IKOHI Sumatera Utara Dideklarasikan
RESOLUSI KONFERENSI DAERAH
PERKUMPULAN IKOHI SUMATERA UTARA
Medan, 05 Mei 2010
Orde Reformasi, yang ditandai dengan tumbangnya rezim Soeharto, tentunya tidak dapat dilepaskan dari perjuangan para mahasiswa dan rakyat Indonesia pada tahun 1998. Bahkan perjuangan tersebut menghasilkan beberapa pelanggaran HAM yang terjadi yang mewarnai proses pergantian kepemimpinan nasional ketika itu. Sudah sebelas tahun transisi demokrasi di Indonesia telah berjalan, namun kenyataannya orde Reformasi malah menghasilkan cengkraman kekuatan politik Neoliberalisme yang semakin dalam dan berlanjutnya impunitas bagi para pelanggar HAM. Walaupun beberapa presiden telah silih berganti memimpin bangsa ini dan tiga pemilu telah dilakukan untuk mengangkat anggota legislatif, namun hal tersebut kenyataannya tidak membawa banyak manfaat bagi kehidupan rakyat dan nasib para korban serta keluarga korban pelanggaran HAM.
Telah dua kali Pengadilan HAM Ad-hoc digelar di Indonesia untuk menangani kasus Tanjung Priok, dan Timor Timur. Sementara ada satu Pengadilan HAM yang digelar untuk kasus Abepura. Namun hasil dari pengadilan HAM Ad-hoc untuk kasus Tanjung Priok dan Timor Timur serta Pengadilan HAM untuk kasus Abepura telah membebaskan para pelakunya dan jelas tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Untuk tragedi Semanggi I dan II bahkan telah dihentikan oleh DPR RI karena DPR RI memutuskan tidak adanya kasus pelanggaran HAM di kasus tersebut. Beberapa kasus pelanggaran HAM yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM juga hanya menjadi tumpukan arsip di Kejaksaan Agung hingga hari ini. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang terbengkalai antara lain kasus kerusuhan Mei 1998, kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998, kasus Wasior, kasus Wamena, kasus penembakan mahasiswa Trisakti, kasus Semanggi I, kasus Semanggi II, serta kasus Talangsari-Lampung.
Mekanisme lain dari penuntasan kasus pelanggaran HAM, selain Pengadilan HAM yang diatur oleh UU No 26 tahun 2000, adalah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang diatur oleh UU No 27 tahun 2004. Mekanisme KKR menjadi salah satu upaya pengungkapan kebenaran dari suatu kasus pelanggaran HAM di luar pengadilan. Harapan dari korban pelanggaran HAM adalah KKR ini tentunya dapat memutus kebuntuan nasib kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, sehingga juga dapat memberikan kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan serta memenuhi hak reparasi (pemulihan) bagi korban pelanggaran HAM di Indonesia. Namun KKR ini sendiri bukannya tanpa gugatan dari NGO-NGO dan komunitas korban pelanggaran HAM. KKR yang dinyatakan dalam UU KKR tersebut berprinsip menggantikan fungsi Pengadilan HAM. Padahal seharusnya KKR sendiri merupakan bagian pelengkap dari Pengadilan HAM, bukan pengganti mekanisme Pengadilan HAM.
Pada tanggal 4 Desember 2006, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No 27 Tahun 2004 mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Menurut Mahkamah Konstitusi, pembatalan UU KKR tersebut dikarenakan UU tersebut tidak memiliki konsistensi hukum sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak dapat dijalankan. Kesempatan ini tentunya harus dimanfaatkan untuk membuat UU KKR yang baru dan memiliki substansi yang lebih berpihak kepada korban pelanggaran HAM. Hingga saat ini, pengkajian Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi masih berada di tangan Kementerian Hukum dan HAM RI.
Pemilu yang terakhir, yang dilakukan pada tahun 2009, telah menghasilkan Soesilo Bambang Yudhoyono kembali terpilih menjadi presiden RI untuk kedua kalinya. Partai-partai politik yang bersaing dalam pemilu kemudian memberikan dukungan kepada pemerintahan SBY, yang dihimpun dalam koalisi partai politik pendukung pemerintah, dengan imbalan pembagian kursi kementerian dan jabatan pemerintahan lainnya. Dengan mengantongi suara 65 persen serta dukungan dari koalisi partai politik, tentunya SBY mendapat legitimasi dukungan publik yang sangat kuat untuk menguasai DPR dan terlebih-lebih eksekutif.
Namun kekuatan politik yang sangat besar tersebut, tampaknya belum dapat dimanfaatkan oleh SBY untuk memberikan kepastian bagi penegakan HAM yang memihak korban. Jika berkaca pada kepemimpinan SBY di lima tahun yang lalu, selama lima tahun pemerintahan SBY kasus-kasus pelanggaran HAM yang selesai diselidiki oleh Komnas HAM hanya menjadi tumpukan arsip di Kejaksaan Agung. Selama lima tahun berkuasa tidak ada satu kasus pelanggaran HAM berat yang diproses ke pengadilan. Semua fakta-fakta ini menunjukan bahwa komitmen perlindugan dan penegakan HAM yang menjadi retorika pemerintah tak lebih hanya kosmetik politik untuk kepentingan pencitraan penguasa, bukan untuk dijalankan guna memenuhi keadilan bagi korban.
