Terobosan Bagi Pengadilan HAM Ad Hoc
Terobosan Bagi Kebuntuan Pengadilan HAM Ad Hoc
Oleh Mugiyanto*
Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi 21 Februari 2008, mengabulkan sebagian permohonan Eurico Guterres, tentang kata “dugaan” dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kata “dugaan” dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan konstitusi negara Undang-Undang Dasar Negara Republik 1945.
Untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti, menurut Mahkamah Konstitusi perlu keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat yaitu Dewan Pertimbangan Rakyat atau DPR.
Akan tetapi, DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang memang berwenang, dalam hal ini Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik.
Lalu apa makna putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bagi usaha penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi sebelum tahun 2000, Pengadilan HAM Ad Hoc dan korban pelanggaran HAM? Tulisan ini akan menguraikan secara singkat pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Dampak Bagi Kepastian Hukum
Eurico Guterres adalah terpidana penjara 10 tahun atas kasus pelanggaran berat HAM paska jajak pendapat di Timor Timur tahun 1999. Ia merasa hak konstitusionalnya dilanggar oleh Undang Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memberi wewenang kepada DPR untuk menyimpulkan adanya “dugaan” terjadinya pelanggaran berat HAM dan merekomendasikan Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.
Guterres menganggap undang undang tersebut tidak memberikan kepastian hukum dan menyeret DPR masuk wilayah criminal justice process atau due process of law. Secara khusus Guterres menganggap bahwa undang undang tersebut melanggar Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) juncto Pasal 24A ayat (5), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Atas alasan itulah, pada bulan Juni 2007, Eurico Guterres mengajukan permohonan pengujian undang undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Tidak hanya Eurico Guterres yang merasa dirugikan oleh undang undang tersebut. Korban dan keluarga korban pelanggaran berat HAM juga merasakan hal yang sama. Mereka menjadi korban lanjutan dalam bentuk ketidakpastian hukum karena penanganan kasus yang sangat lambat dan berlarut-larut.
Jaksa Agung tidak segera melakukan penyidikan atas hasil penyelidikan yang telah dilakukan oleh Komnas HAM. Dengan dalih Pasal 43 ayat (2) Undang Undang Pengadilan HAM Jaksa Agung mengatakan baru akan melakukan penyidikan setelah Pengadilan HAM Ad Hoc terbentuk.
Hingga saat ini, paling tidak terdapat 3 berkas hasil penyelidikan pelanggaran berat HAM yang mustinya disidik Jaksa Agung untuk selanjutnya dibawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc. Ketiga berkas penyelidikan tersebut adalah kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (TSS), kasus Kerusuhan Mei 1998 dan kasus penghilangan paksa aktivis pro demokrasi tahun 1997/1998.
Berkas ketiga kasus tersebut telah mengendap di Kejaksaan Agung sejak tahun 2001, 2004, dan 2005. Dihitung dari kejadian peristiwa, sudah sekitar 10 tahun terakhir, nasib korban dan keluarga korban pelanggaran berat HAM untuk kasus yang disebutkan di atas di gantung dan berada dalam ketidakpastian.
Putusan MK Sebagai Terobosan
Bagi korban dan para pencari keadilan, lembaga-lembaga yang berwenang menangani kasus yaitu Kejaksaan Agung, Komnas HAM dan DPR nampak seperti para pemain sirkus yang sedang bermain bola api. Mereka saling melempar tanggung jawab dengan menyalahkan satu sama lain, atau merasa tidak punya wewenang. Para pemain sirkus ini tidak menyadari bahwa para korban tengah menunggu permainan berakhir, karena nasib mereka ditentukan di sana .
Kalau dikaji secara mendalam, Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasannya dari Undang Undang tentang Pengadilan HAM ini memang menjadi salah satu sumber masalah. Masing-masing pihak memiliki tafsir yang berbeda. Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikannya, tetapi Jaksa Agung menyatakan belum lengkap. Kalaupun sudah lengkap, Jaksa Agung mengatakan mereka butuh Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk dulu oleh presiden atas rekomendasi DPR, baru bisa melakukan penyidikan.
