PENGHORMATAN BAGI DIKTATOR: UPAYA PELUPAAN SEJARAH
Wanma Yetty *
Mantan presiden Soeharto telah meninggal dunia pada tanggal 27 Januari 2008 di RSPP. Setelah dirawat selama 24 hari, ia akhirnya menyerah dan meninggalkan beberapa kenangan dan in! gatan, baik bagi para pengikutnya dan penentangnya. Prosesi pemakaman pun segera dilaksanakan oleh Negara keesokan harinya. Dengan khidmat dan megah, jenazah Soeharto dimakamkan di Astana Giri Bangun, Karang Anyar. Lagu gugur bunga pun berkumandang di Astana Giri Bangun, mengiringi prosesi pemakaman Soeharto.
Prosesi pemakaman Soeharto memang dirasakan sangat diistimewakan oleh Negara. Mulai dari proses pemberangkatan jenazah sampai pada prosesi pemakaman memang benar-benar dipersiapkan dengan matang oleh Negara. Bahkan pemerintah pun mencanangkan hari berkabung nasional mulai dari tanggal 27 Januari – 2 Febuari 2008, dan menginstruksikan kepada seluruh instansi pemerintah dan swasta serta masyarakat luas untuk mengibarkan bendera setengah tiang selama 1 minggu.
Ini tentunya, bagi pemerintah dianggap sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasa Soeharto ketika ia memimpin bangsa ini. Memang semenjak ia sakit, sudah terhembus isu bahwa sebaiknya kesalahan-kesalahan Soeharto pada masa kepemimpinannya sebaiknya dimaafkan. Dan mulai terbentuk opini dari masyarakat bahwa Soeharto merupakan seorang yang banyak sekali jasanya dan memang layak dianggap sebagai pahlawan bangsa. Dengan memanfaatkan momentum tersebut, Partai Golkar mengusulkan agar Soeharto diberikan gelar kepahlawanan untuk mengingat jasa-jasanya.
Pembentukan opini di masyarakat tentunya juga didukung oleh media massa di Indonesia. Dengan penayangan secara eksklusif, media massa di tanah air selalu menampilkan jasa-jasa Soeharto pada masa kepemimpinannya dan sebagai bapak pembangunan. Inilah faktor yang sangat mendukung pembentukan opini di masyarakat, dan seolah-olah bahwa Soeharto merupakan sosok yang paling berjasa bagi bangsa ini. Pemberitaan Soeharto di media massa memang dirasa sangat tidak proporsional. Hal ini dikarenakan media m! assa sangat jarang untuk memberitakan akibat kebijakan mantan penguasa tersebut.
Upaya sistematis menutupi kebenaran sejarah
Tentu saja seluruh hal di atas terkait dengan suatu tujuan. Dengan terbentuknya opini bahwa Soeharto merupakan sosok yang paling berjasa bagi bangsa ini, maka menjadi benar jika sebaiknya segala kesalahan Soeharto dimaafkan. Isu ini sudah berkembang sejak Soeharto masih dirawat di RSPP. Bahkan upaya ini selalu saja dihembuskan oleh para pejabat Negara dan mantan pejabat Orde Baru.
Upaya ini dapat dianggap sebagai bentuk penyelamatan para kroni Soeharto yang turut terlibat dalam berbagai tindakan pelanggaran HAM dan korupsi pada masa Soeharto. Karena dengan himbauan agar memaafkan Soeharto, maka seolah-olah Seoharto merupakan orang yang paling bertanggungjawab terhadap segala bentuk pelanggaran HAM dan korupsi di jaman Orde Baru. Sementara kita tahu, bahwa pelanggaran HAM dan tindakan korupsi di masa lalu, tidak mungkin terjadi jika tidak didukung oleh para kroni dan para mantan pejabat Orde Baru.
