Satu Dekade Penyangkalan
Mugiyanto
"Kalau tidak karena peristiwa yang menimpa Suyat pada awal tahun 1998, pasti tidak akan ada perubahan yang menempatkan mereka pada posisi seperti yang mereka nikmati saat ini. Tapi sayangnya, mereka seperti lupa itu semua".
(Suyatno, kakak kandung Suyat, korban penculikan aktivis 1998)
Berkali kali Suyatno menyampaikan kekecewaannya kepada para presiden yang telah silih berganti sejak Soeharto lengser sepuluh tahun lalu. Suyatno patut kecewa karena tak pernah ada satupun presiden paska Orde Baru yang secara serius mempedulikan nasib dirinya dan ribuan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia.
Kekecewaan Suyatno adalah juga kekecewaan para korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Suyatno adalah kakak kandung Suyat, aktivis yang hilang pada masa Orde Baru. Suyatno sempat ditangkap dan disiksa beberapa hari oleh sekelompok penculik yang mencari Suyat. Ia memang mirip sekali dengan adiknya itu. Secara singkat, tulisan ini akan mengajak pembaca untuk mengingat mereka yang menjadi martir 10 tahun lalu, apa sumbangsih mereka bagi perubahan di Indonesia, dan bagaimana negara menempatkan mereka dalam konteks keadilan dan penegakan hak asasi manusia pada masa reformasi saat ini.
Krisis dan Tumbuhnya Gerakan Rakyat
Tidak bisa disangkal, krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada pertengahan 1997, menyebabkan guncangan hebat pada tampuk kekuasaan Soeharto yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Krisis ini memang tidak hanya memukul Indonesia. Negara-negara lain di Asia seperti Thailand, Korea Selatan, juga terkena dampaknya. Indonesia mengalami dampak jauh lebih buruk dibandingkan negara-negara lain. Hal ini terjadi karena langkah-langkah yang diambil oleh Soeharto, yang memperburuk krisis itu sendiri (Fadli Zon, 2004).
Tidak bisa disangkal, krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada pertengahan 1997, menyebabkan guncangan hebat pada tampuk kekuasaan Soeharto yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Krisis ini memang tidak hanya memukul Indonesia. Negara-negara lain di Asia seperti Thailand, Korea Selatan, juga terkena dampaknya. Indonesia mengalami dampak jauh lebih buruk dibandingkan negara-negara lain. Hal ini terjadi karena langkah-langkah yang diambil oleh Soeharto, yang memperburuk krisis itu sendiri (Fadli Zon, 2004).
Krisis inilah yang kemudian seperti memberi momentum bagi gerakan pro demokrasi yang telah tumbuh sejak awal tahun 1990-an. Aksi-aksi demonstrasi yang dipelopori mahasiswa dengan tuntutan penurunan harga dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN kemudian meluas di hampir seluruh kota yang ada universitasnya di Indonesia. Gerakan mahasiswa terus berkembang tidak hanya dalam cakupan geografis, tetapi juga kualitas tuntutannya. Dari penurunan harga dan pemberantasan KKN, tuntutan mahasiswa lalu menjadi tuntutan yang struktural, yaitu reformasi. Secara umum reformasi waktu itu diterjemahkan sebagai tuntutan adanya perubahan struktur kekuasaan dari Orde Baru Soeharto ke struktur kekuasan baru yang bersih dari KKN dan diharapkan mampu mengatasi krisis ekonomi dan menciptakan Indonesia yang demokratis dan berkeadilan.
Mereka yang Menjadi Martir
Ketika gerakan pro demokrasi mencapai klimaksnya pada awal tahun 1998, serangkaian represi juga dilancarkan oleh rejim Orde Baru terhadap mereka. Sebelumnya terjadi serangkaian penculikan terhadap para aktivis Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia yang tergabung dalam koalisi Mega-Bintang. Yani Afri salah satu aktivis yang hilang pada saat kampanye Pemilihan Umum 1997.
Ketika gerakan pro demokrasi mencapai klimaksnya pada awal tahun 1998, serangkaian represi juga dilancarkan oleh rejim Orde Baru terhadap mereka. Sebelumnya terjadi serangkaian penculikan terhadap para aktivis Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia yang tergabung dalam koalisi Mega-Bintang. Yani Afri salah satu aktivis yang hilang pada saat kampanye Pemilihan Umum 1997.
Untuk mengamankan Sidang Umum MPR Maret 1998 yang mengagendakan pemilihan kembali Soeharto sebagai presiden untuk yang ke-7 kalinya, sejumlah aktivis ditangkap dan hilang diculik. Mereka antara lain adalah para aktivis Aldera, LBH Nusantara, PDI Megawati, Partai Rakyat Demokratik dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi atau SMID.
