Potret Tapol 1965 Sulawesi Tenggara
Dan LANGIT PUN BERPALING
Potret Eks Tapol di Sulawesi Tenggara[i]
Oleh : Saiful Haq[ii]
Sisi gelap sejarah nasional Indonesia tahun 1965, pertarungan politik elit yang menyebabkan lebih dari 1 juta orang terbunuh, belum lagi jutaan orang yang dipenjarakan tanpa proses hukum, dilakukan oleh rezim yang baru saja berkuasa atas nama perang melawan “Hantu Komunisme”. Peristiwa itu hingga kini masih menyisakan berbagai dimensi persoalan, banyak orang yang lebih senang memilih untuk melupakannya, ada pula yang mencoba terus bertarung untuk menemukan kebenaran dan keadilan atas peristiwa berdarah itu. Selain itu yang lebih menyakitkan adalah pihak yang tidak memiliki pilihan lain, pihak yang mencoba melupakannya tapi “tidak bisa”
.…Kini aku pulang, semoga dapat diterima, ingin kubuktikan maknanya bertobat, seperti impianku akan kubangun kecerahan, kubaktikan sisa hidup untuk kebajikan.. namun ternyata apa yang kuterima, semburan ludah sumpah serapah… nyatanya jiwaku tetap terpidana, sesungguhnya aku telah mati dalam hidup”.
Demikianlah sepotong bait sair lagu “Orang-orang terkucil” karya Ebiet G Ade, sedikit menggambarkan sosok-sosok korban yang bertebaran di seluruh pelosok Indonesia, ditolak, dipinggirkan dan terasing. Hukuman yang mereka terima berpuluh-puluh tahun ternyata tidak berhenti setelah bebas dari tahanan. Peminggiran, diskriminasi, stigma, stereotip, marginalisasi hingga persoalan hak milik tanah dan berbagai hak mereka sebagai warga negara seolah hilang hanya karena satu kalimat yang terus menerus menghantui mereka “EKS TAPOL”.
30 September 1965, setelah issue pemberontakan dewan revolusi yang diikuti dengan terbunuhnya 7 orang jenderal Angkatan Darat, PKI dituding berada dibelakang peristiwa tersebut. Gerakan pembunuhan dan penangkapan sistematis terhadap barisan pendukung Soekarno dilakukan merata diseluruh Indonesia. Kaum komunis, kaum nasionalis bahkan kaum agamis yang mendukung Soekarno ditangkapi dan dibunuh. Jutaan orang terbunuh sia-sia, sebagian lagi hilang dan yang sedikit lebih baik namun tidak lebih beruntung, ditangkapi dan di penjarakan tanpa proses hukum yang layak. Pulau Jawa memang merupakan daerah dengan jumlah korban yang paling massif dalam tragedi kemanusiaan ini. Namun bukan berarti daerah lain tidak mengalami hal yang sama, walau dalam kuantitas yang relatif lebih sedikit, tapi persoalan kemanusiaan bukan hanya persoalan kuantitas semata tapi juga dilihat dari kualitas akibat yang ditimbulkan oleh tindakan crimes against humanity, di Sulawesi tragedi tersebut menorehkan sayatan yang tidak kalah perihnya dengan yang terjadi di Jawa.
Pada tanggal 18 Oktober 1965, penangkapan pertama terjadi di Sulawesi Tenggara, delapan orang yang dituduh Pimpinan Daerah PKI ditahan oleh aparat dari KOREM 143. Pada tanggal 28 Oktober 1965 kerusuhan by design mulai meletus di Sulawesi Tenggara dan sekitarnya, masyarakat dengan dipandu oleh beberapa ormas dan organisasi kepemudaan mulai merusaki dan mengganyangi rumah-rumah orang yang dituduh PKI dan juga terhadap instansi yang dicurigai telah disusupi oleh PKI, tidak ada jumlah pasti kerugian dan korban jiwa dalam kerusuhan itu. Kendari, Buton, Makassar, Palu dan beberapa daerah lain di Sulawesi menjadi pusat dari kerusuhan massal tersebut.
