARTS

Indonesian NGOs
State's Agencies
International Organizations

YOUR COMMENTS

Powered by TagBoard
Name

URL / Email

Comments [smilies]



engine: Blogger

image hosting: TinyPic








layout © 2006
IKOHI / content © 2006 IKOHI Indonesia

public licence: contents may be cited with acknowledgement of the owner

best view with IE6+ 1024x768 (scripts enabled)