Ratifikasi ICC sebagai Terobosan Penegakan HAM
Ratifikasi Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan
Penegakan Keadilan di Indonesia[1]
Mugiyanto[2]
ICC merupakan pengadilan permanen dan independen internasional yang dibentuk oleh masyarakat negara-negara di dunia untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan menurut hukum internasional yang meliputi genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional ICC
Pada bulan Juli 1998 sebuah Konferensi Diplomatik di Roma Italia mengesahkan sebuah Statuta tentang ICC (Statuta Roma) dengan suara sebanyak 120 setuju dan hanya 7 yang tidak setuju (21 abstein). Statuta yang kemudian dikenal dengan Statuta Roma ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan kejahatan, cara kerja pengadilan dan negara-negara mana saja yang dapat bekerja sama dengan ICC. Statuta Roma tentang ICC ini telah berlaku aktif sejak 1 Juli 2002 setelah memenuhi syarat ratifikasi oleh 60 negara.
Berdasarkan prinsip saling melengkapi, ICC hanya akan bertindak ketika pengadilan nasional tidak mampu (unable) atau tidak mau (unwilling) mengambil tindakan. Contohnya adalah ketika pemerintah tidak mau menghukum warga negaranya terlebih ketika orang tersebut adalah orang yang berpengaruh (unwilling) atau ketika sistem pengadilan pidana telah runtuh sebagai akibat dari konflik internal sehingga tidak ada pengadilan yang mampu mengatasi kasus-kasus tipe kejahatan tersebut (unable).
Sebuah kasus bisa ditangani oleh ICC dengan cara 3 cara. Pertama, Jaksa Penuntut dengan inisiatifnya sendiri melakukan investigasi ketika satu atau lebih kejahatan telah terjadi berdasarkan informasi dari berbagai sumber, termasuk para korban dan keluarga. Kedua, Negara yang telah meratifikasi Statuta Roma dapat meminta Jaksa Penuntut untuk menginvestigasi sebuah situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah terjadi. Ketiga, Dewan Keamanan PBB dapat meminta Pengadilan untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan.
Pentingnya Ratifikasi bagi Indonesia
Indonesia adalah salah satu peserta aktif dalam Konferensi Diplomatik di Roma 1998 yang melahirkan ICC. Sejak saat itu Indonesia sudah menampakkan diri untuk menjadikan dirinya sebagai negara pihak (state party) dari ICC. Niat ini juga ditunjukkan dengan diundangkannya UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang dalam beberapa hal berusaha mengadopsi Statuta Roma tentang ICC. Namun sayangnya, adopsi setengah-setengah atas prinsip-prinsip Statuta Roma ini menjadikan UU No 26 tahun 2000 menjadi tumpul dan tidak bisa memberikan penghukuman bagi pelaku. Lebih dari itu, Undang Undang tentang Pangadilan HAM tersebut justru dijadikan tameng impunitas sebagaimana nampak pada pengadilan ad hoc kasus Timor Timur dan Tanjung Priok, serta pengadilan HAM kasus Abepura.
Selama ini, komitmen Indonesia untuk bersama-sama masyarakat internasional melawan impunitas dan mewujudkan ratifikasi universal atas ICC nampaknya hanya jargon-jargon semata, karena pada kenyataannya Indonesia baru merencanakan melakukan ratifikasi atas Statuta Roma tentang ICC pada tahun 2008, sebagaimana dicanangkan dalam Rencana Aksi Nasional tentang Hak Asasi Manusia (RANHAM 2003-2008), Padahal, kalau serius sejak awal, ratifikasi bisa dilakukan jauh lebih cepat, paling tidak pada tahun 2007 ini.
Pentingnya percepatan ratifikasi ini memiliki beberapa alasan mendasar. Pertama, ratifikasi akan menjadi acuan masyarakat dalam mengukur konsistensi pemerintah SBY atas ucapan dan tindakan dalam penegakan HAM dan keadilan. Kita semua tahu, konsistensi antara ucapan dan tindakan adalah salah satu kelemahan mendasar pemerintahan SBY selama ini.
Kedua, ratifikasi atas ICC akan berdampak pada penguatan dan perbaikan mekanisme pengadilan hak asasi manusia yang saat ini ditengarai sedang kolaps. Ratifikasi ICC akan menjadikan dasar yang kuat bagi perlunya melakukan amandemen mendasar atas peraturan perundangan tentang hak asasi manusia, terutama UU No 26 tahun 200 tentang Pengadilan HAM yang selama ini tidak efektif dan tidak memenuhi standar fair trial internasional. Ratifikasi atas Statuta Roma yang dibarengi dengan perbaikan atas perundangan mengenai HAM dan Pengadilan HAM akan bisa memberi salah satu terobosan atas kebuntuan penanganan kasus-kasus pelanggaran berat HAM.
