Konvensi Anti Penghilangan Paksa di Sahkan Dewan HAM PBB
Harapan Baru
“The Commission has also bequeathed to you two vital documents -- the draft Convention on Enforced Disappearances and the draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples. You have a chance, by considering and approving those instruments at the earliest possible opportunity, to start your work with a tangible achievement -- one that will bring hope to large groups of people who have lived in a dark shadow of fear”
(Kutipan Pidato Sekjen PBB Kofi Annan
pada Pembukaan Sidang Pertama Dewan HAM PBB)
Pada tanggal 29 Juni 2006, ruangan Sidang Komisi HAM PBB di Jenewa bergemuruh. Standing ovation para peserta Sidang Pertama Dewan HAM PBB termasuk dari unsur delegasi organisasi non pemerintah (NGO) yang berkesempatan menghadiri sidang, berlangsung hampir selama 60 detik. Beberapa delegasi NGO kemudian saling berpelukan dan bersalaman untuk saling memberi ucapan selamat. Pada hari itu, Presiden Dewan HAM PBB Luis Anfonso de Alba dari Meksiko mengetok palu untuk mengesahkan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Konvensi Anti Penghilangan Paksa) secara konsensus.
Disahkannya Konvensi Anti Penghilangan Paksa oleh Dewan HAM PBB merupakan langkah maju yang menjanjikan mengingat sidang kali ini adalah Sidang Pertama Dewan HAM PBB setelah Dewan ini terbentuk bulan Maret yang lalu. Sebelumnya, banyak suara yang menyangsikan lembaga baru hasil reformasi PBB ini akan bisa membawa angin segara perubahan dalam penegakan HAM. Banyak pihak juga mengira bahwa sidang yang pertama kali ini hanya akan membahas hal-hal seputar prosedur dan mekanisme serta modalitas Dewan HAM PBB.
Hal lain yang juga menumbuhkan optimisme baru dalam perlindungan dan penegakan HAM di tingkat PBB yang terjadi saat digelarnya Sidang Pertama Komisi HAM PBB ini adalah bahwa selain Konvensi Anti Penghilangan Paksa, Dewan HAM PBB juga mengesahkan beberapa dokumen lainnya seperti Deklarasi PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat, dan Opsional Protokol Konvensi Anti Penyiksaan. Dengan disahkannya dokumen-dokumen penting ini, harapan Sekjen PBB Kofi Annan sebagaimana dikutip di atas dan masyarakat dunia, mulai terealisir.
Perjuangan Hampir Tiga Dekade
Paling tidak selama 25 tahun terakhir, Konvensi ini telah diperjuangkan terutama oleh organisasi-organisasi keluarga korban penghilangan paksa dari negara-negara Amerika Latin. Salah satu yang sangat terkenal diantaranya adalah Las Madres de Plaza de Mayo (Ibu-Ibu Plaza de Mayo) dari Argentina. Pelanggaran berat HAM yang sangat keras dalam bentuk penghilang orang di Argentina yang dilakukan oleh kekuasaan junta militer tahun 1976-1983 menjadikan mereka sangat gigih untuk menghentikan, mencegah dan menghukum pelakunya.
Sebagai respon atas perjuangan mereka, pada tanggal 18 Desember 1992, melalui Resolusi No. 47/133, PBB mengesahkan Deklarasi Anti Penghilangan Paksa. Namun, Deklarasi tersebut tidak punya kekuatan hukum yang mengikat anggota-anggota PBB. Deklarasi hanya merupakan pernyataan umum anggota PBB untuk tidak melakukan dan mengutuk kejahatan penghilangan paksa, dan tidak bisa memberikan sanksi bagi negara yang melanggarnya. Dari sanalah perjuangan kemudian dilanjutkan untuk membuat sebuah instrumen atau treaty (aturan hukum internasional) yang secara hukum mengikat (legally binding) negara-negara yang meratifikasinya (state parties).
Akhirnya, pada tahun 2002 Komisi HAM PBB membentuk Kelompok Kerja yang secara khusus bertugas untuk merumuskan sebuah instrumen yang dimaksud Setelah melalui proses perdebatan panjang selama 3 tahun, Kelompok Kerja tersebut berhasilkan merumuskan sebuak dokumen yang diberi nama Rancangan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Draft International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearances) dengan sebuah Badan Pemantauan (Monitoring Body) yang terdiri dari 10 orang ahli yang independen yang berasal dari pembagian wilayah geografis yang merata. Rancangan Konvensi itu kemudian disahkan dalam pertemuan Kelompok Kerja tersebut pada tanggal 22 September 2005.
Arti Penting Konvensi
Konvensi Anti Penghilangan Paksa ini diperjuangkan paling tidak selama dua setengah dekade terakhir dengan beberapa pertimbangan mendasar. Di satu pihak, tindak penghilangan paksa dianggap oleh masyarakat internasional sebagai induk dari segala pelanggaran HAM karena dalam kasus ini, paling tidak 4 hak-hak yang sangat mendasar (basic human rights) dilanggar. Keempat hak-hak tersebut adalah hak untuk tidak disiksa, hak atas kebebasan dan keamanan, hak untuk diperlakukan sama di depan hukum dan hak untuk hidup.
Akan tetapi di lain pihak, terdapat kekosongan aturan di tingkat internasional ketika mekanisme domestik sudah tidak bisa lagi menanganinya (exhaust all domestic remedies), baik itu karena negara tidak mampu (unable) ataupun tidak mau (unwilling) menanganinya. Selain itu, dalam konteks regional, Asia maupun Asia Tenggara belum lagi memiliki mekanisme regional seperti yang ada di negara-negara Amerika yaitu berupa Konvensi dan Pengadilan Inter-Amerika atau yang ada di Eropa. Konvensi diharapkan bisa mengisi kekosongan mekanisme ini.
