Problema Raparasi Korban
PROBLEMATIKA PROSES PEMENUHAN HAK
KORBAN PELANGGARAN BERAT HAM DI INDONESIA
Oleh Rini Kusnadi *
Oleh Rini Kusnadi *
Pendekatan dan proses penanganan berbagai kasus pelanggaran HAM berat selama ini hanya berkutat pada penuntutan terhadap pelaku. Hal ini tentu bukan sesuatu yang ditentang. Namun hal yang sering luput di samping penuntutan terhadap pelaku adalah mengenai pemenuhan hak korban. Seringkali pemenuhan hak korban ini dimengerti sebagai sesuatu yang akan terjadi setelah proses hukum final. Sementara kita tahu bahwa hanya sedikit kasus pelanggaran HAM berat yang bisa masuk dalam proses peradilan (Kasus Timor Timur, Tanjung Priok, Abepura).
Yang ada itu pun pada akhirnya tidak memuaskan rasa keadilan karena para pelaku bebas. Alhasil, pemenuhan hak korban atas reparasi pun menjadi hal yang tidak dianggap ada. Ini menunjukkan bahwa korban belum menjadi bagian yang penting dalam proses penegakkan hukum di Indonesia. Padahal perkembangan pendekatan HAM universal telah mengarah pada sikap bahwa hak korban harus dipenuhi terlepas dari proses hukum atas kasus yang menimpanya. Artinya, ketika seseorang atau sekelompok orang menjadi korban, maka sepatutnyalah mereka menerima hak-haknya atas reparasi (pemulihan).
Pengertian dan ruang lingkup korban menurut Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 tahun 1985 adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan peraturan yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Sedangkan Peraturan Pemerintah N0. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pelanggaran HAM berat menyatakan bahwa korban adalah perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran HAM berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, ganguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun.
Pemenuhan hak korban yang berupa reparasi ini diterjemahkan oleh Komisi HAM PBB sebagai upaya pemulihan kondisi korban pelanggaran HAM ke kondisi sebelum pelanggaran tersebut terjadi pada dirinya, baik menyangkut fisik, psikis, harta benda, dan hak status sosial politik korban yang dirusak dan dirampas. Upaya pemerintah untuk melakukan reparasi sudah diatur dalam Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan, ayat 1, bahwa korban pelanggaran HAM yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Ayat 2 menyatakan bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM. Ayat 3 menyatakan bahwa ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dalam penjelasan pasal tersebut kompensasi diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian yang sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Restitusi diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga yang ganti rugi ini dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Sedangkan rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lainnya.
Hambatan untuk mendapatkan Reparasi
Meskipun pemerintah sudah mengesahkan undang-undang mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM. namun tetap saja proses untuk mendapatkan reparasi sendiri mengalami berbagai hambatan.
Pertama, pelaku harus dinyatakan bersalah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida. Kedua, untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk kasus-kasus kejahatan yang terjadi sebelum tahun 2000 harus ada dukungan dari DPR dan Presiden. Ketiga, jaksa harus membuat permohonan untuk reparasi bagi korban sebagai bagian dari tuntutannya. Apabila pelaku dinyatakan bersalah, maka ia harus membayar restitusi. Apabila pelaku tidak membayar restitusi ini, maka korban harus melaporkannya pada Jaksa Agung yang kemudian akan meminta Departemen Keuangan untuk membayar kompensasi.
Bagi perempuan korban kejahatan seksual, hambatan pertama tidak mungkin dapat diterobos. Pengadilan HAM menggunakan hukum acara yang sama dengan kejahatan biasa (KUHAP). Dalam hal membuktikan perkosaan, maka seorang perempuan harus mempunyai 2 orang saksi, ditambah sebuah surat pemeriksaan dari dokter yang berdasarkan surat dari polisi 24 jam sesudah kejahatan terjadi. Tentunya, tak akan ada satupun kasus perkosaan yang terjadi pada tahun 1965, di daerah konflik manapun, yang dapat memenuhi persyaratan ini, sehingga tidak mungkin diadili pengadilan HAM.
Dalam kenyataannya, sampai saat ini belum ada satupun korban maupun keluarga pelanggaran HAM yang mendapatkan hak reparasinya yang sudah diatur dalam UU No.26 tahun 2000 ini. Hal ini, semakin memperlihatkan ketidakseriusan pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi. Walaupun pemerintah sudah mencoba mengeluarkan peraturan tentang reparasi untuk korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, namun tetap saja dalam prosesnya banyak sekali hambatan. Sehingga tidak memungkinkan bagi para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM untuk mendapatkan hak reparasinya.
* Penulis adalah Staf Departemen Penguatan Korban Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)
(diambil dari Buletin SADAR Edisi 155 Tahun IV, 2008)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home