Media Pahlawan untuk Sang Diktator
Pergilah Tapi Kami Tak Akan Lupa
Artikel ini juga bisa dibaca di: http://www.iphoelmargin.blogspot.com/
Bulan Juni 1994, pemerintahan Soeharto mencabut ijin penerbitan tiga media nasional, Detik, Editor dan Tempo. Inilah rentetan sejarah kelam media dibawah rejim militer Soeharto. Media yang berani mengkritik kebijakan rejim Soeharto waktu itu tidak akan berumur panjang, bukan hanya itu, masih segar dalam ingatan kita kematian wartawan Bernas Udin, juga menjadi catatan hitam, bagaimana pekerja media bekerja dibawah baying-bayang kematian.
Minggu 27 Januari 2008, diktator itu telah berpulang, berbagai media berebutan untuk menayangkan berbagai liputan tentang kematian, masa kecil hingga pemakamannya. Media terkemuka tampil dengan liputan khusus serta materi yang lengkap dan dipersiapkan dengan matang. Soeharto menjadi pahlawan. Sementara itu berbagai media luar negeri juga ikut menayangkan kematian Soeharto, apa yang menarik? Tidak seperti media dalam negeri, media luar negeri seperti CNN, BBC, Al Jazeera tetap menampilkan sosok Soeharto sebagai sosok Diktator atau Koruptor.
Media dalam negeri seakan lupa, dengan menayangkan sosok Soeharto sebagai pahlawan, telah melukai banyak pihak yang selama ini, sebagaimana Detik, Editor dan Tempo, merupakan korban dari kekejaman rejim yang dipimpin Soeharto. Media seakan lupa apa yang telah ditinggalkan Soeharto, hutang, keterpurukan, kuburan tak bernama serta jutaan hektar tanah rampasan. Semua itu seakan hilang bersama kematian Soeharto. Bahkan media nasional lupa, Soehartolah orang yang telah mengurung mereka selama tigapuluh tahun lebih.
Nyawa seorang Soeharto ternyata lebih berarti bagi media, dibandingkan dengan nyawa para mahasiswa yang gugur dalam perjuangan menumbangkan Soeharto, atau lebih berarti daripada nasib aktivis yang dihilangkan oleh Soeharto. Di negeri ini nasib seorang diktator dan koruptor ternyata masih lebih baik dibanding nyawa para pahlawan reformasi itu. Untuk pahlawan reformasi itu, jangankan gelar pahlawan, hari berkabung saja tidak mereka dapatkan, kasusnyapun masih belum jelas hingga hari ini.
Sekali Lagi Tentang Melawan Lupa
Pinochet seorang diktator Chile, yang pada saat meninggalnya juga sama seperti Soeharto, sedang berstatus tersangka atas tindakan pelanggaran HAM yang dilakukannya, pemerintah Chile menolak untuk memberinya gelar pahlawan, bahkan upacara kenegaraan tidak diberikan kepada Pinochet.
Untuk Soeharto, mau ditaroh dimana muka kita, jika gelar itu ternyata diberikan kepada Soeharto, bagaimana menjelaskan kepada dunia internasional, orang yang paling bertanggung jawab pada keterpurukan bangsa ini, yang kekayaan pribadinya menurut majalah Forbes mencapai 600 Trilyun rupiah, orang yang sudah menjerumuskan negeri ini ke dalam abad kegelapan malah diberi gelar pahlawan.
Menarik tulisan Asvi Warman Adam, dalam tulisannya Asvi memaparkan bagaimana Soekarno dulu diperlakukan oleh Soeharto. Waktu itu Soekarno tidak boleh dikunjungi oleh siapapun, Pun ketika Soekarno dirawat di RSPAD Gatot Subroto, anaknya hanya boleh menjenguk di jam-jam tertentu. Permintaan terakhir Soekarno untuk bisa dimakamkan di bawah pohon rindang di Kebun Raya Bogor ditolak oleh Soeharto, dan sebagai gantinya Soekarno dimakamkan di sebuah pemakaman umum, itupun masih digali lagi untuk dipindahkan tanpa persetujuan keluarga Soekarno.
