Menuntaskan kasus orang hilang
http://jawapos.com/index.php?act=cetak&id=28
Sabtu, 30 Agustus 2008
Menuntaskan Kasus Orang Hilang
Oleh Tomy Su *
BARU-BARU ini seorang dewan penasihat sebuah parpol besar berkoarkoar. Koar-koarnya disiarkan televise swasta. Katanya, sudah bukan waktunya lagi bagi bangsa Indonesia untuk terus-menerus mengungkit-ungkit sejarah masa silam. Indonesia harus segera menatap ke masa depan.Ucapan tersebut jelas mengindikasikan adanya persepsi keliru dalam memahami sejarah atau peristiwa masa lalu. Indonesia bukan "Never never Land" yang menggantung di awangawang dalam cerita Peter Pan.
Realitas kita masa lalu, masa kini, dan masa depan tidak saling terpisah.Indonesia tidak bisa muncul dan tibatiba berumur 63 tahun. Ada jasa dua proklamator Bung Karno dan Bung Hatta serta para pejuang pada 1945. Iklim demokrasi multipartai saat ini, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari jasa Hendrawan Sie dkk serta jasa para aktivis yang dihilangkan menjelang lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998.
Kebetulan, masyarakat internasional mendedikasikan setiap 30 Agustus sebagai Hari Orang Hilang Sedunia (International Day of the Disappeared). Meski sudah sepuluh tahun lebih, hingga kini nasib Wiji Thukul, Petrus Bima Anugrah, dan para akvivis demokrasi lain yang hilang belum diketahui. Hati penulis sering teriris setiap bertemu keluarga orang yang hilang.
''Tolong bantu kami cari anak kami. Kalau mereka masih hidup, tolong beri tahu di mana keberadaannya. Tapi, kalau mereka sudah mati, tolong beri tahu kami di mana pusaranya, biar kami datang berziarah.'''Begitu permintaan mereka.
Penguasa negeri ini, termasuk politikus yang diuntungkan bisa mengendalikan "kereta" reformasi, hanya berkoar: "Lupakan masa lalu! Mari membangun Indonesia ke depan!"
Coba tanyakan kepada keluarga korban yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), apa mereka bisa melupakan anak atau kerabatnya yang hilang? Coba kalau penguasa atau politikus itu mengalami sendiri hal tersebut, apa yang akan mereka lakukan? Apa mereka bisa melupakan masa lalu dengan mudah?
Bukan Persoalan Ringan
Persoalan orang yang dihilangkan bukan persoalan sepele. Apalagi, pada 29 Juni 2006, Sidang Komisi HAM PBB di Jenewa sudah mengesahkan International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearances (Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa).
Konvensi itu menekankan bahwa penghilangan paksa merupakan ibu dari segala pelanggaran HAM. Sebab, dalam kasus itu, paling tidak empat hak dasar (basic human rights) dilanggar, yakni hak tidak disiksa, hak atas kebebasan dan keamanan, hak diperlakukan sama di depan hukum, dan hak hidup. Tentu saja, mengimplementasikan tuntutan konvensi itu tidak mudah. Namun, kesulitan dalam impelentasi itu jelas tidak bisa dijadikan alasan untuk menghindar dari tanggung jawab.
Memang, pemerintah SBY bukan pelaku yang harus bertanggung jawab atas hilangnya aktivis prodemokrasi menjelang lengsernya Soeharto pada 1998. Kendati demikian, pemerintah SBY tidak bisa mengabaikan tanggung jawab untuk menuntaskan persoalan kejahatan HAM di masa silam, seperti kasus hilangnya para aktivis prodemokrasi pada 1997-1998.
Itu bisa diimplementasikan dengan memberikan dukungan politik dan instruksi kepada setiap institusi (TNI misalnya) yang berhubungan dengan penuntasan kasus orang hilang tersebut.
Apalagi sebenarnya di awal pemerintahan SBY, sudah dibentuk tim berlandasan SK Komnas No. 23/Komnas/ X/2005. Mandatnya menuntaskan kasus orang hilang. Namun, sebagaimana tim-tim yang terkait dengan pelanggaran HAM masa silam lainnya, kerja tim untuk orang hilang tersebut juga tidak bisa maksimal.