Tahun 1968 merupakan puncak dari penangkapan terhadap orang yang dituduh PKI di Sulawesi, di Kendari tercatat lebih dari 200 orang ditahan. Karena lembaga pemasyarakatan di Kendari tidak mencukupi maka dibangunlah Rumah Tahanan Militer di Kendari. Tahun 1969 beredar issue bahwa daerah Buton sebagai pusat pasokan senjata PKI dari China, issue ini disebarkan oleh pihak KODAM, ratusan orang ditahan atas issue tersebut, kantor Bupati Buton ditengarai sebagai pusat operasi pemasokan senjata tersebut, puluhan staff kantor Bupati Buton ditangkapi, termasuk Kasim, Bupati Buton waktu itu yang beberapa bulan kemudian dinyatakan bunuh diri dengan menggantung diri dalam tahanan. Tahun 1969 Pangdam Wirabuana Andi Azis Rustam bersama Auditur Militer Kol. Busono dan Kol. Bagyo dari Direktorat Kehakiman Pusat mengeluarkan pernyataan bahwa di Buton tidak ditemukan senjata dan tidak ditemukan ada operasi pemasokan senjata dari China.
Dengan pernyataan itu, maka beberapa tahanan yang merupakan elit pemerintah Kabupaten Buton tetap ditahan, namun kemudian di pindahkan ke Moncongloe Makassar untuk di relokasi. Setelah penahanan massal yang dimulai tahun 1965, maka antara tahun 1968-1969 dilakukan interogasi atau screening oleh pihak yang ditugasi oleh pemerintah waktu itu, tercatat beberapa nama (tidak akan disebutkan disini) yang melakukan interogasi dengan siksaan. Tahanan yang diinterogasi dipaksa untuk mengakui apa yang tidak mereka lakukan dan selanjutnya menandatangani persetujuan atas Berita Acara Pemeriksaan, setruman, cambukan, sundutan dengan rokok, ujung jari yang dihimpit dengan meja dilakukan dalam proses interogasi tersebut.
1971, menjelang Pemilu, para tahanan dari RTM Kendari dan Buton dipindahkan ke Kamp Konsentrasi Tawanan Perang di Ameroro, gelombang pertama berjumlah 156 orang dan gelombang kedua sebanyak 200 orang. Para tahanan politik ini kemudian dimanfaatkan untuk mengerjakan proyek-proyek yang berada dibawah kontrol militer, kegiatan yang di beri nama Bakti Karya dipimpin langsung oleh Letkol Ahmad Haju Kepala staff Korem 143 merangkap kepala Taperda di Sulawesi Tenggara waktu itu. Proyek pembukaan lahan hutan ribuan hektar untuk lahan trasnmigrasi, perintisan jalan baru di pelosok hutan Sulawesi dikerjakan oleh para Tapol tanpa upah dan logistik yang jauh dari layak, tidak sedikit yang sakit dan mati dalam proyek tersebut. Ratusan orang dipekerjakan untuk membangun berbagai infrastruktur hingga tahun 1977.
Tanggal 26 Desember 1973, sebanyak 115 orang dipekerjakan untuk membangun kota baru yang disebut Resettlement Anduonoho sekarang mencadi Kecamatan Anduonoho, proyek ini dipimpin oleh Komandan Korem 143 Kolonel DN Lintang, para Tapol diperintahkan untuk membangun dermaga Lapuko, jalan kota, membuka hutan, mempersiapkan kavling-kavling tanah dan berbagai fasilitas pendukung lainnya termasuk membangun Pusat Latihan Kerja (Puslaja) Kendari. Setelah rampung pada tahun 1977, ratusan kepala keluarga (bukan Tapol) dari pinggiran Kendari dipindahkan ke Anduonoho, mereka mendapatkan kavling tanah dan menikmati berbagai fasilitas yang telah disediakan dan dibangun oleh para Tapol, hingga kini Anduonoho berkembang sangat pesat dan menjadi pusat hunian dan denyut ekonomi di Kendari.
