Nasib Suyat dan DPR
Wakil Rakyat, Lihatlah Derita SuyatSelasa, 15 September 2009 | 03:20 WIB
Oleh Sutta Dharmasaputra
Jarum jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Gelap masih menyelimuti perkampungan. Gemerisik dedaunan yang terkena tiupan angin pun masih jelas terdengar mengisi keheningan. Namun, sepasang kakek nenek sudah bekerja melawan rasa kantuk dan lelah.
Keduanya adalah Tamiyem (60) dan Paimin (65), orangtua Suyat, salah satu aktivis mahasiswa yang diculik aparat militer rezim Orde Baru di tahun 1998. Hingga kini Suyat belum kembali. Entah, masih ada atau sudah tiada.
Setiap dini hari, Tamiyem dan Paimin yang tinggal di Desa Banjarsari, Gemolong, Sragen, Jawa Tengah, itu harus sudah bangun untuk bersiap-siap berjualan tauge di pasar. Setelah sahur dengan makanan seadanya, keduanya langsung bergegas.
Motor Honda Prima tahun 1991 menjadi andalannya. Paimin memegang kemudi, Tamiyem membonceng. Satu karung besar berisi tauge ditaruh di depan, satu lagi dipangku Tamiyem.
Rata-rata 50 kilogram tauge dibawa ke pasar setiap harinya. Kalau habis terjual, setelah dipotong modal, untungnya tak lebih dari Rp 35.000 per hari.
Kalau saja Suyat tidak diculik, mungkin nasib Tamiyem dan Paimin bisa berbeda. Tapi, apa boleh dikata. Kesewenang-wenangan aparat negara memaksa mereka terus bekerja keras hingga usia senja.
Lebih berat lagi adalah beban pikiran dan perasaan. Hingga saat ini keduanya masih selalu berharap anak bungsunya itu pulang. Apalagi Suyat juga satu-satunya anak yang bisa duduk di bangku perguruan tinggi. Bahkan, Suyat juga satu-satunya pemuda di desa itu yang berkuliah. Nama Suyat pun belum mereka hapus di kartu keluarga.
”Ne sih waras, ayo mulih. Ne wis ora ana, kuburane nengdi? (Kalau masih hidup, ayo pulang. Kalau sudah meninggal, di mana kuburannya),” kata Tamiyem.
”Ne dipenjara, nengdi (kalau dipenjara di mana),” tambah Paimin sambil mengisap rokok dalam-dalam dengan mata menerawang. Perasaan sedih, kesal, marah, dan tak berdaya tergambar di wajah keduanya.
Malam kelabu
Penderitaan Tamiyem dan Paimin berawal dari peristiwa sebelas tahun lalu. Sekitar pukul dua dini hari, tiba-tiba saja rumahnya didatangi sepuluh aparat berpakaian preman.
”Mereka mencari Suyat. Semua kamar diperiksa. Tidak tahu kenapa, sambil bertanya, mereka juga terus berjalan mengelilingi rumah. Tidak ada yang berhenti,” kata Suyadi (40), kakak sulung Suyat, menceritakan pencidukan malam itu.
Dikarenakan Suyat sedang tidak ada di rumah, aparat membawa Suyatno (39), kakak nomor dua Suyat. Dengan mata ditutup, Suyatno dibawa dengan mobil Kijang dan diinterogasi di suatu tempat. Saat itu Suyatno yang masih berusia 28 tahun dipaksa menceritakan keberadaan Suyat. ”Saya dipukuli di sini,” kata Suyatno sambil menunjuk ulu hatinya.
Setelah Suyat ditemukan di Desa Sumber, Suyatno diturunkan di Desa Karang Rejo. Sejak subuh itu, tepatnya 12 Februari 1998, Suyat raib. Saat itu Suyat berusia 23 tahun dan hampir merampungkan kuliahnya di Jurusan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Slamet Riyadi, Surakarta.
Belakangan, pihak keluarga baru paham Suyat aktif di Partai Rakyat Demokratik yang dipimpin Budiman Sudjatmiko dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi yang dituduh rezim Orde Baru sebagai dalang kerusuhan 27 Juli dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang.
Sebagai anak tertua, Suyadi sudah melakukan segala daya mencari adiknya. Banyak lembaga negara sampai istana sudah dia datangi. Tapi, upaya itu belum juga membuahkan hasil. ”Jawabannya sama: diusahakan,” ujarnya.
Sebelas tahun sudah Suyadi berjuang. Kini, dia merasa lelah. Terlebih, masalah yang dihadapi keluarganya pun tidak ringan.
Putri sulungnya, Dewi (12), tunarungu sejak usia tiga hari. Alat bantu dengar masih bisa membantu. Tapi, karena harganya Rp 5 jutaan, Suyadi yang bekerja sebagai tukang kayu dan istrinya, Suwarni, sebagai penjahit, tak sanggup membelinya.
Tiga tahun belakangan, Dewi juga menderita penyakit kulit. Pigmen kulit hitam di beberapa jarinya yang lentik berubah menjadi putih. ”Kalau masih hidup, Suyat pasti sudah bisa mengangkat ekonomi keluarga,” ujarnya mengeluh.
Harapan kepada DPR
Keluarga Suyat sesungguhnya pantas marah kepada negara ini. Pemerintah yang seharusnya melindungi segenap bangsa justru mengambil buah hati mereka. Para pejabat yang sekarang merasakan ”manisnya” reformasi, menikmati ”empuknya” kursi kekuasaan, pun seakan amnesia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang pernah menjadi anggota Dewan Kehormatan Perwira memeriksa aparat terkait kasus penculikan, sesungguhnya pun tahu banyak kasus ini, tetapi juga belum berbuat banyak. Pengadilan HAM Ad Hoc tidak dibentuk. Pencarian orang yang masih hilang tidak dilakukan. Rehabilitasi dan kompensasi untuk keluarga korban tidak diberikan.
Kini, 50 anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tergabung dalam Panitia Khusus Kasus Penculikan Aktivis 1997-1998 memiliki kesempatan memperbaiki keadaan itu pada bulan Ramadhan karena akan membuat rekomendasi. Semoga, mereka tidak menutup mata dan hati terhadap penderitaan keluarga Suyat.
Terkecuali, para pejabat di negeri ini lebih memilih untuk tutup mata.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home