Sebagaimana terlihat dalam implementasi UU No 26 tahun 2000 melalui proses Pengadilan HAM Tanjung Priok, Timor Timur dan Abepura serta proses penyelidikan dan penyidikan dugaan pelanggaran berat HAM lainnya (kasus Mei 98, Trisakti - Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa dll), UU No 26 tahun 2000 terlihat mandul dan kelemahannya sering dimanfaatkan oleh para pelaku pelanggaran HAM. Hal ini terjadi terutama karena UU No 26 tahun 2000 tidak mengadopsi KUHP (rules of procedures) dan unsur-unsur pidana (elemets of crimes) ICC yang ada pada Statuta Roma.
Ketiga, ratifikasi ICC oleh Indonesia pada saat ini akan menjadikan Indonesia memiliki akses untuk berpartisipasi dalam berbagai proses dan operasional ICC yang berkedudukan di Den Hague ini semisal dalam pencalonan hakim, penuntut, Victim Trust Fund, dan badan-badan ICC yang lain. Ratifikasi ICC oleh Indonesia juga menjadikan Indonesia sebagai negara pihak untuk aktif dalam pertemuan Dewan Negara Pihak (Assembly of States Parties – ASP). Sebagai negara pihak, Indonesia juga bisa berperan sangat aktif dalam Review Conference yang diadakan pada tahun 2008 atau 2009. Sebagai peserta dalam Review Conference, Indonesia bisa memberikan berpartisipasi secara maksimal dalam memberikan masukan tentang perubahan-perubahan mendasar yang mungkin dilakukan terhadap ICC.
Dari itu semua, percepatan ratifikasi ICC oleh Indonesia akan menjadikan Indonesia bisa berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain dalam komitmen yang sama dalam mewujudkan keadilan global.
Perlunya komitmen nyata
Proses ratifikasi ICC yang sudah dicanangkan Indonesia memang mengalami kemajuan. Namun ucapan berbusa baik itu oleh pemerintah maupun DPR tidak akan memberikan kemajuan berarti, karena yang diperlukan adalah kerja. Dan karena adalah DPR dan pemerintah yang musti merumuskan naskah ratifikasi, kerjasama keduanya adalah sesuatu yang mutlak. Komitmen pemerintah dan DPR harus segera direalisasikan sebagaimana pesan yang disampaikan Mantan Sekjen PBB Kofi Annan, dalam pidato sambutannya di hadapan Parlemen Swedia pada bulan Mei 1999 “... Saya mendesak Anda dan anggota parlemen Anda di seluruh dunia untuk mempercepat proses ratifikasi Statuta Roma. Jangan sampai kita kehilangan momentum untuk mencapai keberhasilan yang luar biasa ini secepat mungkin.”
Selain itu, ratifikasi juga bukan merupakan akhir dari pekerjaan ICC. Untuk memastikan ICC bisa berjalan, peraturan pelaksanaannya juga perlu dirumuskan. Belum lagi ketika pemerintah nanti dihadapkan pada lobi-lobi Amerika untuk mengecualikan warga negara mereka dalam yurisdiksi ICC melalui BIA (Bilateral Immunity Agreement) atau NSA (Non Surrender Agreement) untuk Indonesia yang sebetulnya tidak begitu kental lagi dalam konstelasi politik Amerika saat ini.
Penutup
Secara formal, Ratifikasi ICC oleh Indonesia tidak secara langsung menjadikan kasus-kasus besar pelanggaran berat HAM seperti kasus tragedi 1965, Tanjung Priok 1984, Lampung 1989, Mei 1998, Trisakti-Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa 1998 dan kasus-kasus 'masa lalu' lainnya bisa dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag. Akan tetapi, ratifikasi ICC akan menjadikan dasar yang kuat bagi dilakukannya perubahan (amandemen) fundamental bagi perundangan mengenai HAM dan pengadilan HAM, terutama bagi UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Ratifikasi ICC oleh Indonesia juga akan menjadi monumen peringatan (warning) bagi para calon dan residivis diktator dan penjahat HAM untuk tidak lagi melakukan kejahatan-kejahatan HAM sebagaimana mereka lakukan pada masa lalu, kecuali mereka mau meghadapi pengadilan di Den Haag.
Ratifikasi ICC Secepatnya!
