<body bgcolor="#000000" text="#000000"><!-- --><div id="flagi" style="visibility:hidden; position:absolute;" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><div id="flagtop"></div><div id="top-filler"></div><div id="flagi-body">Notify Blogger about objectionable content.<br /><a href="http://help.blogger.com/bin/answer.py?answer=1200"> What does this mean? </a> </div></div><div id="b-navbar"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-logo" title="Go to Blogger.com"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/logobar.gif" alt="Blogger" width="80" height="24" /></a><div id="b-sms" class="b-mobile"><a href="sms:?body=Hi%2C%20check%20out%20%5B%20Ikatan%20Keluarga%20Orang%20Hilang%20Indonesia%20%5D%20%3A%3A%20IKOHI%20Indonesia%20at%20ikohi.blogspot.com">Send As SMS</a></div><form id="b-search" name="b-search" action="http://search.blogger.com/"><div id="b-more"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-getorpost"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_getblog.gif" alt="Get your own blog" width="112" height="15" /></a><a id="flagButton" style="display:none;" href="javascript:toggleFlag();" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif" name="flag" alt="Flag Blog" width="55" height="15" /></a><a href="http://www.blogger.com/redirect/next_blog.pyra?navBar=true" id="b-next"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_nextblog.gif" alt="Next blog" width="72" height="15" /></a></div><div id="b-this"><input type="text" id="b-query" name="as_q" /><input type="hidden" name="ie" value="ISO-8859-1" /><input type="hidden" name="ui" value="blg" /><input type="hidden" name="bl_url" value="ikohi.blogspot.com" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_this.gif" alt="Search This Blog" id="b-searchbtn" title="Search this blog with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value='ikohi.blogspot.com'" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_all.gif" alt="Search All Blogs" value="Search" id="b-searchallbtn" title="Search all blogs with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value=''" /><a href="javascript:BlogThis();" id="b-blogthis">BlogThis!</a></div></form></div><script type="text/javascript"><!-- var ID = 3565544;var HATE_INTERSTITIAL_COOKIE_NAME = 'dismissedInterstitial';var FLAG_COOKIE_NAME = 'flaggedBlog';var FLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/flag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var UNFLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/unflag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var FLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif';var UNFLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/unflag.gif';var ncHasFlagged = false;var servletTarget = new Image(); function BlogThis() {Q='';x=document;y=window;if(x.selection) {Q=x.selection.createRange().text;} else if (y.getSelection) { Q=y.getSelection();} else if (x.getSelection) { Q=x.getSelection();}popw = y.open('http://www.blogger.com/blog_this.pyra?t=' + escape(Q) + '&u=' + escape(location.href) + '&n=' + escape(document.title),'bloggerForm','scrollbars=no,width=475,height=300,top=175,left=75,status=yes,resizable=yes');void(0);} function blogspotInit() {initFlag();} function hasFlagged() {return getCookie(FLAG_COOKIE_NAME) || ncHasFlagged;} function toggleFlag() {var date = new Date();var id = 3565544;if (hasFlagged()) {removeCookie(FLAG_COOKIE_NAME);servletTarget.src = UNFLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = false;} else { setBlogspotCookie(FLAG_COOKIE_NAME, 'true');servletTarget.src = FLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = true;}} function initFlag() {document.getElementById('flagButton').style.display = 'inline';if (hasFlagged()) {document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;} else {document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;}} function showDrop() {if (!hasFlagged()) {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'visible';}} function hideDrop() {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'hidden';} function setBlogspotCookie(name, val) {var expire = new Date((new Date()).getTime() + 5 * 24 * 60 * 60 * 1000);var path = '/';setCookie(name, val, null, expire, path, null);} Function removeCookie(name){var expire = new Date((new Date()).getTime() - 1000); setCookie(name,'',null,expire,'/',null);} --></script><script type="text/javascript"> blogspotInit();</script><div id="space-for-ie"></div>
IKOHI

Saturday, January 23, 2010

Haluan bernama Hukum Progresif


Primaironline.com - Dalam bentang akhir dan awal tahun lalu, setidaknya tercatat dua tokoh yang berperan besar dalam penegakan hukum dan keadilan, telah berpulang meninggalkan kita. Yang pertama adalah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan yang kedua adalah Prof. Satjipto Rahardjo, yang sering dipanggil Prof Tjip.

