Harapan Baru dengan Konvensi Anti Penghilangan Paksa
Buletin Elektronik Prakarsa-Rakyat.org
SADAR
Simpul Untuk Keadilan dan DemokrasiEdisi: 27 Tahun III - 2007
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org
HARAPAN BARU
Akhir tahun 2006 lalu, tepatnya tanggal 20 Desember, Majelis Umum PBB, mengesahkan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Konvensi ini merupakan sebuah instrumen HAM internasional tentang penghilangan orang secara paksa, yang akan secara hukum mengikat (legally binding) negara-negara anggota PBB yang meratifikasinya. Kabar ini tentu sangat menggembirakan karena telah diperjuangkan oleh masyarakat internasional -terutama para keluarga korban- selama hampir 30 tahun terakhir.
Diawali oleh perjuangan Ibu-ibu
Pada awalnya, perjuangan untuk memiliki sebuah aturan hukum internasional ini dirintis oleh sekelompok ibu yang kehilangan anak-anaknya karena ditahan lalu dilenyapkan oleh pemerintahan junta militer di Argentina pada akhir tahun 1970-an. Ibu-ibu ini lalu mengatur diri dan melakukan protes diam dengan berjalan mengelilingi sebuah tugu di depan Istana Presiden Argentina setiap Kamis sore, di Plaza de Mayo. Karena itulah, sekelompok ibu-ibu ini mendapatkan julukan Las Madres de Plaza de Mayo (Ibu-Ibu di Plaza de Mayo).
Dari keringat, darah dan airmata ibu-ibu inilah, gelombang besar gerakan anti penghilangan paksa bergulung seperti tsunami di Amerika tengah dan selatan lainnya seperti Guatemala, Chile, El Salvador, Brasil, Costa Rica, Venezuela, Peru, Honduras, Uruguay dan Mexico. Dari belahan dunia inilah gerakan menentang praktik penghilangan paksa mengalir ke Eropa, sampai akhirnya memasuki badan-badan PBB.
Dari perjuangan itu, pada tahun 1980, PBB mendirikan mekanisme tematik khusus untuk kasus penghilangan paksa yang bernama Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Paksa (United Nations Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances - UNWGEID).
Kelompok Kerja ini memiliki mandat humanitarian dengan meneruskan laporan-laporan kasus individual oleh keluarga korban atau organisasi HAM ke pemerintah yang bersangkutan. Kelompok Kerja ini tidak memeliki wewenang memaksa pihak pemerintah untuk melakukan penyelidikan atau penuntutan atas sebuah kasus penghilangan paksa.
Lalu pada tahun 1992, Majelis Umum PBB mengesahkan Deklarasi PBB untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Deklarasi Anti Penghilangan Paksa). Deklarasi ini antara lain menyebutkan bahwa kasus tersebut tidak bisa dibenarkan atas alasan apapun. Namun, Deklarasi hanya merupakan ekspresi komitmen dan kesepakatan moral yang bersifat umum segenap anggota PBB untuk bersama-sama memerangi penghilangan paksa tanpa sanksi dan aturan yang mengikat negara-negara yang tidak mematuhinya.
Proses panjang pembahasan dan pengesahan Konvensi
Hasilnya, pada tahun 2002, Komisi HAM PBB membentuk Kelompok Kerja (Working Group) yang bertugas untuk merumuskan bentuk dan isi instrumen hukum yang dimaksud. Kelompok Kerja yang dipimpin oleh Duta Besar Perancis untuk PBB, Bernard Kessedjian ini mengadakan pertemuan dua kali setahun mulai tahun 2003 dengan me libatkan elemen masyarakat sipil. Pertemuan yang pernah diikuti oleh almarhum Munir ini sering diwarnai perdebatan panas, antara lain soal bentuk instrumen, apakah sebuah Protokol Tambahan (Optional Protocol) atas Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, ataukah sebuah Konvensi yang sama sekali terpisah.