Sementara itu 115 orang Tapol yang telah selesai membangun Resettlement Anduonoho pada tanggal 18 Desember 1977 dipusatkan di Nanga-nanga untuk membangun lokasi untuk Tapol yang akan segera dibebaskan, mereka membuka hutan seluas ± 1000 Ha, dan mendirikan 6 Barak untuk hunian sekitar 200 orang Tapol yang pada tahun berikutnya dipindahkan ke Nanga-nanga. Di Nanga-nanga inilah lebih dari 200 orang eks Tapol kemudian menjalani hidup baru tanpa fasilitas air bersih, listrik dan jalan tanah yang buruk. Hak kepemilikan lahan ini kemudian diserahkan oleh pemerintah secara resmi kepada eks Tapol melalui beberapa surat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi dan Kodam pada saat itu. Pihak International Committee of the Red Cross (ICRC) pernah berkunjung ke daerah ini pada tahun 1978 untuk melakukan audit lapangan, kawat duri yang tadinya dipasang mengelilingi wilayah ini dibuka agar tidak menyerupai kamp konsentrasi, kunjungan Palang Merah Internasional (ICRC) ini membuktikan bahwa ada dana yang turun untuk rehabilitasi Eks Tapol di Nanga-nanga, namun hingga kini tidak pernah ditemukan laporan resmi ICRC mengenai hasil audit mereka di daerah ini, baik laporan mengenai penggunaan dana maupun kelayakan hidup eks Tapol di Nanga-nanga.
Setelah lebih dari 30 Tahun mereka hidup di Nanga-nanga, persoalan ternyata tidak selesai, berbagai tindakan diskriminatif masih sering mereka terima, cibiran, stigma, dan keterbatasan akses sosial politik masih membuat mereka berbeda dengan warga yang non eks tapol. Bahkan dalam dua tahun terakhir, mereka mulai diusik dengan klaim-kalim sepihak atas tanah yang telah mereka olah selama 30 tahun lebih itu. Berbagai oknum mulai mencoba menjuali tanah-tanah mereka, klaim atas nama tanah adat menggugat hak legal atas tanah mereka, hal ini bukan terjadi begitu saja, tapi juga melibatkan oknum-oknum aparat desa dan pengusaha tentunya. Mencoba melawan berarti mempersiapkan diri untuk terulangnya suatu peristiwa yang jika bisa sebenarnya lebih senang mereka lupakan. Hingga kini, bersurat dan mengadu dari satu pintu birokrasi ke pintu kantor pemerintah lainnya jadi usaha yang paling aman untuk mereka lakukan, lebih dari itu? demonstrasi misalnya, itu sama saja undangan bagi maut, dari mereka yang selama ini masih memelihara hantu komunisme dalam ketakutan mistik di kepala mereka.
Berjalan melalui jalan aspal dari airport Wolter Monginsidi Kendari, menuju Konawe Selatan denyut ekonomi begitu terasa, jalur transportasi selalu merupakan prasyarat dari mobilisasi hasil produksi dan merupakan urat nadi kehidupan ekonomi. Angin pantai berhembus lembut di dermaga Lapuko, perahu nelayan tertambat, ikan dinaikkan ke darat, dijual hingga di santap di meja makan sambil disertai perbincangan bisnis dan handphone keluaran terbaru, tidak ketinggalan sinetron dan infotainment di TV ikut menyegarkan perbincangan di rumah-rumah. Memasuki Anduonoho tak pernah terpikir bahwa pada tahun 1977 masih merupakan hutan belantara, toko-toko, warung, rumah mewah dan mobil-mobil keluaran terbaru terparkir bersama keteduhan halaman yang menyiratkan kemapanan hidup panghuninya. Hujan bulan Nopember turun menjelang senja, disebuah persimpangan jalan ditengah kota Kendari terpampang sebuah spanduk rentang bertuliskan “WASPADA KOMUNISME GAYA BARU MULAI BANGKIT”.