Lihatlah bagaimana seorang Soeharto memperlakukan Soekarno, ini bukan persoalan dendam, tapi jika bangsa ini sedemikian pelupanya, hingga memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto, maka inilah tragedi terbesar bagi sejarah nasional.
Dan hingga hari ini media masih menayangkan kepahlawanan Soeharto, bendera setengah tiang dan taburan bunga serta tokoh-tokoh penting yang melayat. Sementara itu sebuah tulisan singkat di internet memuat berita tentang penolakan gelar pahlawan dan bendera setengah tiang untuk Soeharto, mereka adalah korban-korban pelanggaran HAM, aktivis 98 dan orang-orang yang kini merasa miris karena orang yang telah menyengsarakan mereka, merampas hak mereka, kini dipuja bak pahlawan.
Di sebuah pemakaman umum terbaring jasad para mahasiswa yang tertembak pada tragedi semanggi, ribuan kuburan tak bernama, kuburan massal, tulang belulang korban pembantaian, seakan hendak mengatakan apa yang dikatakan Chairil Anwar, “kami mati muda, hanya tinggal tulang diliputi debu, kaulah sekarang yang berkata”, tapi memang benar kata Chairil Anwar, hari ini kerja belum selesai, bangsa ini belum bisa menghitung arti 4-5 ribu nyawa, satu nyawa, Soeharto ternyata mendapat tempat lebih daripada ratusan ribu nyawa lainnya.
Sekali lagi ini bukan masalah kemanusiaan, ini adalah masalah hukum, yang bersalah harus mempertanggungjawabkan kesalahannya, itu hukum Tuhan dimuka bumi, masih begitu bebalkah kita hingga ingin pula kita gantikan hukum Tuhan dengan berbagai alasan politik yang lebih mirip sebentuk kepengecutan?. Di gedung-gedung pengadilan, tumpukan berkas pemeriksaan kasus Soeharto sudah mulai berdebu, di tumpukan itulah nasib ratusan juta rakyat Indonesia dipertaruhkan, di gedung pengadilan itu pula akan kita saksikan, masih adakah jiwa-jiwa yang berani untuk tampil dan mengetukkan palu kebenaran “Soeharto terbukti bersalah”.
Giessen, 28 Januari 2008
Saiful Haq
Artikel ini juga bisa dibaca di: http://www.iphoelmargin.blogspot.com/
Bulan Juni 1994, pemerintahan Soeharto mencabut ijin penerbitan tiga media nasional, Detik, Editor dan Tempo. Inilah rentetan sejarah kelam media dibawah rejim militer Soeharto. Media yang berani mengkritik kebijakan rejim Soeharto waktu itu tidak akan berumur panjang, bukan hanya itu, masih segar dalam ingatan kita kematian wartawan Bernas Udin, juga menjadi catatan hitam, bagaimana pekerja media bekerja dibawah baying-bayang kematian.
Minggu 27 Januari 2008, diktator itu telah berpulang, berbagai media berebutan untuk menayangkan berbagai liputan tentang kematian, masa kecil hingga pemakamannya. Media terkemuka tampil dengan liputan khusus serta materi yang lengkap dan dipersiapkan dengan matang. Soeharto menjadi pahlawan. Sementara itu berbagai media luar negeri juga ikut menayangkan kematian Soeharto, apa yang menarik? Tidak seperti media dalam negeri, media luar negeri seperti CNN, BBC, Al Jazeera tetap menampilkan sosok Soeharto sebagai sosok Diktator atau Koruptor.
Media dalam negeri seakan lupa, dengan menayangkan sosok Soeharto sebagai pahlawan, telah melukai banyak pihak yang selama ini, sebagaimana Detik, Editor dan Tempo, merupakan korban dari kekejaman rejim yang dipimpin Soeharto. Media seakan lupa apa yang telah ditinggalkan Soeharto, hutang, keterpurukan, kuburan tak bernama serta jutaan hektar tanah rampasan. Semua itu seakan hilang bersama kematian Soeharto. Bahkan media nasional lupa, Soehartolah orang yang telah mengurung mereka selama tigapuluh tahun lebih.