Setelah perdebatan alot selama 3 tahun, akhirnya pada bulan September 2005, Kelompok Kerja tersebut menyetujui rancangan instrument dalam bentuk Konvensi untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
Selanjutnya pada bulan Juni 2006 Dewan HAM PBB yang baru terbentuk mengesahkan Rancangan Konvensi Anti Penghilangan Paksa tersebut dan memutuskan untuk membawa Rancangan Konvensi untuk disahkan oleh Majelis Umum PBB. Akhirnya, tanggal 20 Desember 2006, Sidang Majelis Umum PBB di New York benar-benar mengesahkan Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa. Sejak saat itu, Rancangan Konvensi ini secara resmi telah menjadi Konvensi yang bisa segera diberlakukan secara aktif.
Tahun 2007 tahun krusial
Tahun 2007 adalah tahun krusial dalam usaha masyarakat global melawan penghilangan paksa karena pada tahun 2007, Konvensi Anti Penghilangan Paksa yang baru disahkan itu akan mulai diratifikasi oleh berbagai negara dan diberlakukan secara aktif (enter into force).
Menurut Konvensi tersebut, Konvensi akan berlaku secara aktif 30 hari setelah diratifikasi oleh 20 negara. Dibandingkan dengan Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang mensyaratkan 60 ratifikasi negara, Konvensi ini dipastikan akan bisa berlaku aktif jauh lebih cepat, yaitu pada bulan Maret 2007, mengingat tanggal 7 Pebruari 2007, sudah terjadi kesepakatan lebih dari 20 negara Eropa Barat dan Amerika Latin untuk melakukan ratifikasi terbuka di Paris, Perancis. Dalam konteks nasional, pengesahan Konvensi Anti Penghilangan Paksa oleh PBB harus dijadikan momentum dan dorongan bagi pemerintah beserta jajaran penegak hukumnya untuk menunjukkan komitmennya dalam penegakan HAM. Secara khusus, momentum ini harus dijadikan kesempatan untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Ad Hoc Komnas HAM atas kasus Penghilangan Paksa tahun 1997-1998 yang saat ini berhenti di kantor Jaksa Agung.
Di sini penulis juga berharap agar Pemerintah Indonesia menjadi salah satu negara yang melakukan ratifikasi terbuka di Paris, Perancis pada bulan Pebruari 2007. Ratifikasi oleh Indonesia ini akan menjadi ukuran konsistensi sikap Indonesia sebagaimana disampaikan oleh Menlu Hassan Wirajuda yang dalam pidato pembukaan Sidang Pertama Dewan HAM PBB tanggal 22 Juni 2006 yang menyatakan Indonesia "akan memprioritaskan perlindungan non-derogable rights (hak dasar yang tidak bisa ditunda pemenuhannya), dan membuang jauh-jauh praktik extrajudicial killing (pembunuhan diluar prosedur hukum) dan enforced disappearances (penghilangan paksa). Ratifikasi oleh Indonesia juga akan sejalan dengan sikap Indonesia yang menjadi salah satu negara sponsor pengesahan Konvensi dalam Sidang Majelis Umum PBB ke 61 tanggal 20 Desember 2006 yang lalu.
Efektifitas Konvensi
Ketika Indonesia meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa, berarti Indonesia menjadi negara pihak (state party) atas Konvensi tersebut. Artinya pula, Indonesia mengikatkan diri pada aturan-aturan sebagaimana disebutkan dalam Konvensi. Konsekuensi lanjutannya, Indonesia harus menyesuaikan aturan-aturan hukum nasional supaya sejalan dengan Konvensi dimaksud.
Pertanyaannya kemudian, sejauh mana Konvensi bisa efektif memerangi penghilangan paksa, mengingat Indonesia sudah meratifikasi berbagai Konvensi internasional, namun tidak terimplementasi secara baik?
Pertama, Konvensi menegaskan bahwa tidak ada alasan apapun yang membenarkan tindak penghilangan paksa. Konvensi juga menyatakan bahwa penghilangan paksa adalah pelanggaran yang berkelanjutan (continuing offense) dan merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Konvensi melarang seseorang ditahan di tahanan rahasia dan semua negara pihak harus memiliki catatan resmi atas orang-orang yang sedang ditahan.