Semasa hidupnya, Gus Dur selalu istiqomah (konsisten) dalam membela kaum lemah dan minoritas serta memperjuangkan keadilan sosial (Andree Feillard; 1999). Demikian juga Prof Tjip, yang dengan latar akademis dan kepakarannya terus berjuang menegakkan hukum yang tujuan utamanya adalah keadilan.

Prof Tjip menyebutnya sebagai hukum progresif. Menurutnya, hukum tidak boleh menjadi tawanan sistem dan undang-undang. Keadilan dan kebahagiaan rakyat ada di atas hukum.

Walaupun tidak mengenal mereka secara langsung, saya bermaksud memberikan penghargaan dan penghormatan atas kontribusi tindakan dan pemikiran almarhum berdua bagi penegakan keadilan dan hak asasi manusia.

Untuk itu saya mencoba memahami dan berusaha untuk turut memperjuangkan pemikiran dan teladan mereka dalam menempatkan dan melaksanakan hukum yang pada akhirnya bermanfaat bagi terwujudnya keadilan.

Secara sederhana saya menyebutnya sebagai hukum untuk keadilan, sebagai antitesa atas pandangan hukum normatif yang konvensional yang menempatkan hukum untuk hukum.

Kabar baiknya, pandangan hukum progresif itu juga telah diintrodusir dan dilaksanakan oleh Prof. Mahfud MD dan lembaga yang dipimpinnya, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam beberapa kesempatan, Prof. Mahfud MD mengatakan bahwa MK tidak menegakkan hukum, tetapi menegakkan keadilan yang merupakan perpaduan antara akal sehat (common sense) dengan UU. Hanya dengan pandangan seperti itulah penegakan hukum akan memberikan keadilan pada masyarakat (keadilan substantif). Dan karenanya, hukum bisa dilanggar bila menutup jalan bagi tegaknya keadilan.

Hukum legal-formal
Saya menganggap bahwa bila pandangan hukum progresif dilaksanakan oleh lembaga penegak hukum, baik itu polisi, hakim maupun jaksa, karut marut dunia penegakan hukum di Indonesia akan bisa diatasi. Pemberantasan korupsi dan penegakan HAM yang kini sedang dijalankan oleh Pemerintah SBY akan sulit berhasil bila ditangani dengan pendekatan penegakan hukum yang formalis dan legalistis.

Dalam perseteruan antara KPK dan Kepolisian beberapa waktu yang lalu, yang berujung pada penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, kelihatan sekali bagaimana pasal-pasal diotak-atik oleh penyidik supaya Bibit dan Chandra bisa ditahan.

Tapi sebaliknya untuk kasus Anggodo Widjojo yang diduga menyuap pimpinan KPK, perundang-undangan ditelan mentah-mentah oleh penyidik kepolisian, sehingga mereka menyimpulkan tidak ada bukti yang kuat untuk menahan Anggodo.

Cara kerja pihak kepolisian yang sangat legal-formal dan konvensional ini terbukti gagal melahirkan keadilan publik dan menyelesaikan masalah.

Demikian juga di bidang hak asasi manusia (HAM). Pandangan hukum legal-formal dan konvensional terbukti gagal digunakan untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran berat HAM di Indonesia. Penerapan hukum yang hanya didasarkan pada apa yang tertulis dalam undang-undang menjadikan Indonesia tidak bisa melangkah maju, karena pelanggaran berat HAM di masa lalu tak memungkinkan untuk disentuh.