Sementara itu di Nanga-nanga, daerah dimana para eks Tapol di relokasi sejak tahun 1977, puluhan gubuk yang berjauhan satu sama lain, gubuk yang reot, beralaskan tanah, makan malam belum juga siap karena kayu yang dikeringkan agak basah oleh hujan sore tadi. Disinilah, di Nanga-nanga, orang-orang yang dulu merintis jalan baru sepanjang Konawe Selatan, Trans Sulawesi Tenggara, membangun dermaga Lapuko, membangun kota Anduonoho dan menyebabkan orang lain hidup bahagia diatasnya.
Orang-orang ini pulalah yang hingga hari ini hidupnya terus dihantui oleh status mereka sebagai eks Tapol, orang-orang yang tanahnya mulai dijuali dan diserobot sedikit demi sedikit, orang yang tak henti-hentinya di beri stigma Hantu Komunisme yang sewaktu-waktu bisa meruntuhkan negara ini dengan tangan mereka yang tidak lebih kuat dari cengkeraman seorang balita.
Jasa mereka tak pernah dikenang, jalan yang mereka bangun puluhan tahun dengan tumpahan keringat, dermaga yang menghidupi banyak orang, kota yang dihuni oleh ratusan jiwa dengan tidur dan makan yang cukup, semua itu tidak punya arti. Setiap hari kota, dermaga dan jalan itu dilalui jutaan orang sambil meludahkan makian, DASAR KOMUNIS!!!
[i] Tulisan ini adalah hasil wawancara dengan beberapa narasumber di Kendari Sulawesi Tenggara
[ii] Bekerja untuk Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) Jakarta, dan peneliti untuk Center for Security Sector Management (CSSM) UK untuk wilayah Asia.
Potret Eks Tapol di Sulawesi Tenggara[i]
Oleh : Saiful Haq[ii]
Sisi gelap sejarah nasional Indonesia tahun 1965, pertarungan politik elit yang menyebabkan lebih dari 1 juta orang terbunuh, belum lagi jutaan orang yang dipenjarakan tanpa proses hukum, dilakukan oleh rezim yang baru saja berkuasa atas nama perang melawan “Hantu Komunisme”. Peristiwa itu hingga kini masih menyisakan berbagai dimensi persoalan, banyak orang yang lebih senang memilih untuk melupakannya, ada pula yang mencoba terus bertarung untuk menemukan kebenaran dan keadilan atas peristiwa berdarah itu. Selain itu yang lebih menyakitkan adalah pihak yang tidak memiliki pilihan lain, pihak yang mencoba melupakannya tapi “tidak bisa”
.…Kini aku pulang, semoga dapat diterima, ingin kubuktikan maknanya bertobat, seperti impianku akan kubangun kecerahan, kubaktikan sisa hidup untuk kebajikan.. namun ternyata apa yang kuterima, semburan ludah sumpah serapah… nyatanya jiwaku tetap terpidana, sesungguhnya aku telah mati dalam hidup”.
Demikianlah sepotong bait sair lagu “Orang-orang terkucil” karya Ebiet G Ade, sedikit menggambarkan sosok-sosok korban yang bertebaran di seluruh pelosok Indonesia, ditolak, dipinggirkan dan terasing. Hukuman yang mereka terima berpuluh-puluh tahun ternyata tidak berhenti setelah bebas dari tahanan. Peminggiran, diskriminasi, stigma, stereotip, marginalisasi hingga persoalan hak milik tanah dan berbagai hak mereka sebagai warga negara seolah hilang hanya karena satu kalimat yang terus menerus menghantui mereka “EKS TAPOL”.