Konvensi juga mengharuskan semua negara pihak untuk menjadikan penghilangan paksa sebagai tindak pidana tersendiri dalam hukum pidana nasional. Selain itu, Konvensi juga mengharuskan negara pihak untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan bekerjasama dalam mencari, menyelidiki dan membebaskan orang-orang yang dihilangkan. Bila korban dinyatakan meninggal, negara pihak harus melakukan penggalian (exhumation), pengidentifikasian dan mengembalikan mayat atau kerangka kepada keluarga.
Selanjutnya, disebutkan Konvensi menjamin hak anggota keluarga dan masyarakat untuk mengetahui nasib dan keberadaan korban serta untuk mengetahui kemajuan dan hasil penyelidikan. Yang tak kalah pentingnya, Konvensi menjamin hak-hak korban atas pemulihan serta kompensasi yang cepat dan adil.
Kedua, untuk memastikan bahwa aturan Konvensi dijalankan oleh Negara pihak, Konvensi memiliki Badan Pemantau (Monitoring Body) yang bernama Komite Penghilangan Paksa (Committee on Enforced Disappearances). Komite ini beranggotakan 10 orang ahli yang kompeten, berdedikasi, berintegritas dan mewakili wilayah geografis internasional serta secara jender berimbang.
Komite inilah yang akan melakukan tugas-tugas antara lain menerima, menanggapi dan memberikan rekomendasi atas laporan negara pihak mengenai langkah-langkah yang diambil di tingkat nasional. Komite juga memiliki wewenang untuk meminta informasi dari negara pihak tentang orang yang dilaporkan hilang, serta memintanya melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencari korban. Selain itu, atas persetujuan negara pihak, anggota Komite juga bisa melakukan kunjungan ke sebuah negara pihak dan mengeluarkan laporan atas hasil kunjungan tersebut ke Komite.
Yang tak kalah pentingnya, untuk menjamin efektifitas Konvensi, Komite Penghilangan Paksa memiliki wewenang untuk membawa ke Sidang Majelis Umum PBB melalui Sekjen PBB bila terdapat negara pihak yang sama sekali tidak mau bekerjasama, dan bila ada indikasi bahwa tindakan penghilangan paksa sedang terjadi secara sistematis atau meluas.
Pertanda awal penegakan HAM 2007
Adanya Konvensi Anti Penghilangan Paksa tidak akan secara otomatis melenyapkan praktik penghilangan paksa dari muka bumi. Disahkannya Konvensi Anti Penghilangan Paksa secara konsensus berarti adanya kesepakatan hukum yang mengikat negara-negara anggota PBB untuk bersama-sama menghentikan, mencegah dan menghukum pelaku tindakan penghilangan paksa. Pengingkaran dan pelanggaran atas aturan-aturan Konvensi yang telah diratifikasi akan menjadikan sebuah negara pihak tercoreng dan terkucil dari pergaulan masyarakat dunia yang beradab.
Implementasi di tingkat nasional yang harus dilakukan setalah proses ratifikasi, sepenuhnya ditentukan oleh sejauh mana pemerintah sebuah negara benar-benar berkomitmen memerangi tindakan keji yang oleh masyarakat internasional dianggap sebagai hostis humanis generis ini.
Indonesia, yang kini duduk di dua lembaga terhormat PBB yaitu Dewan HAM (United Nations Human Rights Council) dan Dewan Keamanan (United Nations Security Council) diharapkan bisa menjadi contoh dan inspirasi bagi negara-negara lain dalam implementasi penegakan HAM, khususnya dalam isu penghilangan paksa dengan cara meratifikasi Konvensi.
Secara paralel, laporan penyelidikan Ad Hoc Komnas HAM untuk kasus penghilangan paksa tahun 1997-1998 juga musti segera ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung. Bila demikian, hal ini bisa menjadi pertanda awal yang baik bagi pemerintahan SBY-JK di tahun 2007 dalam bidang penegakan HAM.