Rakya t Indonesia “diajak” untuk melupakan segala bentuk kejahatan pelanggaran HAM yang pernah terjadi di masa lalu. Bahkan akhir-akhir ini berkembang suatu isu untuk mencabut Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme terkait Soeharto. Karena sebenarnya TAP MPR inilah yang mendasari segala bentuk penyelidikan terhadap kasus korupsi yang dilakukan oleh Soeharto. Dengan dicabutnya TAP MPR ini, maka tentunya para kroni dan mantan pejabat Orde Baru yang terlibat pada kasus korupsi di masa Soeharto akan terbebas dari tuntutan korupsi.
Selain itu, hal ini tentunya juga merupakan bentuk “pelanggengan” upaya manipulasi sejarah yang telah dibelokkan oleh penguasa Orde Baru tersebut. Karena dengan tidak dituntaskannya kasus-kasus pelanggaran HAM yang mengaitkan Soeharto, maka lagi-lagi para kroni dan mantan pejabat Orde Baru yang terlibat pada berbagai macam pelanggaran HAM masa lalu juga akan terbebas. Kita tahu ada berbagai macam pelanggaran HAM yang terjadi pada masa kekuasan Soeharto, seperti peristiwa 1965, DOM Aceh dan Papua, peristiwa Talangsari, Tanjung Priok, Haor Koneng, Petrus, Kedung Ombo, Waduk Nipah, Penghilangan paksa aktivis 97/98, 27 Juli 1996, Trisakti, Semanggi I dan II (TSS), Tragedi Mei 1998 dan masih banyak yang lainnya.
Implikasinya tentu saja, para generasi muda di Indonesia tidak akan mengetahui kebenaran sejarah yang terjadi. Sehingga hal ini juga termasuk pembohongan publik yang dilakukan secara sistematis oleh penguasa jika kasus-kasus pelanggaran HAM ini tidak diungkap. Karena dapat kita lihat, persepsi para pelajar di Indonesia saat ini mengira tidak ada pelanggaran HAM yang mengakibatkan jutaan orang menjadi korban pada masa Orde Baru. Dan hal ini akan menjadi sangat berbahaya, karena dengan ketidaktahuan mereka, bisa saja di kemudian hari pelanggaran HAM yang serupa akan menimpa mereka.
Nasib korban dan keluarga korban pelanggaran HAM
Ketika pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu tidak terungkap, maka tentunya korban dan keluarga korban pelanggaran HAM akan kembali menjadi korban. Mereka telah kehilangan sanak keluarga, harta benda, pekerjaan, kebebasan hidup mereka, dan akan sekali lagi akan menjadi korban dari manipulasi sejarah yang terus saja dilakukan sampai saat ini. Diskriminasi terhadap korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masih saja terjadi sampai sekarang dari masyarakat. Hal ini tentu saja tidak sepenuhnya salah masyarakat yang tidak mengetahui kebenaran sejarah yang terjadi pada masa lalu. Namun ini menjadi tanggung jawab pemerintah yang berkuasa, baik pada masa lalu dan saat ini yang telah membelokkan dan membiarkan kesalahan persepsi dari masyarakat terhadap korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.
Sampai saat ini ada beberapa korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang belum terbuka tentang latar belakangnya karena stigma yang dikenakan kepadanya. Sebut saja korban dan keluarga korban peristiwa 1965. Dengan stigma komunis yang disandangnya, maka masyarakat pun sampai sekarang masih menganggap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tersebut merupakan orang-orang yang memang harus dijauhi atau bahkan disingkirkan.
Atau tentang korban dan keluarga korban tragedi Mei 1998, yang dicap sebagai penjarah dan biang kerusuhan. Karena sitgma inilah, para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM menjadi sangat sulit untuk mencari sekolah atau mencari pekerjaan. Sehingga tentu saja, implikasinya adalah kehidupan ekonomi mereka juga menjadi terganggu. Belum lagi ketika mereka harus didiskriminasi oleh masyarakat, yang menyebabkan kehidupan sosialnya pun terganggu.
Selain itu tentu saja setiap orang yang mengalami pelanggaran HAM akan mengalami trauma. Trauma tersebut akan berdampak pada kehidupan sehari-hari korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Dan sampai kini belum ada upaya yang serius dari Negara untuk segera memberikan hak repa rasi bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Ini yang menyebabkan kehidupan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM menjadi sangat sulit untuk menjalani hidupnya.