[1] Makalah singkat disampaikan dalam Seminar Publik tentang Mahkamah Pidana Internasional dalam rangka CICC Asia Strategy Meeting, kerjasama CICC, Forum Asia, Elsam dan IKOHI, 9 Mei 2007
[2] Mugiyanto adalah Ketua IKOHI dan AFAD
Penegakan Keadilan di Indonesia[1]
Mugiyanto[2]
ICC merupakan pengadilan permanen dan independen internasional yang dibentuk oleh masyarakat negara-negara di dunia untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan menurut hukum internasional yang meliputi genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional ICC
Pada bulan Juli 1998 sebuah Konferensi Diplomatik di Roma Italia mengesahkan sebuah Statuta tentang ICC (Statuta Roma) dengan suara sebanyak 120 setuju dan hanya 7 yang tidak setuju (21 abstein). Statuta yang kemudian dikenal dengan Statuta Roma ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan kejahatan, cara kerja pengadilan dan negara-negara mana saja yang dapat bekerja sama dengan ICC. Statuta Roma tentang ICC ini telah berlaku aktif sejak 1 Juli 2002 setelah memenuhi syarat ratifikasi oleh 60 negara.
Berdasarkan prinsip saling melengkapi, ICC hanya akan bertindak ketika pengadilan nasional tidak mampu (unable) atau tidak mau (unwilling) mengambil tindakan. Contohnya adalah ketika pemerintah tidak mau menghukum warga negaranya terlebih ketika orang tersebut adalah orang yang berpengaruh (unwilling) atau ketika sistem pengadilan pidana telah runtuh sebagai akibat dari konflik internal sehingga tidak ada pengadilan yang mampu mengatasi kasus-kasus tipe kejahatan tersebut (unable).
Sebuah kasus bisa ditangani oleh ICC dengan cara 3 cara. Pertama, Jaksa Penuntut dengan inisiatifnya sendiri melakukan investigasi ketika satu atau lebih kejahatan telah terjadi berdasarkan informasi dari berbagai sumber, termasuk para korban dan keluarga. Kedua, Negara yang telah meratifikasi Statuta Roma dapat meminta Jaksa Penuntut untuk menginvestigasi sebuah situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah terjadi. Ketiga, Dewan Keamanan PBB dapat meminta Pengadilan untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan.
Pentingnya Ratifikasi bagi Indonesia
Indonesia adalah salah satu peserta aktif dalam Konferensi Diplomatik di Roma 1998 yang melahirkan ICC. Sejak saat itu Indonesia sudah menampakkan diri untuk menjadikan dirinya sebagai negara pihak (state party) dari ICC. Niat ini juga ditunjukkan dengan diundangkannya UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang dalam beberapa hal berusaha mengadopsi Statuta Roma tentang ICC. Namun sayangnya, adopsi setengah-setengah atas prinsip-prinsip Statuta Roma ini menjadikan UU No 26 tahun 2000 menjadi tumpul dan tidak bisa memberikan penghukuman bagi pelaku. Lebih dari itu, Undang Undang tentang Pangadilan HAM tersebut justru dijadikan tameng impunitas sebagaimana nampak pada pengadilan ad hoc kasus Timor Timur dan Tanjung Priok, serta pengadilan HAM kasus Abepura.
Selama ini, komitmen Indonesia untuk bersama-sama masyarakat internasional melawan impunitas dan mewujudkan ratifikasi universal atas ICC nampaknya hanya jargon-jargon semata, karena pada kenyataannya Indonesia baru merencanakan melakukan ratifikasi atas Statuta Roma tentang ICC pada tahun 2008, sebagaimana dicanangkan dalam Rencana Aksi Nasional tentang Hak Asasi Manusia (RANHAM 2003-2008), Padahal, kalau serius sejak awal, ratifikasi bisa dilakukan jauh lebih cepat, paling tidak pada tahun 2007 ini.
Pentingnya percepatan ratifikasi ini memiliki beberapa alasan mendasar. Pertama, ratifikasi akan menjadi acuan masyarakat dalam mengukur konsistensi pemerintah SBY atas ucapan dan tindakan dalam penegakan HAM dan keadilan. Kita semua tahu, konsistensi antara ucapan dan tindakan adalah salah satu kelemahan mendasar pemerintahan SBY selama ini.
Kedua, ratifikasi atas ICC akan berdampak pada penguatan dan perbaikan mekanisme pengadilan hak asasi manusia yang saat ini ditengarai sedang kolaps. Ratifikasi ICC akan menjadikan dasar yang kuat bagi perlunya melakukan amandemen mendasar atas peraturan perundangan tentang hak asasi manusia, terutama UU No 26 tahun 200 tentang Pengadilan HAM yang selama ini tidak efektif dan tidak memenuhi standar fair trial internasional. Ratifikasi atas Statuta Roma yang dibarengi dengan perbaikan atas perundangan mengenai HAM dan Pengadilan HAM akan bisa memberi salah satu terobosan atas kebuntuan penanganan kasus-kasus pelanggaran berat HAM.