Untuk kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998 telah ada kemajuan dengan ditetapkannya rekomendasi oleh sidang paripurna DPR-RI yang berupa: (1) Merekomendasikan Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad-hoc; (2) Merekomendasikan Presiden serta segenap insitusi pemerintah serta pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 aktivis yang masih hilang; (3) Merekomendasikan Pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang; (4) Merekomendasikan Pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktek Penghilangan Paksa di Indonesia. Namur rekomendasi ini hingga hari ini masih merupakan rekomendasi. DPR sebagai pihak yang mengeluarkan rekomendasi juga tidak melakukan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan rekomendasi tersebut.
Kondisi tebalnya impunitas ini semakin tergambar dengan sikap dan kebijakan presiden SBY yang tidak menjadikan penegakan HAM sebagai program prioritas 100 hari pemerintahannya. Rekomendasi rapat paripurna DPR kepada pemerintah TIDAK MENJADI PRIORITAS program kerja pemerintahan SBY-Budiono. Bahkan dalam RANHAM 2010-2014, diketahui bahwa point
mengenai pembahasan mengenai KKR telah hilang. Hal ini menyebabkan upaya memperjuangkan hak pemulihan bagi korban dan keluarga korban tanpa melalui Pengadilan HAM menjadi tertutup.
Pemulihan bagi korban dan keluarga korban tentunya menjadi salah satu hal yang sangat penting untuk dipenuhi oleh Negara. Peristiwa pelanggaran HAM yang dialami oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM tentunya telah merubah kondisi dan kehidupan sosial-ekonomi korban dan keluarga korban. Di sisi lain, laju Neoliberalisme juga menghantam keluarga korban yang sudah dimiskinkan karena peristiwa pelanggaran HAM yang menimpa diri atau keluarganya. Kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan negara yang membutakan diri terhadap hak reparasi atau pemulihan korban. Prosedur hukum dan perundang-undangan yang bermuara pada keengganan negara memenuhi tanggungjawab terhadap korban adalah bukti nyata sikap anti keadilan dan anti korban dari pemerintahan SBY-Budiono.
Menyimak dan mendalami keseluruhan paparan tersebut diatas, forum Konferensi Daerah IKOHI Sumatera Utara menghasilkan resolusi-resolusi yang merupakan kesatuan sikap dan kebulatan tekad bersama keluarga korban pelanggaran HAM dan pegiat HAM di Sumatera Utara. Resolusi-resolusi tersebut adalah:
a. Menuntut Pemerintahan SBY – Budiono untuk segera mengambil tindakan konkrit dalam memerangi impunitas dan menegakan keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Bentuk tindakan konkrit tersebut adalah:
1. Menindaklanjuti dengan segera rekomendasi hasil rapat Paripurna DPR-RI tanggal 28 Oktober 2009 dengan menekankan pada pencarian dan pengembalian 13 orang aktivis yang masih hilang.
2. Memerintahkan seluruh jajarannya, terutama Jaksa Agung, untuk segera menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia termasuk menindak lanjuti penuntasan kasus tragedi '65 di Sumatera Utara.
3. Penyelesaian kasus-kasus konflik-konflik tanah di Sumatera Utara.
4. Melakukan upaya-upaya yang dibutuhkan untuk segera menyelenggarakan pengungkapan kebenaran atas peristiwa pelanggaran HAM.
b. Menuntut Pemerintahan SBY-Budiono untuk segera memenuhi hak pemulihan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, tanpa menghilangkan atau melupakan proses pemenuhan hak keadilan dan pengungkapan kebenaran. Termasuk didalamnya pemenuhan hak reparasi bagi korban tragedi kemanusiaan '65 di Sumatera Utara.
c. Segera melakukan upaya perbaikan hukum dan insitusi penegak hukum sebagai bukti komitmen pemerintah dalam perlindungan HAM dengan melaksanakan amandemen UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, menyusun UU Komisi Kebenaran yang berpihak pada korban. Disamping itu pemerintah harus segera melakukan ratifikasi Statuta Roma (ICC) dan Konvensi Perlindungan Setiap Orang terhadap Praktek Penghilangan Paksa.
d. Melakukan perbaikan terhadap seluruh perangkat hukum yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM seperti hak atas reparasi, hak atas rehabilitasi dan hak atas kompensasi.
Demikian resolusi ini kami buat sebagai komitmen dan ajakan untuk bergandeng tangan dalam mewujudkan keadilan dan demokrasi sejati bagi seluruh rakyat Indonesia.