Kalau kita tengok ke belakang, tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu penyebab utama dibebaskannya semua terdakwa pada Pengadilan HAM untuk kasus Timor Timur, Tanjung Priok dan Abepura adalah karena para hakim menerapkan pasal-pasal UU Pengadilan HAM secara kaku. Padahal, undang-undang tersebut memiliki banyak sekali kelemahan mendasar.

Hal yang sama dilakukan oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji dan jajarannya yang sampai hari ini tidak mau melakukan penyidikan berkas-berkas penyelidikan untuk sedikitnya tujuh kasus dugaan pelanggaran berat HAM yang telah dilakukan oleh Komnas HAM.

Dalam banyak sekali kesempatan audiensi dengan komunitas korban, Kejaksaan Agung selalu mengatakan bahwa mereka belum bisa melakukan tindak lanjut (penyidikan) atas tujuh berkas kasus tersebut, karena belum ada Pengadilan HAM ad hoc dan alasan-alasan teknis prosedural lain yang menurut kami dibuat-buat (artifisial).

Bahkan, untuk kasus Penghilangan Paksa Aktivis tahun 1997-1998 yang sudah direkomendasikan oleh DPR agar Presiden mendirikan Pengadilan HAM ad hoc, Jaksa Agung masih mengeluarkan alasan baru: menunggu sikap Presiden.

Dari contoh-contoh di atas kelihatan sekali betapa para penegak hukum memandang hukum sebagai kitab suci yang kaku yang terlepas dari kondisi sosial dan politik. Padahal hukum dan undang-undang dibuat melalui sebuah proses politik pada konteks tertentu, yang sangat mungkin pada konteks dan jaman tertentu tidak sesuai lagi.

Pendekatan seperti inilah yang menyebabkan mandeknya berbagai proses hukum untuk kasus pelanggaran berat HAM, sehingga proses hukum berseberangan dengan akal sehat (common sense).

Walaupun sangat mungkin, para jaksa dan hakim mengambil sikap ini karena mereka memang tidak hendak mewujudkan keadilan, sebagaimana otoritas politik yang membawahi mereka memberikan arahan.

Hal ini sangat berseberangan dengan hukum progresif yang dikembangkan oleh Prof Tjip dan dilaksanakan oleh Mahfud MD, dimana hukum harus diperuntukkan untuk tujuan keadilan. Dan kalau hukum tidak memungkinkan terwujudnya keadilan, maka hukum bisa dilanggar.

Tantangan baru
Usaha menegakkan hukum dan keadilan di awal tahun 2010 ini nampaknya masih menghadapi tantangan sangat berat. Setelah dicederai oleh kasus perseteruan cicak dan buaya serta megaskandal Bank Century yang juga belum selesai, wajah hukum dan keadilan kini sedang ditampar lagi apa yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Pondok Bambu. Di LP ini narapidana kasus penyuapan dan narkotika seperti Artalyta Suryani (Ayin) dan Limarita (Aling) menikmati privilege, berupa berbagai fasilitas kenyamanan mewah seperti ruang karaoke, springbed, perlengkapan kecantikan pribadi, TV layar datar dan sebagainya.

Fakta yang ditemukan saat Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum bentukan Presiden SBY melakukan inspeksi mendadak itu menjadi bukti nyata betapa hukum bisa dibeli dan adanya diskriminasi terhadap para narapidana. Padahal, semua orang harus mendapatkan hak dan perlakuan yang sama di depan hukum.

Dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, juga secara tegas disebutkan bahwa sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas (b) persamaan perlakuan dan pelayanan.

Dalam situasi inilah, yang bisa dimulai pada hari ke-100 masa pemerintahannya yang kedua, Pemerintahan SBY dituntut untuk menunjukkan bahwa Pemerintahan SBY jilid dua ini merupakan pemerintahan koreksi atas pemerintahan sebelumnya. Tiga pilar program yang dideklarasikan pada pidato pelantikannya di Gedung DPR/MPR RI yang meliputi peningkatan kesejahteraan rakyat (prosperity), penguatan demokrasi (democracy), dan penegakan keadilan (justice) ini tidak mungkin tercapai bila ia masih dan hanya berkutat pada politik pencitraan.