----------------------------------------------------------
* Penulis adalah Ketua Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) dan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), sekaligus sebagai anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
SADAR
Simpul Untuk Keadilan dan DemokrasiEdisi: 27 Tahun III - 2007
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org
HARAPAN BARU
BAGI PERJUANGAN MELAWAN PENGHILANGAN PAKSA
Mugiyanto*
Akhir tahun 2006 lalu, tepatnya tanggal 20 Desember, Majelis Umum PBB, mengesahkan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Konvensi ini merupakan sebuah instrumen HAM internasional tentang penghilangan orang secara paksa, yang akan secara hukum mengikat (legally binding) negara-negara anggota PBB yang meratifikasinya. Kabar ini tentu sangat menggembirakan karena telah diperjuangkan oleh masyarakat internasional -terutama para keluarga korban- selama hampir 30 tahun terakhir.
Diawali oleh perjuangan Ibu-ibu
Pada awalnya, perjuangan untuk memiliki sebuah aturan hukum internasional ini dirintis oleh sekelompok ibu yang kehilangan anak-anaknya karena ditahan lalu dilenyapkan oleh pemerintahan junta militer di Argentina pada akhir tahun 1970-an. Ibu-ibu ini lalu mengatur diri dan melakukan protes diam dengan berjalan mengelilingi sebuah tugu di depan Istana Presiden Argentina setiap Kamis sore, di Plaza de Mayo. Karena itulah, sekelompok ibu-ibu ini mendapatkan julukan Las Madres de Plaza de Mayo (Ibu-Ibu di Plaza de Mayo).
Dari keringat, darah dan airmata ibu-ibu inilah, gelombang besar gerakan anti penghilangan paksa bergulung seperti tsunami di Amerika tengah dan selatan lainnya seperti Guatemala, Chile, El Salvador, Brasil, Costa Rica, Venezuela, Peru, Honduras, Uruguay dan Mexico. Dari belahan dunia inilah gerakan menentang praktik penghilangan paksa mengalir ke Eropa, sampai akhirnya memasuki badan-badan PBB.
Dari perjuangan itu, pada tahun 1980, PBB mendirikan mekanisme tematik khusus untuk kasus penghilangan paksa yang bernama Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Paksa (United Nations Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances - UNWGEID).
Kelompok Kerja ini memiliki mandat humanitarian dengan meneruskan laporan-laporan kasus individual oleh keluarga korban atau organisasi HAM ke pemerintah yang bersangkutan. Kelompok Kerja ini tidak memeliki wewenang memaksa pihak pemerintah untuk melakukan penyelidikan atau penuntutan atas sebuah kasus penghilangan paksa.
Lalu pada tahun 1992, Majelis Umum PBB mengesahkan Deklarasi PBB untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Deklarasi Anti Penghilangan Paksa). Deklarasi ini antara lain menyebutkan bahwa kasus tersebut tidak bisa dibenarkan atas alasan apapun. Namun, Deklarasi hanya merupakan ekspresi komitmen dan kesepakatan moral yang bersifat umum segenap anggota PBB untuk bersama-sama memerangi penghilangan paksa tanpa sanksi dan aturan yang mengikat negara-negara yang tidak mematuhinya.
Proses panjang pembahasan dan pengesahan Konvensi
Hasilnya, pada tahun 2002, Komisi HAM PBB membentuk Kelompok Kerja (Working Group) yang bertugas untuk merumuskan bentuk dan isi instrumen hukum yang dimaksud. Kelompok Kerja yang dipimpin oleh Duta Besar Perancis untuk PBB, Bernard Kessedjian ini mengadakan pertemuan dua kali setahun mulai tahun 2003 dengan me libatkan elemen masyarakat sipil. Pertemuan yang pernah diikuti oleh almarhum Munir ini sering diwarnai perdebatan panas, antara lain soal bentuk instrumen, apakah sebuah Protokol Tambahan (Optional Protocol) atas Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, ataukah sebuah Konvensi yang sama sekali terpisah.