Sementara DPR yang berhak merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc merasa perlu menunggu hasil penyidikan Jaksa Agung karena tanpa itu DPR tidak bisa merekomendasikan dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc.
Dari sini, lama kelamaan proses penanganan kasus ini menjadi mirip lingkaran setan, layaknya perdebatan mana yang lebih dulu, apakah ayam atau telurnya. Dalam situasi seperti ini, lagi, korban dan keluarga korban adalah mereka yang dikorbankan untuk yang kesekian kalinya. Mereka akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pemulihan (reparation), keadilan (justice) dan kebenaran (truth). Karena pada dasarnya keadilan yang ditunda-tunda, adalah pengingkaran atas keadilan itu sendiri (justice delayed is justice denied)
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengatakan bahwa DPR harus mendasarkan putusan ada tidaknya pelanggaran berat HAM pada hasil penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan Jaksa Agung adalah sesuatu yang positif bagi penegakan HAM. Putusan ini adalah salah satu jawaban atas kebuntuan dan pemutus lingkaran setan penanganan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Ia menjadi penegas bahwa Jaksa Agung tidak perlu lagi menunggu putusan DPR dan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. DPR juga tidak perlu repot membentuk Panitia Khusus (pansus) untuk menyelidiki kasus-kasus pelanggaran berat HAM, karena ia bukan lembaga penyelidik. DPR hanya perlu merekomendasikan presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc bila penyelidikan Komnas HAM dan Penyidikan Jaksa Agung menyimpulkan telah terjadinya dugaan pelanggaran berat HAM atas locus dan tempus delicti tertentu.
Bola Ada di Jaksa Agung
Pernyataan Kejaksaan Agung bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi tidak memiliki konsekuensi bagi penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM adalah pernyataan yang sangat patut disesalkan. Sebagai salah satu mata rantai criminal justice system yang sangat menentukan, Jaksa Agung harus patuh pada putusan Mahkamah Konstitusi. Ia harus segera melakukan penyidikan atas kasus Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, kerusuhan Mei 1998 dan penghilangan paksa aktivis pro demokrasi tahun 1997/1998.
Argumen Jaksa Agung terlalu mengada-ada , ketika ia mensyaratkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc dulu supaya bisa melakukan penggeledahan dan pemanggilan paksa sebagai bagian dari proses penyidikan.
Argumen ini tidak mencerminkan kearifan Jaksa Agung karena didasarkan pada prasangka-prasangka negatif bahwa pihak-pihak yang akan disidik pasti akan melakukan perlawanan. Padahal beberapa hari terakhir kita melihat perkembangan positif ketika mantan Pangkopkamtib Sudomo sangat kooperatif ketika diperiksa Tim Penyelidik Ad Hoc Komnas HAM untuk kasus Talangsari Lampung 1989. Penyidikan juga bisa dimulai dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tingkat kesulitan dan halangannya minim.
Hal penting dari seluruh proses ini adalah keberanian, ketulusan dan niat politik Jaksa Agung untuk menghadirkan kebenaran dan keadilan, tidak hanya bagi korban dan keluarga korban, tapi bahkan bagi mereka yang diduga terlibat atau bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa yang tengah ditangani.
Pintu telah dibuka oleh putusan Mahkamah Konstitusi bagi Jaksa Agung untuk memajukan proses penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Dari situ Jaksa Agung akan bisa memberi kesempatan bagi korban dan keluarga korban untuk meraih kebenaran, keadilan dan pemulihan sebagai syarat melanjutkan kehidupan yang bermartabat.
Dari pintu yang sama, Jaksa Agung juga akan memberikan kesempatan bagi mereka yang diduga sebagai pelaku untuk membela diri dari berbagai hujatan masyarakat. Selanjutnya, sejarahlah yang akan mencatat dan memberikan penilaian atas apa yang telah terjadi dalam sejarah pembangunan bangsa ini.
Ya, bola itu ada di gedung bundar Kejaksaan Agung. [end]
*) Penulis adalah Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia - IKOHI