Komnas HAM, TNI dan Orang Hilang
Editorial Media Indonesia
14 Juli 2006
Komnas HAM, TNI dan Orang Hilang
KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah melayangkan surat kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Cicut Sutiarso pada Senin (10/7). Surat yang diantar Wakil Ketua Komnas HAM Zoemrotin itu berisi permohonan pemanggilan paksa atas sejumlah anggota TNI yang diduga mengetahui kasus penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998.
Sedikitnya 14 orang yang hilang bak ditelan bumi pada periode itu. Mereka aktivis muda yang menentang kekuasaan represif ketika itu.
Ada enam orang anggota dan purnawirawan TNI yang dimintakan pemanggilan paksa, termasuk Sekjen Dephan Letjen Sjafrie Sjamsuddin yang ketika kejadian menjabat Pangdam Jaya.
Mereka sudah dua kali dipanggil dalam kasus pelanggaran berat HAM itu. Sebanyak 23 anggota dan purnawirawan TNI lainnya juga tidak mau memenuhi panggilan pertama Komnas HAM. Hanya seorang yang bersedia memenuhi panggilan tersebut.
Penolakan itu resmi disampaikan Badan Pembinaan Hukum TNI. Alasannya, tim penyelidik Komnas HAM dinilai tidak memiliki kewenangan untuk memanggil para anggota TNI karena kejadian yang dituduhkan tersebut berlangsung sebelum UU 39/1999 tentang HAM diundangkan.
Sjafrie juga memastikan tidak akan memenuhi panggilan paksa itu. Sebab, kata dia, dirinya hanyalah pejabat yang melaksanakan tugas operasional dari institusi. Kita percaya, tugas operasional institusi itu suci. Kesalahan, jika ada, sepenuhnya berada di pundak pelaksana.
Memenuhi panggilan Komnas HAM jelas merupakan peluang emas bagi TNI untuk 'membersihkan' diri. Terlalu sayang kesempatan itu dilewatkan begitu saja. Apalagi, Komnas HAM sudah menyimpulkan pelaku penghilangan paksa berasal dari kelompok terorganisasi. Anggota dan purnawirawan TNI yang dipanggil mestinya berkewajiban menjelaskan kepada Komnas HAM bahwa kelompok terorganisasi itu bukan TNI. Tunjukkan bahwa tugas mulia institusi telah dilaksanakan tanpa noda.
Kita justru memberikan penghargaan yang tinggi kepada Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto yang membuka kepada publik kasus penimbunan senjata di kediaman Wakil Asisten Logistik KSAD mendiang Brigjen Koesmayadi. Pengungkapan kasus itu, kata Panglima, untuk memetakan TNI dalam aturan dan tatanan yang benar. Panglima ingin menunjukkan kepada publik bahwa TNI memanglimakan hukum. Itulah roh reformasi yang dicanangkan TNI.
Pemeriksaan oleh Komnas HAM terkait kasus penghilangan orang secara paksa sudah seharusnya juga diletakkan pada perspektif untuk memetakan TNI dalam aturan dan tatanan yang benar.
Sekaranglah saatnya menjelaskan sejelas-jelasnya kepada Komnas HAM tentang kasus orang-orang hilang agar tidak ada lagi prasangka di kemudian hari. Bila tidak dijelaskan dan diselesaikan sekarang, Komnas HAM akan selalu menempatkan kasus orang hilang sebagai pending matters yang setiap kali diungkapkan, mau tidak mau akan mempertanyakan kesungguhan TNI menjelaskan masalah ini.
14 Juli 2006
Komnas HAM, TNI dan Orang Hilang
KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah melayangkan surat kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Cicut Sutiarso pada Senin (10/7). Surat yang diantar Wakil Ketua Komnas HAM Zoemrotin itu berisi permohonan pemanggilan paksa atas sejumlah anggota TNI yang diduga mengetahui kasus penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998.
Sedikitnya 14 orang yang hilang bak ditelan bumi pada periode itu. Mereka aktivis muda yang menentang kekuasaan represif ketika itu.
Ada enam orang anggota dan purnawirawan TNI yang dimintakan pemanggilan paksa, termasuk Sekjen Dephan Letjen Sjafrie Sjamsuddin yang ketika kejadian menjabat Pangdam Jaya.
Mereka sudah dua kali dipanggil dalam kasus pelanggaran berat HAM itu. Sebanyak 23 anggota dan purnawirawan TNI lainnya juga tidak mau memenuhi panggilan pertama Komnas HAM. Hanya seorang yang bersedia memenuhi panggilan tersebut.
Penolakan itu resmi disampaikan Badan Pembinaan Hukum TNI. Alasannya, tim penyelidik Komnas HAM dinilai tidak memiliki kewenangan untuk memanggil para anggota TNI karena kejadian yang dituduhkan tersebut berlangsung sebelum UU 39/1999 tentang HAM diundangkan.
Sjafrie juga memastikan tidak akan memenuhi panggilan paksa itu. Sebab, kata dia, dirinya hanyalah pejabat yang melaksanakan tugas operasional dari institusi. Kita percaya, tugas operasional institusi itu suci. Kesalahan, jika ada, sepenuhnya berada di pundak pelaksana.
Memenuhi panggilan Komnas HAM jelas merupakan peluang emas bagi TNI untuk 'membersihkan' diri. Terlalu sayang kesempatan itu dilewatkan begitu saja. Apalagi, Komnas HAM sudah menyimpulkan pelaku penghilangan paksa berasal dari kelompok terorganisasi. Anggota dan purnawirawan TNI yang dipanggil mestinya berkewajiban menjelaskan kepada Komnas HAM bahwa kelompok terorganisasi itu bukan TNI. Tunjukkan bahwa tugas mulia institusi telah dilaksanakan tanpa noda.
Kita justru memberikan penghargaan yang tinggi kepada Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto yang membuka kepada publik kasus penimbunan senjata di kediaman Wakil Asisten Logistik KSAD mendiang Brigjen Koesmayadi. Pengungkapan kasus itu, kata Panglima, untuk memetakan TNI dalam aturan dan tatanan yang benar. Panglima ingin menunjukkan kepada publik bahwa TNI memanglimakan hukum. Itulah roh reformasi yang dicanangkan TNI.
Pemeriksaan oleh Komnas HAM terkait kasus penghilangan orang secara paksa sudah seharusnya juga diletakkan pada perspektif untuk memetakan TNI dalam aturan dan tatanan yang benar.
Sekaranglah saatnya menjelaskan sejelas-jelasnya kepada Komnas HAM tentang kasus orang-orang hilang agar tidak ada lagi prasangka di kemudian hari. Bila tidak dijelaskan dan diselesaikan sekarang, Komnas HAM akan selalu menempatkan kasus orang hilang sebagai pending matters yang setiap kali diungkapkan, mau tidak mau akan mempertanyakan kesungguhan TNI menjelaskan masalah ini.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home