Selain itu, mekanisme-mekanisme internasional yang telah ada seperti Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Paksa (UN Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances -UNWGEID) dan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court – ICC) masih banyak kelemahannya. UNWGEID hanya memiliki mandat humaniter yang hanya bisa meminta negara anggota PBB untuk mengambil langkah-langkah yang perlu diambil bila terjadi tindak penghilangan paksa tanpa memiliki otoritas untuk melakukan kutukan (condemnation), apalagi penyelidikan.
Sementara itu, ICC hanya bisa melakukan intervensi (pengadilan) pada individu pelaku pelanggaran berat HAM yang negaranya telah melakukan ratifikasi atas Statuta Roma tentang ICC, sementara banyak negara termasuk Indonesia belum meratifikasi ICC. Selain itu, ICC bisa mengelar pengadilan hanya atas permintaan jaksa penuntut, baik itu atas inisiatif dia sendiri maupun permintaan negara yang telah meratifikasi, atau oleh permintaan Dewan Keamanan PBB. Di sini, korban dan keluarga korban penghilangan paksa tidak memiliki akses langsung, selain karena memang ICC dibuat bukan untuk melindungi korban pelanggaran HAM melainkan untuk mengutuk dan menghukum pelaku kejahatan internasional.
Efektifitas Konvensi
Disahkannya Konvensi Anti Penghilangan Paksa oleh Dewan HAM PBB belum berarti bahwa Konvensi tersebut telah berlaku aktif dan mengikat seluruh anggota PBB. Masih terdapat beberapa langkah yang harus ditempuh. Pertama, Konvensi harus lebih dulu disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB (UN General Assembly) yang akan mengadakan sidang pada bulan Oktober-November 2006 di Markas PBB di New York. Mengacu pada pengalaman pengesahan beberapa Konvenan seperti Konvensi Anti Penyiksaan dll., Sidang Majelis Umum PBB tidak lagi melakukan pembahasan mendetail pasal per pasal sehingga Konvensi diharapkan bisa langsung disahkan.
Kedua, setelah Sidang Majelis Umum mengesahkan Konvensi, negara-negara anggota PBB harus meratifikasinya sebagai bentuk bahwa negara yang bersangkutan mengikatkan diri secara hukum (legally binding) pada aturan-aturan yang ada dalam Konvensi. Dalam Konvensi Anti Penghilangan Paksa ini dinyatakan bahwa ia akan berlaku aktif (enter into force) 30 hari setelah ada 20 negara yang meratifikasi.
Dilihat dari proses yang berlangsung sejak dibukanya sidang Dewan HAM oleh Sekjen PBB Kofi Annan, dimana beliau telah menekankan pentingnya pengesahan Rancangan Konvensi, hingga ke sidang-sidang pembahasan dan pengesahan Konvensi secara konsensus, maka untuk mendapatkan ratifikasi dari 20 negara bukanlah syarat yang sulit dipenuhi. Dari sanalah muncul keyakinan dari berbagai pihak bahwa kira-kira pada akhir tahun 2006 Konvensi Anti Penghilangan paksa ini akan mulai berlaku aktif (enter into force).
Ketiga, supaya Indonesia menjadi bagian dari Konvensi ini maka Indonesia juga harus melakukan ratifikasi. Dalam konteks Indonesia, meratifikasi Konvensi ini sebenarnya sudah merupakan salah satu komitmen yang termasuk dalam janji (pledges) sebelum Indonesia dipilih secara mayoritas untuk menjadi anggota dewan HAM PBB. Dalam pledges yang dimaksud, disebutkan bahwa Indonesia akan terus bekerja sama dan mendukung kerja-kerja Dewan HAM dan Kantor Komisi Tinggi HAM PBB.
Keempat, setelah meratifikasi Konvensi, maka Indonesia harus menyesuaikan aturan hukum nasional supaya sejalan dengan isi dan semangat Konvensi yang telah diratifikasi. Baru setelah itu usaha untuk melakukan penyelidikan, penghentian dan pencegahan tindak penghilangan paksa sebagaimana disebutkan dalam Konvensi bisa dilaksanakan. Namun satu hal yang tidak kalah pentingnya dari itu semua, untuk memaksimalkan efektifitas Konvensi agar tidak menjadi macan ompong adalah Indonesia harus sepenuhnya bekerjasama dengan Badan Pemantauan (Monitoring Body), antara lain dengan mengijinkan mereka melaksanakan kunjungan dan penyelidikan bila memang terjadi tindak kejahatan sebagaimana disebutkan dalam Konvensi.
Jalan bagi implementasi Konvensi memang masih panjang, tetapi tidak ada alasan apapun bagi masyarakat beradab untuk tidak mendukung sebuah usaha untuk menindak, menghentikan dan mencegah terjadinya penghilangan paksa di muka bumi ini.
Dalam hubungannya dengan penyelidikan kasus penghilangan paksa aktifis demokrasi tahun 1997 – 1998 oleh Komnas HAM, pengesahan secara konsensus Konvensi Anti Penghilangan Paksa oleh Dewan HAM PBB di mana Indonesia adalah anggotanya harus dijadikan landasan bagi pemerintah untuk lebih serius menanganinya.
[1] Penulis adalah Ketua IKOHI, delegasi NGO INFID pada sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss
0 Comments:
Post a Comment
<< Home