EU Urged to Support Indonesia Ratify ICC
CICC Regional Meeting with EU’s Governments Submission by Indonesian Civil Society Coalition for ICCBackgroundThe new development towards the ratification of the Rome Statute in Indonesia is very significant. Indonesian government has expressed their commitment to become a party by this year as stated in the Presidential Decree No. 40/2004 on National Action Plan on Human Rights 2004-2008. The Indonesian Civil Society Coalition for the International Criminal Court is promoting the statute to civil society and is also partnering up with the government, as part of their work in encouraging the government to ratify the Rome Statute in compliance with the plan. Over the past year, the Indonesian Coalition has held several activities such as workshops in 5 regions in Indonesia, radio talk shows, and petitions circulation to accelerate the ratification process, media campaign, as well as diplomatic briefings. The Coalition has also developed a lobby paper, an academic paper and has drafted an ICC Ratification Bill as well. The Department of Law and Human Rights as one of the focal points of the ratification of the Rome Statute has already finished their preliminary research concerning the readiness of all government institutions and the impacts of ratification on domestic legal system and instruments. To this point, it is expected that Directorate General of Human Rights and Directorate General for Regulations in the same department to finish their academic paper concerning the ratification and the draft bill on ratification in a very near future. The Indonesian Parliament’s position is in support of the Rome Statute as well as in support of the Civil Society Coalition’s efforts. The Parliament has even guaranteed that they will provide a full support for the ratification by passing the bill without much delay. However, in the meantime they have to wait for the government to submit their ratification bill to the Parliament before they can act accordingly. One should note that Indonesia is facing a General Election in April 2009 and a Presidential Election in September 2009. Therefore the government only has a limited time to act and effectively transmit the Rome Statute ratification bill to the Parliament for a consideration. This time frame is extremely important and hence the EU should continue and intensify its efforts to encourage both the Parliament and the government to stay on track in order to meet this deadline. RecommendationsConsidering the development toward the ratification of the Rome Statute and taking into account the recent political situation in Indonesia, Civil Society Coalition for the International Criminal Court herewith requests the European Union and its respective Countries Representatives to: (1) Urge the Indonesian government to speed up the process of ratification of the Rome Statute, in order to ensure that Indonesia ratifies it before or by March 2009. (2) Support the Indonesian Parliament members in their efforts to widely promote the Rome Statute among politicians, and in their efforts in strengthening the capacity and knowledge of parliamentarians on the Rome Statute and the International Criminal Courts. (3) Support the Indonesian civil society activities in promoting and advocating the ratification of the Rome Statute, and our cooperation with the Indonesian government in the process. The Hague, 17 November 2008 Indonesian Civil Society Coalitions for the International Criminal Court
Pertemuan Regional Koalisi Mahkamah Pidana Internasional (CICC) dengan Pemerintah Negara-negara Uni Eropa Masukan Oleh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Mahkamah Pidana Internasional
Latar Belakang
Perkembangan baru menuju ratifikasi Statuta Roma di Indonesia sangatlah signifikan. Pemerintah Indonesia telah menyampaikan niat mereka untuk menjadi Negara Pihak tahun ini sesuai dengan yang telah dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 40/2004 tentang Rancangan Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) periode 2004 – 2008. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional juga mempromosikan statuta ini kepada masyarakat sipil dan juga secara bersamaan bekerjasama dengan pemerintah Indonesia, sebagai salah satu upaya untuk mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi Statuta Roma sesuai yang sudah direncanakan.
Selama setahun terakhir, Koalisi Indonesia telah menggelar sejumlah aktivitas yang terkait dengan upaya-upaya tersebut, seperti halnya workshop di lima kota, talk show radio, pengedaran petisi untuk mendorong proses ratifikasi, kampanye media dan juga brifing diplomat. Koalisi ini juga telah menyusun sebuah kertas kerja dan naskah akademik, serta telah menggagas sebuah rancangan UU tentang ratifikasi ICC.