Sudah waktunya Pemerintah SBY melakukan pergantian (shift) ke politik substantif, ketika prosperity, democracy dan justice tidak hanya diksi-diksi tak bermakna. Mereka harus diejawantahkan menjadi kenyataan yang bisa dilihat, dirasakan dan dinikmati seluruh rakyat Indonesia.

Demikian juga dalam hal penegakan keadilan. Sudah datang waktunya bagi mereka yang selama ini terpuruk oleh diskriminasi, stigmatisasi, marjinalisasi dan pemiskinan akibat peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu untuk turut bisa menikmati buah pembangunan di republik tercinta ini.

Mugiyanto, Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)

Sumber: http://www.primaironline.com/interaktif/detail.php?catid=Opini&artid=haluan-bernama-hukum-progresif

Wednesday, January 13, 2010

Ratifying Convention on Disappearances


Ratifying Convention on Disappearances
Mugiyanto , Jakarta | Mon, 01/11/2010 9:32 AM | Opinion

At the end of its 2004-2009 term, the House of Representatives (DPR) left an exemplary legacy in the field of human rights. On Sept. 28, 2009, it surprisingly issued a set of comprehensive recommendations to the government on the disappearances of pro-democracy activists in 1997-1998.

The recommendations consist of four points that cover the areas of justice, truth, reparations and a guarantee of non-repetition, in which they reflect the victims’ rights.

Of the four recommendations, two are addressed directly to the President, urging the President to establish an ad hoc human rights court and to search for the 13 people still missing.

The other two are addressed to the government to provide compensation and rehabilitation to the victims, and to ratify the Convention on Enforced Disappearances for the purpose of preventing cases of enforced disappearances happening again in the future.

The four recommendations were issued by the House through its plenary session as a result of the work of the parliamentary special committee on the report by the National Human Rights Commission on the disappearance cases in 1997-1998.
The House was mandated by Article 43 of the 2000 law on the Human Rights Court. The committee had been working on it for two years, since it was established in February 2008.

This article, however, wants to highlight the recommendation to the government to ratify the Convention on Enforced Disappearance, which indicates Indonesia’s intention to comply with the development of the international human rights treaty.
Civil society organizations have repeatedly urged the government to ratify the Convention on Enforced Disappearances.

Back in March 2007, three months after the adoption of the convention by the United Nations General Assembly in New York, the ratification of the convention was promised by the then justice and human rights minister Hamid Awaluddin in a high-level speech during the first sessions of the UN Human Rights Council in Geneva, Switzerland.

Once it ratifies the convention, Indonesia is legally bound to comply with its provisions. One of the important forms of compliance is the inclusion of the act of disappearance as a crime in domestic legislation (currently, it falls under abduction, kidnapping, deprivation of liberty). Others are measures on the obligation of the state to hold the perpetrators accountable and take preventative measures.

As stipulated in Article 39 of the convention, it will come into force on the thirtieth day after the date of deposit of the twentieth ratification with the secretary-general of the United Nations.

As of today, the convention has been signed by 81 governments and ratified by 18 states. Of those 18 ratifying states, eight states are from Latin America, four states from Europe, four states from Africa and only two states from Asia. The two Asian states that have ratified the convention are Japan and Kazakhstan.
The composition of the ratifying states has not yet reflected the purpose of the convention, which is to put an end of the global phenomenon of disappearances. The fact that there are eight Latin American states and only two Asian states seem to imply that the convention is more relevant to Latin American states. The fact, however, is that it is needed more by Asian countries as disappearances are still ongoing phenomena in the region.

The report of the United Nations Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances in the last three years indicated that Asian regions submitted the highest number of cases of enforced disappearances as compared to other regions. Of the countries in the region, Nepal, Sri Lanka, Iraq, India, China, and the Philippines are those among the contributors.

