Pengenalan HAM untuk Anak Korban (4)
Pengenalan HAM
Selasa, 4 Maret 2008 | 02:19 WIB
Habibie (11) dan Azam (8) sedang asyik membaca tulisan di karton yang dijepit di tali yang digantung di pinggir pendapa Taman Satwa Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan.
Hari itu hari Sabtu, 1 Maret 2008. Tidak biasanya Habibie dan adiknya, Azam, bisa bermain-main jauh dari rumah mereka di bilangan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Tetapi kali itu mereka bahkan diantar oleh ibu mereka, Sri Aisyah (40), ke Kebun Binatang Ragunan itu.
Bukan untuk melihat koleksi hewan di sana, melainkan belajar hak asasi manusia (HAM). Acara tersebut diadakan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan diikuti sekitar 70 anak-anak korban kekerasan atau korban hilang. Entah ayahnya, ibunya, kakek-nenek, kakak-adiknya yang hilang pada beberapa kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Anak-anak tersebut dari usia 2 tahun hingga 12 tahun.
Yang masih di bawah usia lima tahun diajak bermain-main, yang sudah besar disuguhkan pemahaman tentang HAM.
Jadilah mereka membaca dan berusaha memahami apa yang dimaksud dengan HAM itu? Di lembar karton tersebut tertulis dengan spidol: HAM adalah hak yang dimiliki oleh setiap manusia sejak lahir yang tidak boleh dilanggar, dibatasi, ataupun dikurangi oleh siapa pun.
Mereka jadi mengerti bahwa mereka memiliki hak untuk hidup, untuk tumbuh kembang, untuk mendapatkan pendidikan, layanan kesehatan, kebebasan beragama dan beribadah, hak untuk bermain, bebas dari kekerasan, bebas untuk bergerak, dan bebas untuk berorganisasi.
Apakah mereka bisa memahaminya? ”Justru sejak kecil mereka harus kita ajarkan tentang HAM,” kata Sri Aisyah yang suaminya, Yudi Wahyudi (44), saat kasus Tanjung Priok 1984 tertembak kakinya dan dipenjara selama 1,5 tahun.
Memahami trauma
Begitu keluar dari penjara, ternyata Yudi mengalami gangguan psikis dan trauma berat. Ia lebih banyak berdiam diri, tidak berkomunikasi, dan tidak bisa bekerja. Terpaksa Sri Aisyah berjualan gado-gado dan kue-kue untuk menghidupi keenam anaknya. Kini ia mendirikan sekolah untuk komunitas anak-anak jalanan di Terminal Tanjung Priok.
”Anak saya yang pertama, Atia, jadi korban. Melihat ayahnya seperti itu, dia jadi anak pendiam dan tertutup,” kata Sri Aisyah.
Melalui pengenalan HAM ini, menurut Sri Aisyah, ”Anak-anak saya jadi bisa mengerti kenapa ayah mereka seperti itu, tidak seperti ayah anak-anak lain. Kenapa ayah mereka tidak bekerja, karena ayahnya adalah korban kekerasan negara.”
Menurut Sinnal, Sekretaris Umum IKOHI, cara mudah memberikan pemahaman tentang HAM, anak-anak itu disodori foto-foto kliping koran dan diminta menyebutkan itu foto apa. Mereka menyebut, itu ayah atau ibu mereka yang sedang berdemonstrasi.
”Mengapa mereka berdemonstrasi?” Tidak ada yang menjawab. Akhirnya Ruminah, salah seorang korban, maju dan memaparkan bahwa ia berdemonstrasi karena anaknya yang bernama Gunawan (saat itu kelas VI SD) hilang saat kerusuhan Mei 1998 di bilangan Klender, Jakarta Timur.
Marulloh yang merupakan korban Tanjung Priok mengatakan, ia berdemonstrasi karena dulu ia dipenjara tanpa ada proses pengadilan. Melalui sharing itu anak-anak tahu alasan orangtua mereka berdemonstrasi.
Elsa Aulia Rizky (11) yang kakeknya hilang pada kasus Tanjung Priok mengaku jadi makin tahu soal HAM. ”Saya jadi ngerti apa itu HAM.” (LOK)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home