30 September 1965, setelah issue pemberontakan dewan revolusi yang diikuti dengan terbunuhnya 7 orang jenderal Angkatan Darat, PKI dituding berada dibelakang peristiwa tersebut. Gerakan pembunuhan dan penangkapan sistematis terhadap barisan pendukung Soekarno dilakukan merata diseluruh Indonesia. Kaum komunis, kaum nasionalis bahkan kaum agamis yang mendukung Soekarno ditangkapi dan dibunuh. Jutaan orang terbunuh sia-sia, sebagian lagi hilang dan yang sedikit lebih baik namun tidak lebih beruntung, ditangkapi dan di penjarakan tanpa proses hukum yang layak. Pulau Jawa memang merupakan daerah dengan jumlah korban yang paling massif dalam tragedi kemanusiaan ini. Namun bukan berarti daerah lain tidak mengalami hal yang sama, walau dalam kuantitas yang relatif lebih sedikit, tapi persoalan kemanusiaan bukan hanya persoalan kuantitas semata tapi juga dilihat dari kualitas akibat yang ditimbulkan oleh tindakan crimes against humanity, di Sulawesi tragedi tersebut menorehkan sayatan yang tidak kalah perihnya dengan yang terjadi di Jawa.
Pada tanggal 18 Oktober 1965, penangkapan pertama terjadi di Sulawesi Tenggara, delapan orang yang dituduh Pimpinan Daerah PKI ditahan oleh aparat dari KOREM 143. Pada tanggal 28 Oktober 1965 kerusuhan by design mulai meletus di Sulawesi Tenggara dan sekitarnya, masyarakat dengan dipandu oleh beberapa ormas dan organisasi kepemudaan mulai merusaki dan mengganyangi rumah-rumah orang yang dituduh PKI dan juga terhadap instansi yang dicurigai telah disusupi oleh PKI, tidak ada jumlah pasti kerugian dan korban jiwa dalam kerusuhan itu. Kendari, Buton, Makassar, Palu dan beberapa daerah lain di Sulawesi menjadi pusat dari kerusuhan massal tersebut.
Tahun 1968 merupakan puncak dari penangkapan terhadap orang yang dituduh PKI di Sulawesi, di Kendari tercatat lebih dari 200 orang ditahan. Karena lembaga pemasyarakatan di Kendari tidak mencukupi maka dibangunlah Rumah Tahanan Militer di Kendari. Tahun 1969 beredar issue bahwa daerah Buton sebagai pusat pasokan senjata PKI dari China, issue ini disebarkan oleh pihak KODAM, ratusan orang ditahan atas issue tersebut, kantor Bupati Buton ditengarai sebagai pusat operasi pemasokan senjata tersebut, puluhan staff kantor Bupati Buton ditangkapi, termasuk Kasim, Bupati Buton waktu itu yang beberapa bulan kemudian dinyatakan bunuh diri dengan menggantung diri dalam tahanan. Tahun 1969 Pangdam Wirabuana Andi Azis Rustam bersama Auditur Militer Kol. Busono dan Kol. Bagyo dari Direktorat Kehakiman Pusat mengeluarkan pernyataan bahwa di Buton tidak ditemukan senjata dan tidak ditemukan ada operasi pemasokan senjata dari China.
Dengan pernyataan itu, maka beberapa tahanan yang merupakan elit pemerintah Kabupaten Buton tetap ditahan, namun kemudian di pindahkan ke Moncongloe Makassar untuk di relokasi. Setelah penahanan massal yang dimulai tahun 1965, maka antara tahun 1968-1969 dilakukan interogasi atau screening oleh pihak yang ditugasi oleh pemerintah waktu itu, tercatat beberapa nama (tidak akan disebutkan disini) yang melakukan interogasi dengan siksaan. Tahanan yang diinterogasi dipaksa untuk mengakui apa yang tidak mereka lakukan dan selanjutnya menandatangani persetujuan atas Berita Acara Pemeriksaan, setruman, cambukan, sundutan dengan rokok, ujung jari yang dihimpit dengan meja dilakukan dalam proses interogasi tersebut.