It is because of this situation that an organization like the Asian Federations against Involuntary Disappearances (AFAD) in cooperation with the Latin American Federation of Association of Families of Disappeared Detainees (FEDEFAM) has been conducting a series of lobbying and campaign activities in Indonesia and other countries in the region in order that more Asian states ratify the convention.
Worth mentioning here is that Indonesia, Timor-Leste, Thailand, the Philippines and Nepal are supportive and in the process of studying eventual ratification of the convention.

In its final report entitled Ad Memoriam Per Spem which means “from Memory to Hope” released in 2008, the joint Commission for Truth and Friendship (CTF) of Timor-Leste and Indonesia produced one specific recommendation that related to disappearances.
The recommendation is for both governments to establish the Commission on Disappeared Persons. The said commission is tasked to locate the missing persons who disappeared in Timor-Leste during the conflict. Now that both governments are preparing to follow up on the said recommendation, immediate ratification of the convention will provide several benefits, some of them are:

First, the criticism by the international community that the Commission for Truth and Friendship is denying justice and accountability will be less profound than before. This is because it will base its recommendations on the international treaty directly related to the matter.

Second, the said Commission on Disappeared Persons, or whatever name both governments will give to the new follow-up institution, will fulfill and be compatible with international standards.

This will prevent the possibility of receiving international criticism later for not complying with existing standards and according to the principles of organizations working on the issues of disappearances and missing persons.

Third, being the state parties to the convention, both governments will obtain technical assistance from others. This includes, among others, in searching for, locating and releasing disappeared persons and, in the event of death, in exhuming and identifying them and returning their remains (Article 15 of the convention).

Fourth, ratifying the convention means laying the foundations for the ongoing institutional reforms that both governments are doing to prevent the same crimes happening again in the future.


The writer is the chairman of the Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) and Indonesian Association of Families of the Disappeared (IKOHI).
Source: http://www.thejakartapost.com/news/2010/01/11/ratifying-convention-disappearances.html

Long Road to Justice - Khmer Rouge Tribunal


The Long Road to Justice
13 Years of Working To Ensure That the Khmer Rouge Trials Belong to You


By Youk Chhang

During the Khmer Rouge period from April 17, 1975 to January 7, 1979, Cambodians walked constantly. They walked from the cities to the countryside, from their villages to distant provinces, and from the rice fields to the battlefields. After January 7, 1979 the survivors of our country's genocide walked again; this time back to their homes.

In 1997, Cambodians began another journey; the journey to seek justice for crimes committed by the Khmer Rouge. And today, 31 years after the Khmer Rouge regime fell we are taking a giant step along the road to justice.

On February 6, 2006 the Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ECCC) - commonly referred to as the Khmer Rouge Tribunal (KRT) - officially began setting up offices at the military barracks outside of Phnom Penh. The first trial, Case 001, began on March 30, 2009, two years behind schedule. The case opened with the defendant, former head of S-21 prison Duch (Kaing Geuk Eav), apologizing to victims and accepting responsibility, but ended shockingly however on November 27, 2009 with Duch rejecting responsibility on jurisdictional grounds because he was not a "senior Khmer Rouge leader or those most responsible" as stated in the Khmer Rouge Tribunal Law. The judgment of Duch will be delivered in March 2010.


In late 2010 or early 2011, the most important Khmer Rouge trial will begin. Case 002 will try the highest level Khmer Rouge leaders still alive today: Noun Chea, Khieu Samphan, Ieng Sary, and Ieng Thirith. This trial will be a crucial moment in Cambodia's road to justice because the evidences and analyses brought forth will provide answers to many fundamental questions about the Khmer Rouge regime that survivors had wondered for over three decades.

Cambodia, the United Nations, and several other countries have worked for many years to help us see justice delivered. The United Nations and national governments raised much of the initial $56 million budget for the KRT and stepped in during budgetary shortfalls in late 2008. These governments have also generously funded many Cambodian human rights and international non-government organizations (NGO) that support and monitor the trial process by helping victims file complaints of Khmer Rouge atrocities to the Court, observing and reporting on the activities of the Cambodian government and United Nations, providing counseling to those who suffered during Democratic Kampuchea, and other activities.