Departemen Hukum dan HAM sebagai salah satu ujung tombak ratifikasi Statuta Roma juga telah menyelesaikan riset awal terkait dengan dengan kesiapan semua institusi pemerintah dan juga dampak ratifikasi terhadap instrumen dan sistem hukum domestik. Hingga saat ini, Dirjen HAM dan Dirjen Peraturan dan Perundang-undangan yang bernaung di bawah departemen yang sama diharapkan untuk dalam waktu dekat menyelesaikan penyusunan naskah akademik mengenai ratifikasi dan rancangan UU tentang ratifikasi Statuta Roma ini
DPR sendiri berada dalam posisi mendukung Statuta Roma dan juga mendukung upaya-upaya Koalisi Masyarakat Sipil untuk mewujudkan ratifikasi statuta tersebut. DPR bahkan sudah menjamin bahwa mereka akan memberikan dukungan penuh terhadap ratifikasi ini dengan meloloskan RUU ini menjadi UU tanpa ulur-ulur waktu lagi. Namun, hingga saat ini, DPR masih belum bisa melakukan tindakan apapun, sebab mereka harus menunggu pemerintah mengajukan rancangan UU ratifikasi kepada DPR.
Harus dicatat bahwa Indonesia saat ini tengah bersiap diri menyongsong Pemilihan Umum yang akan digelar pada bulan April 2009 dan juga Pemilihan Presiden pada bulan September 2009. Itu sebabnya pemerintah memiliki keterbatasan waktu untuk bertindak dan secara efektif menyerahkan rancangan UU ratifikasi Statuta Roma kepada DPR untuk pembahasan. Rentang waktu ini menjadi sangat penting dan itu sebabnya Uni Eropa harus melanjutkan dan mengintensifkan upaya-upayanya mendorong DPR dan pemerintah untuk tetap berada di jalurnya agar memenuhi batas waktu yang sudah ditentukan.
Rekomendasi
Mengingat perkembangan proses menuju ratifiksi Statuta Roma dan mempertimbangkan situasi politik terkini di Indonesia, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional dengan ini memohon kepada Uni Eropa dan negara-negara perwakilannya untuk: (1) Mendorong pemerintah Indonesia untuk mempercepat proses ratifikasi Statuta Roma, dalam rangka menjamin terwujudnya ratifikasi sebelum atau pada bulan Maret 2009. (2) Mendukung anggota-anggota DPR yang berupaya untuk mempromosikan Statuta Roma di kalangan politisi, dan juga upaya mereka untuk meningkatkan kapasitas dan pengetahuan anggota DPR tentang Statuta Roma dan Mahkamah Pidana Internasional. (3) Mendukung aktivitas-aktivitas masyarakat sipil dalam mempromosikan dan mengadvokasi ratifikasi Statuta Roma dan juga kerjasama kami dengan pemerintah Indonesia dalam proses menuju ratifikasi.
The Hague, 17 November 2008
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional
Argentine resident calls for ratification of Convention against Disappearances
Argentine President calls for ‘reformulation’ of UN to restore multilateralism 23 September 2008 – Argentine President Cristina Fernández de Kirchner today called for the reformulation of multilateral organizations, including the United Nations and global financial institutions. “This is necessary so that we can again reconstitute a multilateralism which has been lost, making the world much more insecure,” she told the General Assembly’s annual high-level debate. Such reform was necessary to enable the UN to function properly and achieve concrete results. The current global financial turmoil was evidence of the need for reforming financial institutions, Ms. Fernández de Kirchner said, citing what she called the “jazz effect” for the present troubles originating from the United States, just as an earlier financial crisis that started in Mexico but affected the world economy was called the “tequila effect.” She also called on Member States to ratify the global treaty that outlaws enforced disappearances and allows victims’ families the right to learn the truth about what happened. Argentina, where thousands of people are estimated to have disappeared under the military dictatorship in the 1970s and 1980s, has been a strong advocate of the treaty. So far, only four of the 74 countries which have signed have also ratified the International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearances, which contains an absolute prohibition on the practice and calls on all States Parties to ensure that it is an offence under their domestic laws. The treaty will enter into force once 20 countries have ratified it. The treaty’s monitoring body will be entitled to receive requests for urgent action on individual cases, to conduct visits with the agreement of States parties concerned, and, in the situation of suspected widespread or systematic cases being practised in the territory under the jurisdiction of a State party, to urgently bring the matter before the General Assembly. Turning to another issue, Mr. Fernández de Kirchner called on Iran to hand over Iranians implicated by Argentine judicial authorities in the blowing up of the Israeli embassy and a Jewish community centre in Buenos Aires in 1992 and 1994 respectively.