Tanggung jawab Negara diabaikan
Masalah penuntasan kasus pelanggaran HAM merupakan tanggung jawab Negara. Berdasarkan paparan di atas, maka implikasi dari tidak dituntaskannya kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, maka akan berdampak pada generasi muda dan korban serta keluarga korban pelanggaran HAM. Jangan sampai generasi muda bangsa Indonesia tidak mengetahui kebenaran sejarah yang nantinya akan berimplikasi pada kehidupan bangsa ini. Karena mereka adalah calon-calon pemimpin bangsa ini, dan jangan sampai mereka yang melakukan kembali pelanggaran HAM di Indonesia atau bahkan mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM.
Sementara kehidupan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM juga harus diperhatikan oleh penguasa saat ini. Karena dengan berlarut-larutnya penuntasan kasus pelanggaran HAM di Indonesia, maka akan semakin memberatkan posisi dan kondisi dari para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Dan juga menjadi tanggung jawab Negara lah untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM dan memenuhi hak-hak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.
Negara seharusnya segera mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, karena hal itu menentukan keberlangsungan kehidupan bangsa ini. Namun indikasi Negara untuk berniat mengungkapkan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu belum terlihat sampai sekarang. Ini terlihat dari terkatung-katungnya nasib kasus pelanggaran HAM di masa lalu, yang sampai saat ini belum dapat dituntaskan oleh Negara. Ada beberapa kasus pelanggaran HAM yang sempat diadili melalui Pengadilan HAM ad hoc, namun hasilnya para pelaku terbebas dari segala tuduhan.
Hal ini tentunya menunjukkan keberpihakan Negara dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM masih menguntungkan bagi para pelaku. Sementara korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang telah menderita sama sekali tidak pernah diperhatikan oleh Negara. Maka dari itu, jika Negara tidak memperhatikan kondisi dan penderitaan korban serta keluarga korban pelanggaran HAM, maka dapat dipastikan Negara tidak memiliki komitmen terhadap penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Jika kita tahu, Negara tidak memiliki komitmen untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu! , maka d apat disimpulkan bahwa korban dan keluarga korban pelanggaran HAM tidak dapat berharap banyak pada penguasa sekarang. Maka sudah saatnya korban dan keluarga korban pelanggaran HAM mencari pemimpin yang benar-benar dapat memenuhi rasa keadilan bagi korban. Apalagi sebentar lagi, Pemilu 2009 akan diadakan di Indonesia untuk menentukan Presiden dan Wakil Presiden RI.
Sementara kita juga tahu, sampai saat ini belum ada pemimpin di Indonesia yang mampu memenuhi rasa keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Korban dan keluarga korban telah bertahun-tahun dijanjikan agar kasus pelanggaran HAM nya akan dituntaskan. Namun kenyataannya, sampai ! saat ini tidak ada satupun penuntasan kasus pelanggaran HAM yang dapat memenuhi rasa keadilan bagi korban. Jika kita tahu kondisinya seperti itu, maka sudah saatnya juga bagi korban dan keluarga korban untuk menentukan nasibnya sendiri. Korban dan keluarga korban pelanggaran HAM harus mengubah pola perjuangannya menjadi perjuangan politik. Artinya korban dan keluarga korban pelanggaran HAM harus menyatukan dirinya dengan gerakan rakyat sektor lainnya.
Selain itu juga harus dirancang pembangunan organisasi politik untuk merebut kekuasaan dari orang-orang yang tidak memiliki komitmen terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM. Karena selama kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang tidak memili! ki komit men terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM, maka kasus pelanggaran HAM di Indonesia tidak akan terselesaikan. Maka rakyat lah yang harus berkuasa dan memimpin bangsa ini, sehingga penuntasan kasus pelanggaran HAM dan perjuangan demokrasi dapat tercapai.
