ORANG HILANG
Ketua DPR Secepatnya Harus Surati PresidenRabu, 30 September 2009 | 03:12 WIB
Jakarta, Kompas - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat harus secepatnya mengirim surat kepada Presiden sebelum masa kerja DPR selesai, Rabu (30/9) ini.
Presiden diminta membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc menyusul rekomendasi DPR yang menuntut pemerintah mencari kejelasan nasib 13 orang yang dinyatakan hilang pada periode 1997-1998.
Tindakan itu harus segera dilakukan karena waktunya tinggal sedikit lagi. Mekanisme kontrolnya nanti bisa dilaksanakan oleh DPR periode mendatang. ”Ketua DPR yang sekarang harus segera menindaklanjuti keputusan paripurna DPR,” kata Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM Ifdhal Kasim, Selasa.
Ifdhal mengatakan, dia tetap optimistis Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan melaksanakan rekomendasi DPR itu. ”Presiden pada periode yang kedua ini saya kira berkesempatan memberikan keadilan kepada masyarakat secara lebih luas dengan juga memberikan perhatian terhadap kasus-kasus HAM,” katanya.
Ifdhal juga berharap Presiden segera merealisasikan rekomendasi itu. ”Ini tergantung komitmen Presiden,” katanya. Ia mengingatkan, saat dialog-dialog calon presiden yang lalu, presiden telah menyatakan punya komitmen politik untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.
”Kita bisa menunggu sampai kabinet baru terbentuk tanggal 20 Oktober,” katanya.
Wakil Presiden M Jusuf Kalla secara terpisah mengatakan, meskipun diakui pelaksanaannya di lapangan akan sulit mengingat penghilangan orang secara paksa itu terjadi 12 tahun silam, pemerintahan baru mendatang wajib menjalankan keputusan tersebut.
Menurut Kalla, rekomendasi itu merupakan bentuk itikad baik pemerintah.
Kejaksaan siap sidik
Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan siap melaksanakan penyidikan atas penghilangan orang secara paksa periode 1997-1998. Hal itu dengan catatan, sejauh aturan dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dipenuhi.
Hal itu disampaikan Hendarman, Selasa di Kejaksaan Agung. ”Dulu yang kita masalahkan adalah dukungan politik. Apabila dukungan politik ada, selanjutnya ditentukan Presiden melalui keputusan presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Kami akan tindak lanjuti,” kata Hendarman.
Dalam Pasal 43 UU No 26/2000 disebutkan, Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Pengadilan HAM Ad Hoc tersebut berada di lingkungan peradilan umum.
Berdasarkan catatan Kompas, Komnas HAM pernah menyampaikan hasil penyelidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat dalam penghilangan orang secara paksa. Namun, pada 2 April 2008, kejaksaan mengembalikan berkas itu kepada Komnas HAM disertai catatan, yakni menunggu terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc.
Tak yakin
Sejumlah kalangan mengaku tidak terlalu yakin rekomendasi panitia khusus bakal ditindaklanjuti secara serius, baik oleh pemerintah maupun legislatif periode 2009-2014.
Keraguan itu, antara lain, disuarakan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Indria Samego, dan komisioner Komnas HAM, Saharuddin Daming.
”Kenapa tidak dari dulu saja DPR menyetujui rekomendasi itu sehingga baik pemerintah maupun DPR punya banyak waktu untuk melaksanakan dan mengawasinya. Kenapa baru sekarang? Kalau prinsipnya syukur-syukur bisa dilaksanakan, ya tentu tidak bisa sesederhana itu,” ujar Indria.
Menurut Indria, legislatif selama ini tidak mengenal prinsip mengoper (carry over) keputusan yang dibuat legislatif periode sebelumnya untuk dilaksanakan legislatif periode berikut. Apalagi, komposisi kekuatan partai politik di DPR mendatang didominasi parpol pendukung pemerintah.
”Saya berani pastikan rekomendasi tidak berlanjut. Apalagi secara teknis sulit mencari kejelasan ke-13 orang hilang itu. Kemungkinan nanti hanya akan ’hangat-hangat tahi ayam’, seolah ditindaklanjuti kalau disorot terus oleh masyarakat sipil. Juga harus diingat, memori kolektif masyarakat kita sangatlah pendek,” ujar Indria.
Penyikapan senada disampaikan Saharuddin yang menilai tidak ada jaminan para anggota DPR periode mendatang akan menindaklanjuti hasil rekomendasi DPR periode sebelumnya.
Belum lagi, lanjutnya, penegakan HAM selama ini masih jauh dari produktif. Hingga sekarang setidaknya ada sembilan kasus pelanggaran HAM berat, yang telah dituntaskan penyelidikannya oleh Komnas HAM, mentok di tingkat Kejaksaan Agung.
”Kebanyakan kasus pelanggaran HAM berat yang ditindaklanjuti lebih karena pertimbangan politik daripada pertimbangan hukum, apalagi untuk mencari keadilan. Akibatnya semua upaya dilakukan dengan setengah hati, termasuk juga dalam kasus penghilangan orang secara paksa itu,” ujar Saharuddin.
(EDN/HAR/DWA/IDR)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home