Ada 14 korban penculikan yang dilaporkan keluarganya pada periode ini. Dari 14 orang itu, 9 orang telah dilepaskan termasuk saya, satu orang yang kemudian ditemukan meninggal dunia, bernama Gilang dan 4 orang yang sampai hari ini tidak diketahui nasib dan keberadaannya. Mereka adalah Wiji Thukul, Petrus Bimo Anugerah, Suyat dan Herman Hendrawan.
Mesin represi Orde Baru tidak juga berhenti menindas gerakan pro demokrasi. Ratusan pendukung PDI Megawati yang mengadakan pawai menuntut penurunan harga di Jakarta Selatan dicegat aparat polisi dan tentara, lalu semuanya dikirim ke rumah tahanan Polda Metrojaya. Di kota-kota besar seperti Bogor, Jogjakarta, Makasar, Medan, Surabaya, dan Bandung, demonstrasi mahasiswa dihadapi pentungan, gas air mata, penjara bahkan timah panas. Tewaslah Moses Gatotkaca di Jogjakarta dan puluhan orang lainnya.
Puncaknya, ketika 5 orang mahasiswa Trisakti ditembak mati oleh para sniper. Saat itu, 12 Mei 1998, mereka sedang menggelar aksi demonstrasi di halaman kampus. Elang Mulya Lesmana, Hafidin Royan, Hendriawan Sie dan Hery Hartanto adalah para mahasiswa yang akhirnya gugur bersimbah darah diterjang peluru panas itu. Peristiwa inilah yang kemudian menyulut kemarahan publik keesokan harinya hingga tiga hari beturut-turut di Jakarta dan kota –kota besar lainnya.
"Kerusuhan" Mei 1998
Tanggal 13, 14 dan 15 Mei 1998, Jakarta luluh lantak. Ribuan orang tumpah ruah ke jalan, menghancurkan apa yang bisa dihancurkan. Mereka merusak dan membakar pertokoan, fasilitas publik dan simbol-simbol kekuasaan Orde Baru. Namun, selalu saja ada yang mengambil keuntungan ditengah histeria massa ini. Massa yang beringas tiba-tiba seperti dikomando menjarah pertokoan, mall dan pasar swalayan. Massa juga menjadikan etnis Tionghoa sebagai sasaran. Mereka menjarah dan membakar harta milik keturunan Tionghoa, dan bahkan melakkan penyerangan fisik. Beberapa lembaga swadaya masyarakat bahkan menyebutkan adanya kekerasan seksual serius terhadap perempuan etnis Tionghoa.
Tanggal 13, 14 dan 15 Mei 1998, Jakarta luluh lantak. Ribuan orang tumpah ruah ke jalan, menghancurkan apa yang bisa dihancurkan. Mereka merusak dan membakar pertokoan, fasilitas publik dan simbol-simbol kekuasaan Orde Baru. Namun, selalu saja ada yang mengambil keuntungan ditengah histeria massa ini. Massa yang beringas tiba-tiba seperti dikomando menjarah pertokoan, mall dan pasar swalayan. Massa juga menjadikan etnis Tionghoa sebagai sasaran. Mereka menjarah dan membakar harta milik keturunan Tionghoa, dan bahkan melakkan penyerangan fisik. Beberapa lembaga swadaya masyarakat bahkan menyebutkan adanya kekerasan seksual serius terhadap perempuan etnis Tionghoa.
Tim Relawan Untuk Kemanusiaan (TRuK), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM, mendata, ribuan orang menjadi korban selama 3 hari kerusuhan yang terjadi di Jakarta dan meluas ke beberapa kota besar seperti Solo, Makasar dan Medan. Ribuan orang tanpa nama yang menjadi korban ini hilang tanpa jejak, mati terbakar, mengalami aneka kekerasan seksual dan sebagainya.
Mereka semua adalah para martir, yang karena pengorbanannya, baik disadari atau tidak, telah mengantarkan kekuasaan formal Orde Baru pada akhir keberadaannya. Pada 21 Mei 1998 Soeharto terpaksa mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden Republik Indonesia. Para martir itu telah membuka jalan perubahan. Darah dan jiwanya telah menjadi penyubur bagi tumbuhnya demokrasi Indonesia.
Penyangkalan Negara
Atas para martir yang jatuh demi perubahan di Indonesia, pemerintah seperti melakukan penyangkalan untuk bertanggung jawab. Jangankan penghukuman bagi pelaku dan pemulihan bagi korban, pengakuan atas terjadinya serangkaian pelanggaran berat hak asasi manusia pun enggan dilakukan.
Atas para martir yang jatuh demi perubahan di Indonesia, pemerintah seperti melakukan penyangkalan untuk bertanggung jawab. Jangankan penghukuman bagi pelaku dan pemulihan bagi korban, pengakuan atas terjadinya serangkaian pelanggaran berat hak asasi manusia pun enggan dilakukan.