Setelah perdebatan alot selama 3 tahun, akhirnya pada bulan September 2005, Kelompok Kerja tersebut menyetujui rancangan instrument dalam bentuk Konvensi untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
Selanjutnya pada bulan Juni 2006 Dewan HAM PBB yang baru terbentuk mengesahkan Rancangan Konvensi Anti Penghilangan Paksa tersebut dan memutuskan untuk membawa Rancangan Konvensi untuk disahkan oleh Majelis Umum PBB. Akhirnya, tanggal 20 Desember 2006, Sidang Majelis Umum PBB di New York benar-benar mengesahkan Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa. Sejak saat itu, Rancangan Konvensi ini secara resmi telah menjadi Konvensi yang bisa segera diberlakukan secara aktif.
Tahun 2007 tahun krusial
Tahun 2007 adalah tahun krusial dalam usaha masyarakat global melawan penghilangan paksa karena pada tahun 2007, Konvensi Anti Penghilangan Paksa yang baru disahkan itu akan mulai diratifikasi oleh berbagai negara dan diberlakukan secara aktif (enter into force).
Menurut Konvensi tersebut, Konvensi akan berlaku secara aktif 30 hari setelah diratifikasi oleh 20 negara. Dibandingkan dengan Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang mensyaratkan 60 ratifikasi negara, Konvensi ini dipastikan akan bisa berlaku aktif jauh lebih cepat, yaitu pada bulan Maret 2007, mengingat tanggal 7 Pebruari 2007, sudah terjadi kesepakatan lebih dari 20 negara Eropa Barat dan Amerika Latin untuk melakukan ratifikasi terbuka di Paris, Perancis. Dalam konteks nasional, pengesahan Konvensi Anti Penghilangan Paksa oleh PBB harus dijadikan momentum dan dorongan bagi pemerintah beserta jajaran penegak hukumnya untuk menunjukkan komitmennya dalam penegakan HAM. Secara khusus, momentum ini harus dijadikan kesempatan untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Ad Hoc Komnas HAM atas kasus Penghilangan Paksa tahun 1997-1998 yang saat ini berhenti di kantor Jaksa Agung.
Di sini penulis juga berharap agar Pemerintah Indonesia menjadi salah satu negara yang melakukan ratifikasi terbuka di Paris, Perancis pada bulan Pebruari 2007. Ratifikasi oleh Indonesia ini akan menjadi ukuran konsistensi sikap Indonesia sebagaimana disampaikan oleh Menlu Hassan Wirajuda yang dalam pidato pembukaan Sidang Pertama Dewan HAM PBB tanggal 22 Juni 2006 yang menyatakan Indonesia "akan memprioritaskan perlindungan non-derogable rights (hak dasar yang tidak bisa ditunda pemenuhannya), dan membuang jauh-jauh praktik extrajudicial killing (pembunuhan diluar prosedur hukum) dan enforced disappearances (penghilangan paksa). Ratifikasi oleh Indonesia juga akan sejalan dengan sikap Indonesia yang menjadi salah satu negara sponsor pengesahan Konvensi dalam Sidang Majelis Umum PBB ke 61 tanggal 20 Desember 2006 yang lalu.
Efektifitas Konvensi
Ketika Indonesia meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa, berarti Indonesia menjadi negara pihak (state party) atas Konvensi tersebut. Artinya pula, Indonesia mengikatkan diri pada aturan-aturan sebagaimana disebutkan dalam Konvensi. Konsekuensi lanjutannya, Indonesia harus menyesuaikan aturan-aturan hukum nasional supaya sejalan dengan Konvensi dimaksud.
Pertanyaannya kemudian, sejauh mana Konvensi bisa efektif memerangi penghilangan paksa, mengingat Indonesia sudah meratifikasi berbagai Konvensi internasional, namun tidak terimplementasi secara baik?
Pertama, Konvensi menegaskan bahwa tidak ada alasan apapun yang membenarkan tindak penghilangan paksa. Konvensi juga menyatakan bahwa penghilangan paksa adalah pelanggaran yang berkelanjutan (continuing offense) dan merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Konvensi melarang seseorang ditahan di tahanan rahasia dan semua negara pihak harus memiliki catatan resmi atas orang-orang yang sedang ditahan.