1971, menjelang Pemilu, para tahanan dari RTM Kendari dan Buton dipindahkan ke Kamp Konsentrasi Tawanan Perang di Ameroro, gelombang pertama berjumlah 156 orang dan gelombang kedua sebanyak 200 orang. Para tahanan politik ini kemudian dimanfaatkan untuk mengerjakan proyek-proyek yang berada dibawah kontrol militer, kegiatan yang di beri nama Bakti Karya dipimpin langsung oleh Letkol Ahmad Haju Kepala staff Korem 143 merangkap kepala Taperda di Sulawesi Tenggara waktu itu. Proyek pembukaan lahan hutan ribuan hektar untuk lahan trasnmigrasi, perintisan jalan baru di pelosok hutan Sulawesi dikerjakan oleh para Tapol tanpa upah dan logistik yang jauh dari layak, tidak sedikit yang sakit dan mati dalam proyek tersebut. Ratusan orang dipekerjakan untuk membangun berbagai infrastruktur hingga tahun 1977.
Tanggal 26 Desember 1973, sebanyak 115 orang dipekerjakan untuk membangun kota baru yang disebut Resettlement Anduonoho sekarang mencadi Kecamatan Anduonoho, proyek ini dipimpin oleh Komandan Korem 143 Kolonel DN Lintang, para Tapol diperintahkan untuk membangun dermaga Lapuko, jalan kota, membuka hutan, mempersiapkan kavling-kavling tanah dan berbagai fasilitas pendukung lainnya termasuk membangun Pusat Latihan Kerja (Puslaja) Kendari. Setelah rampung pada tahun 1977, ratusan kepala keluarga (bukan Tapol) dari pinggiran Kendari dipindahkan ke Anduonoho, mereka mendapatkan kavling tanah dan menikmati berbagai fasilitas yang telah disediakan dan dibangun oleh para Tapol, hingga kini Anduonoho berkembang sangat pesat dan menjadi pusat hunian dan denyut ekonomi di Kendari.
Sementara itu 115 orang Tapol yang telah selesai membangun Resettlement Anduonoho pada tanggal 18 Desember 1977 dipusatkan di Nanga-nanga untuk membangun lokasi untuk Tapol yang akan segera dibebaskan, mereka membuka hutan seluas ± 1000 Ha, dan mendirikan 6 Barak untuk hunian sekitar 200 orang Tapol yang pada tahun berikutnya dipindahkan ke Nanga-nanga. Di Nanga-nanga inilah lebih dari 200 orang eks Tapol kemudian menjalani hidup baru tanpa fasilitas air bersih, listrik dan jalan tanah yang buruk. Hak kepemilikan lahan ini kemudian diserahkan oleh pemerintah secara resmi kepada eks Tapol melalui beberapa surat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi dan Kodam pada saat itu. Pihak International Committee of the Red Cross (ICRC) pernah berkunjung ke daerah ini pada tahun 1978 untuk melakukan audit lapangan, kawat duri yang tadinya dipasang mengelilingi wilayah ini dibuka agar tidak menyerupai kamp konsentrasi, kunjungan Palang Merah Internasional (ICRC) ini membuktikan bahwa ada dana yang turun untuk rehabilitasi Eks Tapol di Nanga-nanga, namun hingga kini tidak pernah ditemukan laporan resmi ICRC mengenai hasil audit mereka di daerah ini, baik laporan mengenai penggunaan dana maupun kelayakan hidup eks Tapol di Nanga-nanga.