Sebagaimana terlihat dalam implementasi UU No 26 tahun 2000 melalui proses Pengadilan HAM Tanjung Priok, Timor Timur dan Abepura serta proses penyelidikan dan penyidikan dugaan pelanggaran berat HAM lainnya (kasus Mei 98, Trisakti - Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa dll), UU No 26 tahun 2000 terlihat mandul dan kelemahannya sering dimanfaatkan oleh para pelaku pelanggaran HAM. Hal ini terjadi terutama karena UU No 26 tahun 2000 tidak mengadopsi KUHP (rules of procedures) dan unsur-unsur pidana (elemets of crimes) ICC yang ada pada Statuta Roma.
Ketiga, ratifikasi ICC oleh Indonesia pada saat ini akan menjadikan Indonesia memiliki akses untuk berpartisipasi dalam berbagai proses dan operasional ICC yang berkedudukan di Den Hague ini semisal dalam pencalonan hakim, penuntut, Victim Trust Fund, dan badan-badan ICC yang lain. Ratifikasi ICC oleh Indonesia juga menjadikan Indonesia sebagai negara pihak untuk aktif dalam pertemuan Dewan Negara Pihak (Assembly of States Parties – ASP). Sebagai negara pihak, Indonesia juga bisa berperan sangat aktif dalam Review Conference yang diadakan pada tahun 2008 atau 2009. Sebagai peserta dalam Review Conference, Indonesia bisa memberikan berpartisipasi secara maksimal dalam memberikan masukan tentang perubahan-perubahan mendasar yang mungkin dilakukan terhadap ICC.
Dari itu semua, percepatan ratifikasi ICC oleh Indonesia akan menjadikan Indonesia bisa berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain dalam komitmen yang sama dalam mewujudkan keadilan global.
Perlunya komitmen nyata
Proses ratifikasi ICC yang sudah dicanangkan Indonesia memang mengalami kemajuan. Namun ucapan berbusa baik itu oleh pemerintah maupun DPR tidak akan memberikan kemajuan berarti, karena yang diperlukan adalah kerja. Dan karena adalah DPR dan pemerintah yang musti merumuskan naskah ratifikasi, kerjasama keduanya adalah sesuatu yang mutlak. Komitmen pemerintah dan DPR harus segera direalisasikan sebagaimana pesan yang disampaikan Mantan Sekjen PBB Kofi Annan, dalam pidato sambutannya di hadapan Parlemen Swedia pada bulan Mei 1999 “... Saya mendesak Anda dan anggota parlemen Anda di seluruh dunia untuk mempercepat proses ratifikasi Statuta Roma. Jangan sampai kita kehilangan momentum untuk mencapai keberhasilan yang luar biasa ini secepat mungkin.”
Selain itu, ratifikasi juga bukan merupakan akhir dari pekerjaan ICC. Untuk memastikan ICC bisa berjalan, peraturan pelaksanaannya juga perlu dirumuskan. Belum lagi ketika pemerintah nanti dihadapkan pada lobi-lobi Amerika untuk mengecualikan warga negara mereka dalam yurisdiksi ICC melalui BIA (Bilateral Immunity Agreement) atau NSA (Non Surrender Agreement) untuk Indonesia yang sebetulnya tidak begitu kental lagi dalam konstelasi politik Amerika saat ini.
Penutup
Secara formal, Ratifikasi ICC oleh Indonesia tidak secara langsung menjadikan kasus-kasus besar pelanggaran berat HAM seperti kasus tragedi 1965, Tanjung Priok 1984, Lampung 1989, Mei 1998, Trisakti-Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa 1998 dan kasus-kasus 'masa lalu' lainnya bisa dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag. Akan tetapi, ratifikasi ICC akan menjadikan dasar yang kuat bagi dilakukannya perubahan (amandemen) fundamental bagi perundangan mengenai HAM dan pengadilan HAM, terutama bagi UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Ratifikasi ICC oleh Indonesia juga akan menjadi monumen peringatan (warning) bagi para calon dan residivis diktator dan penjahat HAM untuk tidak lagi melakukan kejahatan-kejahatan HAM sebagaimana mereka lakukan pada masa lalu, kecuali mereka mau meghadapi pengadilan di Den Haag.
Ratifikasi ICC Secepatnya!
[1] Makalah singkat disampaikan dalam Seminar Publik tentang Mahkamah Pidana Internasional dalam rangka CICC Asia Strategy Meeting, kerjasama CICC, Forum Asia, Elsam dan IKOHI, 9 Mei 2007
[2] Mugiyanto adalah Ketua IKOHI dan AFAD
0 Comments:
Post a Comment
<< Home