Tentang Pemanggilan Paksa TNI
Media Indonesia 1 Agustus 2006
Menhan dan Menkum HAM Belum Sepaham Soal Pemanggilan Paksa TNI
JAKARTA--MIOL: Pemanggilan terhadap enam anggota dan purnawirawan TNI oleh Komnas HAM beberapa waktu lalu ternyata berbuntut pada salah tafsir antara Departemen Hukum dan HAM dengan Departemen Pertahanan.
Menteri hukum dan HAM Hamid Awaludin mengungkapkan dirinya belum mengadakan pembicaraan dengan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono terkait pemanggilan paksa enam anggota dan purnawirawan TNI oleh Komnas HAM dalam kasus penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998.
"Saya malah belum tahu soal itu. Saya sama sekali tidak tahu soal itu," kata Hamid kepada Media Indonesia di Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, Selasa (1/8), usai bertemu Ketua MA Bagir Manan selama 20 menit sejak pukul 12.30 WIB.
Hamid juga tak mau memberikan keterangan ketika ditanya soal kontroversi perbedaan tafsir hukum antara Menhan dan Komnas HAM soal pemanggilan itu.
"Cukup, cukup," katanya sambil mengibaskan tangan dan memasuki lift.
Beberapa waktu lalu, Komnas HAM memanggil paksa enam anggota dan purnawirawan TNI terkait kasus penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998. Dari enam orang itu, dua di antaranya adalah militer aktif. Namun semuanya menolak memberikan keterangan sebagai saksi kepada tim ad hoc Komnas HAM.
Selain keenam orang tersebut, Komnas HAM juga memanggil sejumlah anggota dan purnawirawan TNI lainnya dalam kasus sama. Tapi dari 30 orang, hanya satu purnawirawan TNI yang memenuhi panggilan.
Menhan sebelumnya mengatakan akan mengkonsultasikan hal itu dengan Hamid. Terutama soal perbedaan tafsir antara Komnas dan pihak militer. Komnas berpayung UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, sedangkan militer mengklaim memiliki hukum acaranya sendiri.
Komnas juga telah melayangkan surat kepada Ketua PN Jakarta Pusat Cicut Sutiarso. Cicut akhirnya mempersoalkan perbedaan tafsir hukum pemanggilan paksa itu.
Sementara itu, Hakim Agung Djoko Sarwoko berpendapat pemeriksaan terhadap anggota TNI yang masih aktif sebaiknya didasarkan atas ketentuan hukum acara peradilan militer. Sementara bagi yang berstatus TNI nonaktif berlaku ketentuan pidana umum.
Ditemui terpisah, Ketua Ad Interim Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Patra M Zen meminta keenam orang yang dipanggil itu hadir sebagai saksi.
"Setiap orang harus tunduk pada hukum, termasuk keenam orang itu," katanya.
Ia menegaskan dalam kasus itu yang berlaku adalah ketentuan UU 26/2000 tentang pengadilan HAM. Karenanya, kata dia, pemanggilan Komnas HAM itu sah.
"Dalam Konsideran UU TNI huruf d, dinyatakan TNI dibangun dan dikembangkan dengan mengacu pada nilai dan prinsip supremasi sipil dan HAM," katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan presiden perlu memberikan dukungan secara politik terhadap upaya Komnas HAM mengungkap kasus itu.
"Mengingat Indonesia sebagai anggota Dewan Ham PBB telah menyatakan janji (pledge) sebagai bangsa yang beradab melawan kejahatan HAM berat," katanya. (Aka/OL-03)
Menhan dan Menkum HAM Belum Sepaham Soal Pemanggilan Paksa TNI
JAKARTA--MIOL: Pemanggilan terhadap enam anggota dan purnawirawan TNI oleh Komnas HAM beberapa waktu lalu ternyata berbuntut pada salah tafsir antara Departemen Hukum dan HAM dengan Departemen Pertahanan.
Menteri hukum dan HAM Hamid Awaludin mengungkapkan dirinya belum mengadakan pembicaraan dengan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono terkait pemanggilan paksa enam anggota dan purnawirawan TNI oleh Komnas HAM dalam kasus penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998.
"Saya malah belum tahu soal itu. Saya sama sekali tidak tahu soal itu," kata Hamid kepada Media Indonesia di Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, Selasa (1/8), usai bertemu Ketua MA Bagir Manan selama 20 menit sejak pukul 12.30 WIB.
Hamid juga tak mau memberikan keterangan ketika ditanya soal kontroversi perbedaan tafsir hukum antara Menhan dan Komnas HAM soal pemanggilan itu.
"Cukup, cukup," katanya sambil mengibaskan tangan dan memasuki lift.
Beberapa waktu lalu, Komnas HAM memanggil paksa enam anggota dan purnawirawan TNI terkait kasus penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998. Dari enam orang itu, dua di antaranya adalah militer aktif. Namun semuanya menolak memberikan keterangan sebagai saksi kepada tim ad hoc Komnas HAM.
Selain keenam orang tersebut, Komnas HAM juga memanggil sejumlah anggota dan purnawirawan TNI lainnya dalam kasus sama. Tapi dari 30 orang, hanya satu purnawirawan TNI yang memenuhi panggilan.
Menhan sebelumnya mengatakan akan mengkonsultasikan hal itu dengan Hamid. Terutama soal perbedaan tafsir antara Komnas dan pihak militer. Komnas berpayung UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, sedangkan militer mengklaim memiliki hukum acaranya sendiri.
Komnas juga telah melayangkan surat kepada Ketua PN Jakarta Pusat Cicut Sutiarso. Cicut akhirnya mempersoalkan perbedaan tafsir hukum pemanggilan paksa itu.
Sementara itu, Hakim Agung Djoko Sarwoko berpendapat pemeriksaan terhadap anggota TNI yang masih aktif sebaiknya didasarkan atas ketentuan hukum acara peradilan militer. Sementara bagi yang berstatus TNI nonaktif berlaku ketentuan pidana umum.
Ditemui terpisah, Ketua Ad Interim Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Patra M Zen meminta keenam orang yang dipanggil itu hadir sebagai saksi.
"Setiap orang harus tunduk pada hukum, termasuk keenam orang itu," katanya.
Ia menegaskan dalam kasus itu yang berlaku adalah ketentuan UU 26/2000 tentang pengadilan HAM. Karenanya, kata dia, pemanggilan Komnas HAM itu sah.
"Dalam Konsideran UU TNI huruf d, dinyatakan TNI dibangun dan dikembangkan dengan mengacu pada nilai dan prinsip supremasi sipil dan HAM," katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan presiden perlu memberikan dukungan secara politik terhadap upaya Komnas HAM mengungkap kasus itu.
"Mengingat Indonesia sebagai anggota Dewan Ham PBB telah menyatakan janji (pledge) sebagai bangsa yang beradab melawan kejahatan HAM berat," katanya. (Aka/OL-03)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home