* Penulis adalah Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Jabodetabek, keluarga korban Tanjung Priok 1984
Mantan presiden Soeharto telah meninggal dunia pada tanggal 27 Januari 2008 di RSPP. Setelah dirawat selama 24 hari, ia akhirnya menyerah dan meninggalkan beberapa kenangan dan in! gatan, baik bagi para pengikutnya dan penentangnya. Prosesi pemakaman pun segera dilaksanakan oleh Negara keesokan harinya. Dengan khidmat dan megah, jenazah Soeharto dimakamkan di Astana Giri Bangun, Karang Anyar. Lagu gugur bunga pun berkumandang di Astana Giri Bangun, mengiringi prosesi pemakaman Soeharto.
Prosesi pemakaman Soeharto memang dirasakan sangat diistimewakan oleh Negara. Mulai dari proses pemberangkatan jenazah sampai pada prosesi pemakaman memang benar-benar dipersiapkan dengan matang oleh Negara. Bahkan pemerintah pun mencanangkan hari berkabung nasional mulai dari tanggal 27 Januari – 2 Febuari 2008, dan menginstruksikan kepada seluruh instansi pemerintah dan swasta serta masyarakat luas untuk mengibarkan bendera setengah tiang selama 1 minggu.
Ini tentunya, bagi pemerintah dianggap sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasa Soeharto ketika ia memimpin bangsa ini. Memang semenjak ia sakit, sudah terhembus isu bahwa sebaiknya kesalahan-kesalahan Soeharto pada masa kepemimpinannya sebaiknya dimaafkan. Dan mulai terbentuk opini dari masyarakat bahwa Soeharto merupakan seorang yang banyak sekali jasanya dan memang layak dianggap sebagai pahlawan bangsa. Dengan memanfaatkan momentum tersebut, Partai Golkar mengusulkan agar Soeharto diberikan gelar kepahlawanan untuk mengingat jasa-jasanya.
Pembentukan opini di masyarakat tentunya juga didukung oleh media massa di Indonesia. Dengan penayangan secara eksklusif, media massa di tanah air selalu menampilkan jasa-jasa Soeharto pada masa kepemimpinannya dan sebagai bapak pembangunan. Inilah faktor yang sangat mendukung pembentukan opini di masyarakat, dan seolah-olah bahwa Soeharto merupakan sosok yang paling berjasa bagi bangsa ini. Pemberitaan Soeharto di media massa memang dirasa sangat tidak proporsional. Hal ini dikarenakan media m! assa sangat jarang untuk memberitakan akibat kebijakan mantan penguasa tersebut.
Upaya sistematis menutupi kebenaran sejarah
Tentu saja seluruh hal di atas terkait dengan suatu tujuan. Dengan terbentuknya opini bahwa Soeharto merupakan sosok yang paling berjasa bagi bangsa ini, maka menjadi benar jika sebaiknya segala kesalahan Soeharto dimaafkan. Isu ini sudah berkembang sejak Soeharto masih dirawat di RSPP. Bahkan upaya ini selalu saja dihembuskan oleh para pejabat Negara dan mantan pejabat Orde Baru.
Upaya ini dapat dianggap sebagai bentuk penyelamatan para kroni Soeharto yang turut terlibat dalam berbagai tindakan pelanggaran HAM dan korupsi pada masa Soeharto. Karena dengan himbauan agar memaafkan Soeharto, maka seolah-olah Seoharto merupakan orang yang paling bertanggungjawab terhadap segala bentuk pelanggaran HAM dan korupsi di jaman Orde Baru. Sementara kita tahu, bahwa pelanggaran HAM dan tindakan korupsi di masa lalu, tidak mungkin terjadi jika tidak didukung oleh para kroni dan para mantan pejabat Orde Baru.
Rakya t Indonesia “diajak” untuk melupakan segala bentuk kejahatan pelanggaran HAM yang pernah terjadi di masa lalu. Bahkan akhir-akhir ini berkembang suatu isu untuk mencabut Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme terkait Soeharto. Karena sebenarnya TAP MPR inilah yang mendasari segala bentuk penyelidikan terhadap kasus korupsi yang dilakukan oleh Soeharto. Dengan dicabutnya TAP MPR ini, maka tentunya para kroni dan mantan pejabat Orde Baru yang terlibat pada kasus korupsi di masa Soeharto akan terbebas dari tuntutan korupsi.