SERUAN AKSI
"Kasus Penghilangan Paksa 1997/1998, Kasus Pelanggaran HAM yang belum selesai"
"Negara harus menuntaskan kasus penghilangan paksa 1997/1998"
Salam solidaritas,
Peristiwa penghilangan paksa yang dialami oleh aktivis-aktivis gerakan pro demokrasi pada tahun 1997/1998 adalah sebuah peristiwa yang menjadi moment penting dalam arus gerakan pro demokrasi di Indonesia . Kejatuhan kediktatoran rejim Soeharto pada 21 Mei 1998, diawali dengan peristiwa penculikan terhadap beberapa aktivis yang dianggap meresahkan stabilitas Negara pada waktu itu. Hal ini menjadi pemicu yang kuat timbulnya gerakan-gerakan massa yang besar agar dapat menggulingkan Soeharto dari tampuk kekuasaan.
Namun sayangnya sampai saat ini, 13 korban penculikan lainnya belum kembali pada keluarganya masing-masing. Harapan agar ada kejelasan nasib dari 13 orang yang masih hilang sampai saat ini, tentunya akan sedikit memberikan kepastian bagi keluarga korban yang masih menunggu kejelasan nasib keluarga mereka selama 10 tahun. Ke 13 orang itu adalah Yani Afri alias Rian, Sonny, Herman Hendrawan, Dedy Umar Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Petrus Bima Anugrah, Wiji Thukul, Ucok Munandar Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser. Penuntutan agar Negara segera menuntaskan kasus penghilangan paksa ini dan menghukum para pelakunya, hingga menjerat otak operasi penculikan tersebut, sudah dilakukan berulang kali. Keluarga korban dari 13 orang tersebut sampai saat ini masih berharap untuk mengetahui keberadaan dari orang-orang tersebut, atau jika sudah meninggal, mereka dapat mengetahui dimana kuburannya.
Dibukanya kembali kasus penghilangan orang secara paksa tentunya membawa harapan baru bagi korban dan keluarga korban penghilangan paksa untuk mencapai penuntasan kasus ini. Namun dibukanya kasus penghilangan orang secara paksa oleh para politisi di DPR dan menjelang Pemilu 2009, tentunya juga menjadi sebuah pertanyaan yang membayangi pikiran para korban dan keluarga korban penghilangan orang secara paksa. Sebagian besar kalangan masyarakat, khususnya korban dan keluarga korban penghilangan orang secara paksa, serta lembaga-lembaga HAM yang mengadvokasi kasus ini, melihatnya ada sebuah manuver politik yang dimainkan oleh para politisi partai-partai politik di DPR untuk kepetingan Pemilu 2009.
Jelas bahwa kondisi seperti diatas, tidak boleh dibiarkan terus menerus. Kasus pelanggaran HAM masa lalu, khususnya kasus penghilangan paksa 1997/1998 bukan menjadi ajang politisasi untuk kepentingan Pemilu 2009. Pengungkapan kasus kasus penghilangan paksa 1997/1998 bisa menjadi ukuran pembelajaran demokratisasi bagi Indonesia . Maka sudah saatnya, kita memperkuat Persatuan Gerakan Rakyat multisektor dengan menuntut:
1. Pansus Orang Hilang harus segera merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc
2. Presiden harus segera memerintahkan Jaksa Agung untuk mengusut kasus Penghilangan Paksa 1997/1998 hingga tuntas dan mengadili para pelakunya.
3. Negara harus mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia , baik kasus-kasus pelanggaran HAM di bidang SIPOL maupun EKOSOB.