Setelah lebih dari 30 Tahun mereka hidup di Nanga-nanga, persoalan ternyata tidak selesai, berbagai tindakan diskriminatif masih sering mereka terima, cibiran, stigma, dan keterbatasan akses sosial politik masih membuat mereka berbeda dengan warga yang non eks tapol. Bahkan dalam dua tahun terakhir, mereka mulai diusik dengan klaim-kalim sepihak atas tanah yang telah mereka olah selama 30 tahun lebih itu. Berbagai oknum mulai mencoba menjuali tanah-tanah mereka, klaim atas nama tanah adat menggugat hak legal atas tanah mereka, hal ini bukan terjadi begitu saja, tapi juga melibatkan oknum-oknum aparat desa dan pengusaha tentunya. Mencoba melawan berarti mempersiapkan diri untuk terulangnya suatu peristiwa yang jika bisa sebenarnya lebih senang mereka lupakan. Hingga kini, bersurat dan mengadu dari satu pintu birokrasi ke pintu kantor pemerintah lainnya jadi usaha yang paling aman untuk mereka lakukan, lebih dari itu? demonstrasi misalnya, itu sama saja undangan bagi maut, dari mereka yang selama ini masih memelihara hantu komunisme dalam ketakutan mistik di kepala mereka.
Berjalan melalui jalan aspal dari airport Wolter Monginsidi Kendari, menuju Konawe Selatan denyut ekonomi begitu terasa, jalur transportasi selalu merupakan prasyarat dari mobilisasi hasil produksi dan merupakan urat nadi kehidupan ekonomi. Angin pantai berhembus lembut di dermaga Lapuko, perahu nelayan tertambat, ikan dinaikkan ke darat, dijual hingga di santap di meja makan sambil disertai perbincangan bisnis dan handphone keluaran terbaru, tidak ketinggalan sinetron dan infotainment di TV ikut menyegarkan perbincangan di rumah-rumah. Memasuki Anduonoho tak pernah terpikir bahwa pada tahun 1977 masih merupakan hutan belantara, toko-toko, warung, rumah mewah dan mobil-mobil keluaran terbaru terparkir bersama keteduhan halaman yang menyiratkan kemapanan hidup panghuninya. Hujan bulan Nopember turun menjelang senja, disebuah persimpangan jalan ditengah kota Kendari terpampang sebuah spanduk rentang bertuliskan “WASPADA KOMUNISME GAYA BARU MULAI BANGKIT”.
Sementara itu di Nanga-nanga, daerah dimana para eks Tapol di relokasi sejak tahun 1977, puluhan gubuk yang berjauhan satu sama lain, gubuk yang reot, beralaskan tanah, makan malam belum juga siap karena kayu yang dikeringkan agak basah oleh hujan sore tadi. Disinilah, di Nanga-nanga, orang-orang yang dulu merintis jalan baru sepanjang Konawe Selatan, Trans Sulawesi Tenggara, membangun dermaga Lapuko, membangun kota Anduonoho dan menyebabkan orang lain hidup bahagia diatasnya.
Orang-orang ini pulalah yang hingga hari ini hidupnya terus dihantui oleh status mereka sebagai eks Tapol, orang-orang yang tanahnya mulai dijuali dan diserobot sedikit demi sedikit, orang yang tak henti-hentinya di beri stigma Hantu Komunisme yang sewaktu-waktu bisa meruntuhkan negara ini dengan tangan mereka yang tidak lebih kuat dari cengkeraman seorang balita.
Jasa mereka tak pernah dikenang, jalan yang mereka bangun puluhan tahun dengan tumpahan keringat, dermaga yang menghidupi banyak orang, kota yang dihuni oleh ratusan jiwa dengan tidur dan makan yang cukup, semua itu tidak punya arti. Setiap hari kota, dermaga dan jalan itu dilalui jutaan orang sambil meludahkan makian, DASAR KOMUNIS!!!
[i] Tulisan ini adalah hasil wawancara dengan beberapa narasumber di Kendari Sulawesi Tenggara
[ii] Bekerja untuk Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) Jakarta, dan peneliti untuk Center for Security Sector Management (CSSM) UK untuk wilayah Asia.