Sebab, selalu ada kendala atau dihalangi setiap kali mau minta keterangan korban, memanggil saksi, mengumpulkan barang bukti, meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian.
Kesulitan terbesar tim itu adalah susahnya memanggil saksi, khususnya personel TNI atau siapa pun yang dicurigai mengetahui informasi mengenai keberadaan orang yang hilang baik dalam kondisi hidup atau mati.
Belajar dari Argentina
Dalam hal itu, kita bisa belajar dari Argentina. Pertama, di sana dibentukKomisi Nasional untuk Orang Hilang (Comision Nacional Para La Desaparacion de Personas/Conadep) oleh Presiden Raul Alfonsin melalui dekrit presiden pada 1983, setelah mundurnya militer dari kekuasaan. Komisi itu dipimpin oleh seorang sastrawan terkemuka dan karismatis, Ernesto Sabato.
Conadep menunjuk ratusan pejabat militer sebagai orang yang bertanggung jawab.Namun, pada proses pengadilan militer, hanya 365 orang yang diadili. Toh banyak keluarga korban merasa cukup puas dengan kerja komisi itu. Selain itu, kini Argentina tidak lagi dibelenggu kasus orang hilang.Kalau kita ingin meraih masa depan Indonesia yang gilang-gemilang, persoalan masa lalu seperti kasus orang hilang harus dituntaskan. Bukan dilupakan atau diabaikan.
Mengabaikan atau melupakan hanya akan membuat persoalan masa lalu terus ditutupi kabut misteri.Filsof Prancis Alexis-Charles-Henri ClĂrel de Tocqueville (29 Juli 1805-16 April 1859) sudah mengingatkan, karena masa lalu gagal menerangi masa depan, benak manusia mengelana di tengah kabut. Lihat saja kita terus terkendali berbagai kabut dan krisis sehingga susah untuk meraih kemajuan.---
Tomy Su, koordinator Masyarakat Pelangi Pencinta Indonesia
Sabtu, 30 Agustus 2008
Menuntaskan Kasus Orang Hilang
Oleh Tomy Su *
BARU-BARU ini seorang dewan penasihat sebuah parpol besar berkoarkoar. Koar-koarnya disiarkan televise swasta. Katanya, sudah bukan waktunya lagi bagi bangsa Indonesia untuk terus-menerus mengungkit-ungkit sejarah masa silam. Indonesia harus segera menatap ke masa depan.Ucapan tersebut jelas mengindikasikan adanya persepsi keliru dalam memahami sejarah atau peristiwa masa lalu. Indonesia bukan "Never never Land" yang menggantung di awangawang dalam cerita Peter Pan.
Realitas kita masa lalu, masa kini, dan masa depan tidak saling terpisah.Indonesia tidak bisa muncul dan tibatiba berumur 63 tahun. Ada jasa dua proklamator Bung Karno dan Bung Hatta serta para pejuang pada 1945. Iklim demokrasi multipartai saat ini, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari jasa Hendrawan Sie dkk serta jasa para aktivis yang dihilangkan menjelang lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998.
Kebetulan, masyarakat internasional mendedikasikan setiap 30 Agustus sebagai Hari Orang Hilang Sedunia (International Day of the Disappeared). Meski sudah sepuluh tahun lebih, hingga kini nasib Wiji Thukul, Petrus Bima Anugrah, dan para akvivis demokrasi lain yang hilang belum diketahui. Hati penulis sering teriris setiap bertemu keluarga orang yang hilang.
''Tolong bantu kami cari anak kami. Kalau mereka masih hidup, tolong beri tahu di mana keberadaannya. Tapi, kalau mereka sudah mati, tolong beri tahu kami di mana pusaranya, biar kami datang berziarah.'''Begitu permintaan mereka.
Penguasa negeri ini, termasuk politikus yang diuntungkan bisa mengendalikan "kereta" reformasi, hanya berkoar: "Lupakan masa lalu! Mari membangun Indonesia ke depan!"