Usaha-usaha untuk menangani kasus, semuanya kandas di jalan, atau dilakukan, tapi tersendat-sendat dan hanya untuk memenuhi prosedur pertangungjawaban formal. Pengadilan Hak Asasi Manusia yang ada semuanya membebaskan pelaku, Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Hasil penyelidikan.Komnas HAM juga dimentahkan.
Mereka yang hilang sampai saat ini tidak diketahui rimbanya. Suyatno masih tidak mengetahui nasib dan keberadaan nasib Suyat adiknya. Demikian juga keluarga korban yang lain yang masih dalam 10 tahun menanti dalam ketidakpastian. Hasil penyelidikan Komnas HAM yang seharusnya disidik oleh Jaksa Agung juga malah berkasnya dikembalikan ke penyelidik, sehingga proses penanganan hukum sama sekali tidak maju.
5 Orang korban peristiwa penembakan di kampus Trisakti memang telah diberi penghargaan gelar sebagai Pahlawan Reformasi oleh Presiden. Tetapi apakah itu bisa menghidupkan 5 nyawa yang telah melayang, terlebih lagi ketika mereka yang menembak sama sekali tidak dimintai pertanggungjawaban? Hasil penyelidikan Komnas HAM juga mengalami perlakuan yang sama oleh Jaksa Agung, dikembalikan ke penyelidik.
Lalu bagaimana dengan ribuan korban peristiwa kerusuhan 13 – 15 Mei 1998? Banyak dari mereka yang masih dalam ketidakpastian, karena tidak menemukan jasad keluarga yang hilang. Para keluarga juga masih menghadapi cap negatif dan stigma bahwa sanak saudara mereka yang hilang dan mati terbakar adalah penjarah. Belum lagi yang masih mengalami trauma akibat kekerasan seksual dan perkosaan.
Berkas penyelidikan Komnas HAM untuk kasus kerusuhan Mei 1998 ini juga dikembalikan oleh Jaksa Agung ke penyelidik Komnas HAM. Sebagaimana kasus penculikan aktivis, Jaksa Agung mengatakan bahwa mereka tidak bisa melakukan penyidikan sebelum pengadilan HAM ad hoc didirikan presiden.
Sungguh, ini adalah sebuah penyangkalan atas prinsip keadilan, terutama korban. Putusan Mahkamah Konstitusi 21 Pebruari 2008, diabaikan oleh Jaksa Agung. Putusan itu menyatakan bahwa DPR memerlukan hasil penyelidikan Komnas HAM dan Penyidikan Jaksa Agung untuk bisa merekomendasikan Presiden membentuk Pengadilan HAM ad hoc. Semuanya diabaikan.
Kondisi ini diperburuk lagi oleh ulah Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dan 600 purnawirawan TNI/Polri yang bersepakat untuk melawan kerja-kerja Komnas HAM untuk menyelidiki kasus-kasus pelangaran HAM masa lalu.
Hasilnya, impunitas mendapatkan tempat yang sebaik-baiknya di Republik ini. Ironisnya, Presiden Yudhoyono yang seharusnya menjadi palang penghalang impunitas, menjadi membisu. Padahal publik masih segar mengingat, Presiden Yudhoyono pernah berjanji merehabilitasi korban peristiwa 1965. Ia juga pernah berjanji menuntaskan kasus pembunuhan Munir, dan menganggap janjinya sebagai "a test of our history".
Bulan Maret lalu, kepada Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan atau Kontras dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia yang diundangnya di Istana, Presiden Yudhoyono berjanji untuk memastikan bahwa semua pihak dan institusi negara akan patuh hukum dalam usaha penanganan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia.
Kini, luka-luka akibat rangkaian catatan hitam dalam sejarah Republik ini masih menganga. Yang tinggal kemudian adalah berseraknya orang-orang yang menjadi korban. Mereka yang seharusnya menikmati buah manis hasil perjuangan para martir, oleh negara dijadikan sebagai paria. Sudah 10 tahun kita menapaki alam perubahan itu. Tapi pada saat yang sama, penyangkalan juga terus terjadi. Dan presiden Yudhoyono adalah orang yang paling bertanggungjawab untuk menghentikan penyangkalan tersebut, dan mengubahnya menjadi pengakuan dan pemberian keadilan dan kebenaran, kepada mereka yang menjadi martir dan korban.
Mugiyanto adalah penyintas penculikan aktivis pada Maret 1998. Ia adalah ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang atau IKOHI dan memimpin Asian Federation Against Involuntary Disappearances atau AFAD.
(diambil dari http://www.mediabersama.com/; Sabtu, 17 Mei 2008; 14.04)
(diambil dari http://www.mediabersama.com/; Sabtu, 17 Mei 2008; 14.04)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home