Konvensi juga mengharuskan semua negara pihak untuk menjadikan penghilangan paksa sebagai tindak pidana tersendiri dalam hukum pidana nasional. Selain itu, Konvensi juga mengharuskan negara pihak untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan bekerjasama dalam mencari, menyelidiki dan membebaskan orang-orang yang dihilangkan. Bila korban dinyatakan meninggal, negara pihak harus melakukan penggalian (exhumation), pengidentifikasian dan mengembalikan mayat atau kerangka kepada keluarga.
Selanjutnya, disebutkan Konvensi menjamin hak anggota keluarga dan masyarakat untuk mengetahui nasib dan keberadaan korban serta untuk mengetahui kemajuan dan hasil penyelidikan. Yang tak kalah pentingnya, Konvensi menjamin hak-hak korban atas pemulihan serta kompensasi yang cepat dan adil.
Kedua, untuk memastikan bahwa aturan Konvensi dijalankan oleh Negara pihak, Konvensi memiliki Badan Pemantau (Monitoring Body) yang bernama Komite Penghilangan Paksa (Committee on Enforced Disappearances). Komite ini beranggotakan 10 orang ahli yang kompeten, berdedikasi, berintegritas dan mewakili wilayah geografis internasional serta secara jender berimbang.
Komite inilah yang akan melakukan tugas-tugas antara lain menerima, menanggapi dan memberikan rekomendasi atas laporan negara pihak mengenai langkah-langkah yang diambil di tingkat nasional. Komite juga memiliki wewenang untuk meminta informasi dari negara pihak tentang orang yang dilaporkan hilang, serta memintanya melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencari korban. Selain itu, atas persetujuan negara pihak, anggota Komite juga bisa melakukan kunjungan ke sebuah negara pihak dan mengeluarkan laporan atas hasil kunjungan tersebut ke Komite.
Yang tak kalah pentingnya, untuk menjamin efektifitas Konvensi, Komite Penghilangan Paksa memiliki wewenang untuk membawa ke Sidang Majelis Umum PBB melalui Sekjen PBB bila terdapat negara pihak yang sama sekali tidak mau bekerjasama, dan bila ada indikasi bahwa tindakan penghilangan paksa sedang terjadi secara sistematis atau meluas.
Pertanda awal penegakan HAM 2007
Adanya Konvensi Anti Penghilangan Paksa tidak akan secara otomatis melenyapkan praktik penghilangan paksa dari muka bumi. Disahkannya Konvensi Anti Penghilangan Paksa secara konsensus berarti adanya kesepakatan hukum yang mengikat negara-negara anggota PBB untuk bersama-sama menghentikan, mencegah dan menghukum pelaku tindakan penghilangan paksa. Pengingkaran dan pelanggaran atas aturan-aturan Konvensi yang telah diratifikasi akan menjadikan sebuah negara pihak tercoreng dan terkucil dari pergaulan masyarakat dunia yang beradab.
Implementasi di tingkat nasional yang harus dilakukan setalah proses ratifikasi, sepenuhnya ditentukan oleh sejauh mana pemerintah sebuah negara benar-benar berkomitmen memerangi tindakan keji yang oleh masyarakat internasional dianggap sebagai hostis humanis generis ini.
Indonesia, yang kini duduk di dua lembaga terhormat PBB yaitu Dewan HAM (United Nations Human Rights Council) dan Dewan Keamanan (United Nations Security Council) diharapkan bisa menjadi contoh dan inspirasi bagi negara-negara lain dalam implementasi penegakan HAM, khususnya dalam isu penghilangan paksa dengan cara meratifikasi Konvensi.
Secara paralel, laporan penyelidikan Ad Hoc Komnas HAM untuk kasus penghilangan paksa tahun 1997-1998 juga musti segera ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung. Bila demikian, hal ini bisa menjadi pertanda awal yang baik bagi pemerintahan SBY-JK di tahun 2007 dalam bidang penegakan HAM.
----------------------------------------------------------
* Penulis adalah Ketua Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) dan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), sekaligus sebagai anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home