Coba tanyakan kepada keluarga korban yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), apa mereka bisa melupakan anak atau kerabatnya yang hilang? Coba kalau penguasa atau politikus itu mengalami sendiri hal tersebut, apa yang akan mereka lakukan? Apa mereka bisa melupakan masa lalu dengan mudah?
Bukan Persoalan Ringan
Persoalan orang yang dihilangkan bukan persoalan sepele. Apalagi, pada 29 Juni 2006, Sidang Komisi HAM PBB di Jenewa sudah mengesahkan International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearances (Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa).
Konvensi itu menekankan bahwa penghilangan paksa merupakan ibu dari segala pelanggaran HAM. Sebab, dalam kasus itu, paling tidak empat hak dasar (basic human rights) dilanggar, yakni hak tidak disiksa, hak atas kebebasan dan keamanan, hak diperlakukan sama di depan hukum, dan hak hidup. Tentu saja, mengimplementasikan tuntutan konvensi itu tidak mudah. Namun, kesulitan dalam impelentasi itu jelas tidak bisa dijadikan alasan untuk menghindar dari tanggung jawab.
Memang, pemerintah SBY bukan pelaku yang harus bertanggung jawab atas hilangnya aktivis prodemokrasi menjelang lengsernya Soeharto pada 1998. Kendati demikian, pemerintah SBY tidak bisa mengabaikan tanggung jawab untuk menuntaskan persoalan kejahatan HAM di masa silam, seperti kasus hilangnya para aktivis prodemokrasi pada 1997-1998.
Itu bisa diimplementasikan dengan memberikan dukungan politik dan instruksi kepada setiap institusi (TNI misalnya) yang berhubungan dengan penuntasan kasus orang hilang tersebut.
Apalagi sebenarnya di awal pemerintahan SBY, sudah dibentuk tim berlandasan SK Komnas No. 23/Komnas/ X/2005. Mandatnya menuntaskan kasus orang hilang. Namun, sebagaimana tim-tim yang terkait dengan pelanggaran HAM masa silam lainnya, kerja tim untuk orang hilang tersebut juga tidak bisa maksimal.
Sebab, selalu ada kendala atau dihalangi setiap kali mau minta keterangan korban, memanggil saksi, mengumpulkan barang bukti, meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian.
Kesulitan terbesar tim itu adalah susahnya memanggil saksi, khususnya personel TNI atau siapa pun yang dicurigai mengetahui informasi mengenai keberadaan orang yang hilang baik dalam kondisi hidup atau mati.
Belajar dari Argentina
Dalam hal itu, kita bisa belajar dari Argentina. Pertama, di sana dibentukKomisi Nasional untuk Orang Hilang (Comision Nacional Para La Desaparacion de Personas/Conadep) oleh Presiden Raul Alfonsin melalui dekrit presiden pada 1983, setelah mundurnya militer dari kekuasaan. Komisi itu dipimpin oleh seorang sastrawan terkemuka dan karismatis, Ernesto Sabato.
Conadep menunjuk ratusan pejabat militer sebagai orang yang bertanggung jawab.Namun, pada proses pengadilan militer, hanya 365 orang yang diadili. Toh banyak keluarga korban merasa cukup puas dengan kerja komisi itu. Selain itu, kini Argentina tidak lagi dibelenggu kasus orang hilang.Kalau kita ingin meraih masa depan Indonesia yang gilang-gemilang, persoalan masa lalu seperti kasus orang hilang harus dituntaskan. Bukan dilupakan atau diabaikan.
Mengabaikan atau melupakan hanya akan membuat persoalan masa lalu terus ditutupi kabut misteri.Filsof Prancis Alexis-Charles-Henri ClĂrel de Tocqueville (29 Juli 1805-16 April 1859) sudah mengingatkan, karena masa lalu gagal menerangi masa depan, benak manusia mengelana di tengah kabut. Lihat saja kita terus terkendali berbagai kabut dan krisis sehingga susah untuk meraih kemajuan.---
Tomy Su, koordinator Masyarakat Pelangi Pencinta Indonesia
0 Comments:
Post a Comment
<< Home