Selain itu, hal ini tentunya juga merupakan bentuk “pelanggengan” upaya manipulasi sejarah yang telah dibelokkan oleh penguasa Orde Baru tersebut. Karena dengan tidak dituntaskannya kasus-kasus pelanggaran HAM yang mengaitkan Soeharto, maka lagi-lagi para kroni dan mantan pejabat Orde Baru yang terlibat pada berbagai macam pelanggaran HAM masa lalu juga akan terbebas. Kita tahu ada berbagai macam pelanggaran HAM yang terjadi pada masa kekuasan Soeharto, seperti peristiwa 1965, DOM Aceh dan Papua, peristiwa Talangsari, Tanjung Priok, Haor Koneng, Petrus, Kedung Ombo, Waduk Nipah, Penghilangan paksa aktivis 97/98, 27 Juli 1996, Trisakti, Semanggi I dan II (TSS), Tragedi Mei 1998 dan masih banyak yang lainnya.
Implikasinya tentu saja, para generasi muda di Indonesia tidak akan mengetahui kebenaran sejarah yang terjadi. Sehingga hal ini juga termasuk pembohongan publik yang dilakukan secara sistematis oleh penguasa jika kasus-kasus pelanggaran HAM ini tidak diungkap. Karena dapat kita lihat, persepsi para pelajar di Indonesia saat ini mengira tidak ada pelanggaran HAM yang mengakibatkan jutaan orang menjadi korban pada masa Orde Baru. Dan hal ini akan menjadi sangat berbahaya, karena dengan ketidaktahuan mereka, bisa saja di kemudian hari pelanggaran HAM yang serupa akan menimpa mereka.
Nasib korban dan keluarga korban pelanggaran HAM
Ketika pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu tidak terungkap, maka tentunya korban dan keluarga korban pelanggaran HAM akan kembali menjadi korban. Mereka telah kehilangan sanak keluarga, harta benda, pekerjaan, kebebasan hidup mereka, dan akan sekali lagi akan menjadi korban dari manipulasi sejarah yang terus saja dilakukan sampai saat ini. Diskriminasi terhadap korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masih saja terjadi sampai sekarang dari masyarakat. Hal ini tentu saja tidak sepenuhnya salah masyarakat yang tidak mengetahui kebenaran sejarah yang terjadi pada masa lalu. Namun ini menjadi tanggung jawab pemerintah yang berkuasa, baik pada masa lalu dan saat ini yang telah membelokkan dan membiarkan kesalahan persepsi dari masyarakat terhadap korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.
Sampai saat ini ada beberapa korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang belum terbuka tentang latar belakangnya karena stigma yang dikenakan kepadanya. Sebut saja korban dan keluarga korban peristiwa 1965. Dengan stigma komunis yang disandangnya, maka masyarakat pun sampai sekarang masih menganggap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tersebut merupakan orang-orang yang memang harus dijauhi atau bahkan disingkirkan.
Atau tentang korban dan keluarga korban tragedi Mei 1998, yang dicap sebagai penjarah dan biang kerusuhan. Karena sitgma inilah, para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM menjadi sangat sulit untuk mencari sekolah atau mencari pekerjaan. Sehingga tentu saja, implikasinya adalah kehidupan ekonomi mereka juga menjadi terganggu. Belum lagi ketika mereka harus didiskriminasi oleh masyarakat, yang menyebabkan kehidupan sosialnya pun terganggu.
Selain itu tentu saja setiap orang yang mengalami pelanggaran HAM akan mengalami trauma. Trauma tersebut akan berdampak pada kehidupan sehari-hari korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Dan sampai kini belum ada upaya yang serius dari Negara untuk segera memberikan hak repa rasi bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Ini yang menyebabkan kehidupan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM menjadi sangat sulit untuk menjalani hidupnya.