Bergabunglah bersama kami untuk menuntut Negara agar menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM, baik di bidang SIPOL dan EKOSOB, yang akan diadakan pada:
Hari /Tanggal : Senin/10 November 2008
Waktu : Pukul 12.00 – selesai
Titik Kumpul : Tugu Proklamasi
Tujuan Aksi : Istana Negara
"Tuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia "
"Perkuat Gerakan Perlawanan Rakyat Multisektor"
IKOHI, KP PRP, PRP Jakarta, ABM, KASBI, Arus Pelangi, KORBAN, KASUM, YPKP '65, LBH Masyarakat, SBMI, Paguyuban Mei '98, KontraS, Demos, LBH Jakarta, Imparsial, VHR, Elsam, PBHI Pusat, PBHI Jakarta, Yappika, LPHAM, Walhi, YLBHI, Komunitas Jembatan Besi, IKAPRI, FKKM, KOMPAK
Penghilangan PaksaKeluarga Orang Hilang Minta Presiden Jangan KonvensionalRabu, 5 November 2008 | 00:31 WIB Jakarta, Kompas - Keluarga orang hilang berharap langkah yang diambil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jangan menggunakan cara-cara yang konvensional untuk menuntaskan pengusutan penghilangan paksa aktivis yang terjadi pada periode 1997-1998. Bagaimanapun, 13 orang telah hilang selama periode 1997-1998 dan hingga kini mereka belum kembali. Keluarga Korban Orang Hilang yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) bersama dengan Kontras menemui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Andi Mattalatta di Departemen Hukum dan HAM, Jakarta, Selasa (4/11). Koordinator IKOHI Mugiyanto mengatakan, penghilangan paksa yang terjadi pada tahun 1997-1998 merupakan kasus yang unik sebab para korban masih hilang, tetapi tidak satu pun pelaku penghilangan paksa yang dijatuhi hukuman. ”Langkah hukum tidak cukup sebab terbukti para pelaku bebas, sementara korban yang hilang masih belum juga ditemukan. Presiden harus membongkar kasus penghilangan paksa ini,” katanya. Menurut Mugiyanto, Presiden memiliki otoritas terhadap Mabes TNI untuk membuka dokumen. Panglima TNI pernah mengatakan, kalau diminta, dia bersedia memberikan dokumen Dewan Kehormatan Perwira. Presiden Yudhoyono pun pernah menjadi anggota Dewan Kehormatan Perwira yang ikut memeriksa para perwira yang terlibat. Salah satu yang menjadi dasar bagi keluarga orang hilang adalah rekomendasi Komisi Nasional HAM, yaitu Jaksa Agung tetap menyidik perkara penghilangan paksa, DPR merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, dan Presiden diminta terus mencari korban hilang. Namun, Wakil Koordinator Kontras Indria Fernida mengatakan kecewa dengan isi pertemuan dengan Menteri Hukum dan HAM. Sebab, dalam pertemuan itu, kata Indria, Andi Mattalatta mendasarkan pada upaya-upaya legal, seperti kembali ke kejaksaan. ”Kami tidak melihat terobosan yang akan dilakukan Menteri Hukum dan HAM,” kata Indria. (VIN)
|
NAVIGATION
BUKU BARU!!!
>
Kebenaran Akan Terus Hidup
Jakarta : Yappika dan IKOHI
xx, 220 hlm : 15 x 22 cm
ISBN: Cetakan Pertama, Agustus 2007
Editor : Wilson
Desain dan Tata letak : Panel Barus
Diterbitkan Oleh :
Yappika dan IKOHI
Dicetak oleh :
Sentralisme Production
Foto : Koleksi Pribadi
Dipersilahkan mengutip isi buku dengan menyebutkan sumber.
Buku ini dijual dengan harga RP. 30,000,-. Untuk pembelian silahkan hubungi IKOHI via telp. (021) 315 7915 atau Email: kembalikan@yahoo.com
NEWEST POST
ARCHIVES
ABOUT
IKOHI was set up on September 17, 1998 by the parents and surfaced victims of disappearances. Since then, IKOHI was
assisted by KONTRAS, until October 2002 when finally IKOHI carried out it first congress to complete its organizational
structure. In the Congress, IKOHI decided its two priority of programs. They are (1) the empowerment of the social, economic,
social and cultural potential of the members as well as mental and physical, and (2) the campaign for solving of the cases
and preventing the cases from happening again. The solving of the cases means the reveal of the truth, the justice for the
perpetrators, the reparation and rehabilitation of the victims and the guarantee that such gross violation of human right
will never be repeated again in the future.
Address
Jl. Matraman Dalam II, No. 7, Jakarta 10320
Indonesia
Phone: 021-3100060 Fax: 021-3100060
Email: kembalikan@yahoo.com
NETWORK
COUNTERPARTS
Indonesian NGOs
State's Agencies
International Organizations
YOUR COMMENTS
|