Nyawa seorang Soeharto ternyata lebih berarti bagi media, dibandingkan dengan nyawa para mahasiswa yang gugur dalam perjuangan menumbangkan Soeharto, atau lebih berarti daripada nasib aktivis yang dihilangkan oleh Soeharto. Di negeri ini nasib seorang diktator dan koruptor ternyata masih lebih baik dibanding nyawa para pahlawan reformasi itu. Untuk pahlawan reformasi itu, jangankan gelar pahlawan, hari berkabung saja tidak mereka dapatkan, kasusnyapun masih belum jelas hingga hari ini.
Sekali Lagi Tentang Melawan Lupa
Pinochet seorang diktator Chile, yang pada saat meninggalnya juga sama seperti Soeharto, sedang berstatus tersangka atas tindakan pelanggaran HAM yang dilakukannya, pemerintah Chile menolak untuk memberinya gelar pahlawan, bahkan upacara kenegaraan tidak diberikan kepada Pinochet.
Untuk Soeharto, mau ditaroh dimana muka kita, jika gelar itu ternyata diberikan kepada Soeharto, bagaimana menjelaskan kepada dunia internasional, orang yang paling bertanggung jawab pada keterpurukan bangsa ini, yang kekayaan pribadinya menurut majalah Forbes mencapai 600 Trilyun rupiah, orang yang sudah menjerumuskan negeri ini ke dalam abad kegelapan malah diberi gelar pahlawan.
Menarik tulisan Asvi Warman Adam, dalam tulisannya Asvi memaparkan bagaimana Soekarno dulu diperlakukan oleh Soeharto. Waktu itu Soekarno tidak boleh dikunjungi oleh siapapun, Pun ketika Soekarno dirawat di RSPAD Gatot Subroto, anaknya hanya boleh menjenguk di jam-jam tertentu. Permintaan terakhir Soekarno untuk bisa dimakamkan di bawah pohon rindang di Kebun Raya Bogor ditolak oleh Soeharto, dan sebagai gantinya Soekarno dimakamkan di sebuah pemakaman umum, itupun masih digali lagi untuk dipindahkan tanpa persetujuan keluarga Soekarno.
Lihatlah bagaimana seorang Soeharto memperlakukan Soekarno, ini bukan persoalan dendam, tapi jika bangsa ini sedemikian pelupanya, hingga memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto, maka inilah tragedi terbesar bagi sejarah nasional.
Dan hingga hari ini media masih menayangkan kepahlawanan Soeharto, bendera setengah tiang dan taburan bunga serta tokoh-tokoh penting yang melayat. Sementara itu sebuah tulisan singkat di internet memuat berita tentang penolakan gelar pahlawan dan bendera setengah tiang untuk Soeharto, mereka adalah korban-korban pelanggaran HAM, aktivis 98 dan orang-orang yang kini merasa miris karena orang yang telah menyengsarakan mereka, merampas hak mereka, kini dipuja bak pahlawan.
Di sebuah pemakaman umum terbaring jasad para mahasiswa yang tertembak pada tragedi semanggi, ribuan kuburan tak bernama, kuburan massal, tulang belulang korban pembantaian, seakan hendak mengatakan apa yang dikatakan Chairil Anwar, “kami mati muda, hanya tinggal tulang diliputi debu, kaulah sekarang yang berkata”, tapi memang benar kata Chairil Anwar, hari ini kerja belum selesai, bangsa ini belum bisa menghitung arti 4-5 ribu nyawa, satu nyawa, Soeharto ternyata mendapat tempat lebih daripada ratusan ribu nyawa lainnya.
Sekali lagi ini bukan masalah kemanusiaan, ini adalah masalah hukum, yang bersalah harus mempertanggungjawabkan kesalahannya, itu hukum Tuhan dimuka bumi, masih begitu bebalkah kita hingga ingin pula kita gantikan hukum Tuhan dengan berbagai alasan politik yang lebih mirip sebentuk kepengecutan?. Di gedung-gedung pengadilan, tumpukan berkas pemeriksaan kasus Soeharto sudah mulai berdebu, di tumpukan itulah nasib ratusan juta rakyat Indonesia dipertaruhkan, di gedung pengadilan itu pula akan kita saksikan, masih adakah jiwa-jiwa yang berani untuk tampil dan mengetukkan palu kebenaran “Soeharto terbukti bersalah”.
Giessen, 28 Januari 2008
Saiful Haq
0 Comments:
Post a Comment
<< Home