Perhaps the most important way that NGOs can help is to work with the Extraordinary Chambers and each other to ensure that the public is informed about the trials and involved in them.

These trials are about seeking justice for victims of the Khmer Rouge regime. These are your trials, and without your participation in them, the Cambodian people will not be able to judge whether the trials are fair, of high standards, and accessible to all.

But how can the people of Cambodia participate in the trials? They are far away and it is expensive to travel to Phnom Penh. Many NGOs in Cambodia are working to make certain that people can read about the trials through magazines and other written materials that are delivered to sub-district and district offices across the country. Others will broadcast news on the radio, and the Documentation Center of Cambodia (DC-Cam) is working with TVK and other stations to produce programs that will help educate people about the Extraordinary Chambers.

In the past few years, DC-Cam has also implemented a project which brought 400-500 villagers every month from all across Cambodia to Phnom Penh to visit genocide memorial sites and meet with officials at the KRT courtroom. After this first phase of the Living Documents Project, phase two which began in early 2009 allowed victims to directly attend Duch's trial hearing, participate in KRT educational workshops, and view Khmer Rouge related videos. Afterward, villagers returned home to share with community members during village forums what they saw and learned so that Cambodians have the opportunity to learn about the trials from people like themselves, in addition to tribunal officials and NGO staff. All of these activities have helped villagers understand how the trials work and to become familiar with the tribunal process. For Case 002, DC-Cam will increase its activities and outreach efforts given the significance of this trial.

All of us want to see trials that are fair and just, and for the Cambodian people to participate in them without fear of intimidation or uncertainty. Learning about the tribunal from the written word, radio and television, and from your family, friends and neighbors will help you see that justice can work in Cambodia and that building a more just future for our children can become a reality.

-------------------------
Youk Chhang is the director of the Documentation Center of Cambodia. This week is the 10th anniversary of the publishing of DC-Cam Genocide Magazine: "Searching for the Truth." With the ministries of Interior and Information, DC-Cam has distributed 1.5 million copies of the magazine to the villagers within Cambodia. This week also is the 13th anniversary of the establishment of DC-Cam.

Thursday, January 07, 2010

Solidaritas Aceh-Papua




Kongres ke-3 IKOHI di Jakarta, 6-10 Desember 2009 telah mempertemukan korban pelanggaran HAM dari berbagai tempat di Indonesia untuk saling berdiskusi, berbagi pengalaman perjuangan. Diantaranya adalah dari Aceh dan Papua. Mereka juga berbagi pengalaman dengan korban dari Timor Leste.

Salam Solidaritas

SBY Harus Segera ke Jalan Keadilan!




RESOLUSI KONGRES III IKOHI

Sebelas tahun transisi demokrasi di Indonesia telah menghasilkan cengkraman yang makin dalam kekuatan politik neolibaralisme dan berlanjutnya impunitas bagi para pelanggar HAM. Empat orang presiden silih berganti menduduki istana dan tiga pemilu telah dilakukan untuk mengangkat anggota legislatif, tak lebih hanya pergantian kekuasaan yang tidak banyak manfaatnya bagi kehidupan rakyat dan nasib para korban.

Dalam pemilihan presiden terakhir, Soesilo Bambang Yudhoyono kembali terpilih menjadi presiden RI untuk kedua kalinya. Partai-partai politik yang bersaing dalam pemilu kemudian memberikan dukungan kepada pemerintahan SBY dengan imbalan pembagian kursi kementerian dan jabatan pemerintahan lainnya.