Tanggung jawab Negara diabaikan
Masalah penuntasan kasus pelanggaran HAM merupakan tanggung jawab Negara. Berdasarkan paparan di atas, maka implikasi dari tidak dituntaskannya kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, maka akan berdampak pada generasi muda dan korban serta keluarga korban pelanggaran HAM. Jangan sampai generasi muda bangsa Indonesia tidak mengetahui kebenaran sejarah yang nantinya akan berimplikasi pada kehidupan bangsa ini. Karena mereka adalah calon-calon pemimpin bangsa ini, dan jangan sampai mereka yang melakukan kembali pelanggaran HAM di Indonesia atau bahkan mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM.
Sementara kehidupan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM juga harus diperhatikan oleh penguasa saat ini. Karena dengan berlarut-larutnya penuntasan kasus pelanggaran HAM di Indonesia, maka akan semakin memberatkan posisi dan kondisi dari para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Dan juga menjadi tanggung jawab Negara lah untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM dan memenuhi hak-hak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.
Negara seharusnya segera mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, karena hal itu menentukan keberlangsungan kehidupan bangsa ini. Namun indikasi Negara untuk berniat mengungkapkan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu belum terlihat sampai sekarang. Ini terlihat dari terkatung-katungnya nasib kasus pelanggaran HAM di masa lalu, yang sampai saat ini belum dapat dituntaskan oleh Negara. Ada beberapa kasus pelanggaran HAM yang sempat diadili melalui Pengadilan HAM ad hoc, namun hasilnya para pelaku terbebas dari segala tuduhan.
Hal ini tentunya menunjukkan keberpihakan Negara dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM masih menguntungkan bagi para pelaku. Sementara korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang telah menderita sama sekali tidak pernah diperhatikan oleh Negara. Maka dari itu, jika Negara tidak memperhatikan kondisi dan penderitaan korban serta keluarga korban pelanggaran HAM, maka dapat dipastikan Negara tidak memiliki komitmen terhadap penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Jika kita tahu, Negara tidak memiliki komitmen untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu! , maka d apat disimpulkan bahwa korban dan keluarga korban pelanggaran HAM tidak dapat berharap banyak pada penguasa sekarang. Maka sudah saatnya korban dan keluarga korban pelanggaran HAM mencari pemimpin yang benar-benar dapat memenuhi rasa keadilan bagi korban. Apalagi sebentar lagi, Pemilu 2009 akan diadakan di Indonesia untuk menentukan Presiden dan Wakil Presiden RI.
Sementara kita juga tahu, sampai saat ini belum ada pemimpin di Indonesia yang mampu memenuhi rasa keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Korban dan keluarga korban telah bertahun-tahun dijanjikan agar kasus pelanggaran HAM nya akan dituntaskan. Namun kenyataannya, sampai ! saat ini tidak ada satupun penuntasan kasus pelanggaran HAM yang dapat memenuhi rasa keadilan bagi korban. Jika kita tahu kondisinya seperti itu, maka sudah saatnya juga bagi korban dan keluarga korban untuk menentukan nasibnya sendiri. Korban dan keluarga korban pelanggaran HAM harus mengubah pola perjuangannya menjadi perjuangan politik. Artinya korban dan keluarga korban pelanggaran HAM harus menyatukan dirinya dengan gerakan rakyat sektor lainnya.
Selain itu juga harus dirancang pembangunan organisasi politik untuk merebut kekuasaan dari orang-orang yang tidak memiliki komitmen terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM. Karena selama kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang tidak memili! ki komit men terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM, maka kasus pelanggaran HAM di Indonesia tidak akan terselesaikan. Maka rakyat lah yang harus berkuasa dan memimpin bangsa ini, sehingga penuntasan kasus pelanggaran HAM dan perjuangan demokrasi dapat tercapai.
* Penulis adalah Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Jabodetabek, keluarga korban Tanjung Priok 1984
1 Comments:
At Sunday, December 19, 2021 2:33:00 PM, Rose said…
Nice blog you have
Post a Comment
<< Home