Kesempatan kedua untuk menjadi presiden ini tampaknya belum memberikan kepastian bagi penegakan HAM yang memihak korban. Selama lima tahun pemerintahan SBY kasus-kasus pelanggaran HAM yang selesai diselidiki oleh Komnas HAM hanya menjadi tumpukan arsip di Kejaksaan Agung. Selama lima tahun berkuasa tidak ada satu kasus pelanggaran HAM berat yang diproses kepengadilan. Kasus persidangan pembunuhan Munir yang menjadi sorotan publik dan masyarakat internasional menghasilkan vonis bebas pada pihak-pihak yang diduga menjadi pelaku utama. Semua fakta-fakta ini menunjukan bahwa komitmen perlindugan dan penegakan HAM yang menjadi retorika pemerintah tak lebih hanya kosmetik politik untuk kepentingan pencitraan penguasa, bukan untuk dijalankan guna memenuhi keadilan bagi korban.

Sementara DPR RI juga tidak banyak berubah tabiatnya. Selain skandal korupsi menjadi sorotan publik, DPR RI juga lebih banyak mempolitisir isu-isu HAM untuk kepentingan partai dan kelompoknya sendiri. Dalam banyak kasus DPR RI bahkan telah melegitimasi impunitas atas kasus-kasus pelangaran HAM seperti yang terjadi pada Tragedi Semanggi I dan II.

Memang untuk kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998 telah ada kemajuan dengan ditetapkannya rekomendasi oleh sidang paripurna DPR-RI yang berupa: (1) Merekomendasikan Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad-hoc; (2) Merekomendasikan Presiden serta segenap insitusi pemerintah serta pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 aktivis yang masih hilang; (3) Merekomendasikan Pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang; (4) Merekomendasikan Pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktek Penghilangan Paksa di Indonesia. Namur rekomendasi ini hingga hari ini masih merupakan rekomendasi. DPR sebagai pihak yang mengeluarkan rekomendasi juga tidak melakukan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan rekomendasi tersebut.

Kondisi tebalnya impunitas ini semakin tergambar dengan sikap dan kebijakan presiden SBY yang tidak menjadikan penegakan HAM sebagai program prioritas 100 hari pemerintahannya. Rekomendasi rapat paripurna DPR kepada pemerintah TIDAK MENJADI PRIORITAS program kerja pemerintahan SBY-Budiono.

Di sisi lain, laju neoliberalisme juga menghantam keluarga korban yang sudah dimiskinkan karena peristiwa pelanggaran HAM yang menimpa diri atau keluarganya. Kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan negara yang membutakan diri terhadap hak reparasi atau pemulihan korban. Prosedur hukum dan perundang-undangan yang bermuara pada keengganan negara memenuhi tanggungjawab terhadap korban adalah bukti nyata sikap anti keadilan dan anti korban dari pemerintahan SBY-Budiono.

Menyimak dan mendalami keseluruhan paparan tersebut diatas, forum Kongres III IKOHI menghasilkan resolusi-resolusi yang merupakan kesatuan sikap dan kebulatan tekad bersama keluarga korban pelanggaran HAM dan pegiat HAM dari seluruh Indonesia. Resolusi-resolusi tersebut adalah:

1. Menuntut Pemerintahan SBY – Budiono untuk segera mengambil tindakan konkrit dalam memerangi impunitas dan menegakan keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Bentuk tindakan konkrit tersebut adalah:
a. Menindaklanjuti dengan segera rekomendasi hasil rapat Paripurna DPR-RI tanggal 28 Oktober 2009 dengan menekankan pada pencarian dan pengembalian 13 orang aktivis yang masih hilang.
b. Memerintahkan seluruh jajarannya, terutama Jaksa Agung, untuk segera menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
c. Melakukan upaya-upaya yang dibutuhkan untuk segera menyelenggarakan pengungkapan kebenaran atas peristiwa pelanggaran HAM.

2. Segera melakukan upaya perbaikan hukum dan insitusi penegak hukum sebagai bukti komitmen pemerintah dalam perlindungan HAM dengan melaksanakan amandemen UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, menyusun UU Komisi Kebenaran yang berpihak pada korban. Disamping itu pemerintah harus segera melakukan ratifikasi Statuta Roma (ICC) dan Konvensi Perlindungan Setiap Orang terhadap Praktek Penghilangan Paksa.

3. Melakukan perbaikan terhadap seluruh perangkat hukum yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM seperti hak atas reparasi, hak atas rehabilitasi dan hak atas kompensasi.

Berbekal keyakinan bahwa keseluruhan cita-cita keadilan dan pemenuhan hak korban adalah suatu perjuangan yang membutuhkan pembangunan gerakan yang terkonsolidasi, maka kami mengajak kepada seluruh rakyat Indonesia, khususnya para pejuang hak-hak rakyat dan korban, untuk:

1. Bersama-sama berjuang untuk memperjuangkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM sebagai agenda bersama gerakan mewujudkan keadilan dan kedaulatan rakyat sejati. Keadilan bagi korban adalah syarat mutlak bagi Indonesia untuk menjadi negara berdaulat, demokratis dan bermartabat.

2. Kepada para korban dimanapun berada, IKOHI menyerukan untuk:
• Membentuk paguyuban-paguyuban korban pelanggaran HAM atau cabang-cabang IKOHI di berbagai wilayah, sebagai wadah berkonsolidasi dan berkoordinasi untuk usaha-usaha mengungkapkan kebenaran, mengadili para pelaku dan merebut hak-hak pemulihan bagi korban.
• Agar melibatkan diri dengan gerakan HAM dan demokrasi yang bersimpati dan mendukung perjuangan penegakan HAM.
• Melakukan solidaritas di komunitasnya masing-masing atas perjuangan yang sedang dilakukan oleh para korban di Timor Leste dan negeri-negari lainnya.

Demikian resolusi ini kami buat sebagai komitmen dan ajakan untuk bergandeng tangan dalam mewujudkan keadilan dan demokrasi sejati bagi seluruh rakyat Indonesia.


Jakarta, 9 Desember 2009


IKOHI – Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia

NAVIGATION
BUKU BARU!!!

Image and video hosting by TinyPic>

Kebenaran Akan Terus Hidup
Jakarta : Yappika dan IKOHI xx, 220 hlm : 15 x 22 cm
ISBN: Cetakan Pertama,
Agustus 2007
Editor : Wilson
Desain dan Tata letak :
Panel Barus
Diterbitkan Oleh :
Yappika dan IKOHI
Dicetak oleh :
Sentralisme Production
Foto : Koleksi Pribadi

Dipersilahkan mengutip isi buku dengan menyebutkan sumber.

Buku ini dijual dengan harga RP. 30,000,-. Untuk pembelian silahkan hubungi IKOHI via telp. (021) 315 7915 atau Email: kembalikan@yahoo.com


NEWEST POST



ARCHIVES


ABOUT



IKOHI was set up on September 17, 1998 by the parents and surfaced victims of disappearances. Since then, IKOHI was assisted by KONTRAS, until October 2002 when finally IKOHI carried out it first congress to complete its organizational structure. In the Congress, IKOHI decided its two priority of programs. They are (1) the empowerment of the social, economic, social and cultural potential of the members as well as mental and physical, and (2) the campaign for solving of the cases and preventing the cases from happening again. The solving of the cases means the reveal of the truth, the justice for the perpetrators, the reparation and rehabilitation of the victims and the guarantee that such gross violation of human right will never be repeated again in the future.

Address
Jl. Matraman Dalam II, No. 7, Jakarta 10320
Indonesia
Phone: 021-3100060
Fax: 021-3100060
Email: kembalikan@yahoo.com


NETWORK


COUNTERPARTS

Indonesian NGOs
State's Agencies
International Organizations

YOUR COMMENTS

Powered by TagBoard
Name

URL / Email

Comments [smilies]



engine: Blogger

image hosting: TinyPic








layout © 2006
IKOHI / content © 2006 IKOHI Indonesia

public licence: contents may be cited with acknowledgement of the owner

best view with IE6+ 1024x768 (scripts enabled)