Medan, 05 Mei 2010
Perkumpulan IKOHI Sumatera Utara
Ketua Sekretaris
(Suwardi) (Astaman Hasibuan)
PERKUMPULAN IKOHI SUMATERA UTARA
Medan, 05 Mei 2010
Orde Reformasi, yang ditandai dengan tumbangnya rezim Soeharto, tentunya tidak dapat dilepaskan dari perjuangan para mahasiswa dan rakyat Indonesia pada tahun 1998. Bahkan perjuangan tersebut menghasilkan beberapa pelanggaran HAM yang terjadi yang mewarnai proses pergantian kepemimpinan nasional ketika itu. Sudah sebelas tahun transisi demokrasi di Indonesia telah berjalan, namun kenyataannya orde Reformasi malah menghasilkan cengkraman kekuatan politik Neoliberalisme yang semakin dalam dan berlanjutnya impunitas bagi para pelanggar HAM. Walaupun beberapa presiden telah silih berganti memimpin bangsa ini dan tiga pemilu telah dilakukan untuk mengangkat anggota legislatif, namun hal tersebut kenyataannya tidak membawa banyak manfaat bagi kehidupan rakyat dan nasib para korban serta keluarga korban pelanggaran HAM.
Telah dua kali Pengadilan HAM Ad-hoc digelar di Indonesia untuk menangani kasus Tanjung Priok, dan Timor Timur. Sementara ada satu Pengadilan HAM yang digelar untuk kasus Abepura. Namun hasil dari pengadilan HAM Ad-hoc untuk kasus Tanjung Priok dan Timor Timur serta Pengadilan HAM untuk kasus Abepura telah membebaskan para pelakunya dan jelas tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Untuk tragedi Semanggi I dan II bahkan telah dihentikan oleh DPR RI karena DPR RI memutuskan tidak adanya kasus pelanggaran HAM di kasus tersebut. Beberapa kasus pelanggaran HAM yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM juga hanya menjadi tumpukan arsip di Kejaksaan Agung hingga hari ini. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang terbengkalai antara lain kasus kerusuhan Mei 1998, kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998, kasus Wasior, kasus Wamena, kasus penembakan mahasiswa Trisakti, kasus Semanggi I, kasus Semanggi II, serta kasus Talangsari-Lampung.
Mekanisme lain dari penuntasan kasus pelanggaran HAM, selain Pengadilan HAM yang diatur oleh UU No 26 tahun 2000, adalah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang diatur oleh UU No 27 tahun 2004. Mekanisme KKR menjadi salah satu upaya pengungkapan kebenaran dari suatu kasus pelanggaran HAM di luar pengadilan. Harapan dari korban pelanggaran HAM adalah KKR ini tentunya dapat memutus kebuntuan nasib kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, sehingga juga dapat memberikan kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan serta memenuhi hak reparasi (pemulihan) bagi korban pelanggaran HAM di Indonesia. Namun KKR ini sendiri bukannya tanpa gugatan dari NGO-NGO dan komunitas korban pelanggaran HAM. KKR yang dinyatakan dalam UU KKR tersebut berprinsip menggantikan fungsi Pengadilan HAM. Padahal seharusnya KKR sendiri merupakan bagian pelengkap dari Pengadilan HAM, bukan pengganti mekanisme Pengadilan HAM.
Pada tanggal 4 Desember 2006, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No 27 Tahun 2004 mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Menurut Mahkamah Konstitusi, pembatalan UU KKR tersebut dikarenakan UU tersebut tidak memiliki konsistensi hukum sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak dapat dijalankan. Kesempatan ini tentunya harus dimanfaatkan untuk membuat UU KKR yang baru dan memiliki substansi yang lebih berpihak kepada korban pelanggaran HAM. Hingga saat ini, pengkajian Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi masih berada di tangan Kementerian Hukum dan HAM RI.
Pemilu yang terakhir, yang dilakukan pada tahun 2009, telah menghasilkan Soesilo Bambang Yudhoyono kembali terpilih menjadi presiden RI untuk kedua kalinya. Partai-partai politik yang bersaing dalam pemilu kemudian memberikan dukungan kepada pemerintahan SBY, yang dihimpun dalam koalisi partai politik pendukung pemerintah, dengan imbalan pembagian kursi kementerian dan jabatan pemerintahan lainnya. Dengan mengantongi suara 65 persen serta dukungan dari koalisi partai politik, tentunya SBY mendapat legitimasi dukungan publik yang sangat kuat untuk menguasai DPR dan terlebih-lebih eksekutif.
Namun kekuatan politik yang sangat besar tersebut, tampaknya belum dapat dimanfaatkan oleh SBY untuk memberikan kepastian bagi penegakan HAM yang memihak korban. Jika berkaca pada kepemimpinan SBY di lima tahun yang lalu, selama lima tahun pemerintahan SBY kasus-kasus pelanggaran HAM yang selesai diselidiki oleh Komnas HAM hanya menjadi tumpukan arsip di Kejaksaan Agung. Selama lima tahun berkuasa tidak ada satu kasus pelanggaran HAM berat yang diproses ke pengadilan. Semua fakta-fakta ini menunjukan bahwa komitmen perlindugan dan penegakan HAM yang menjadi retorika pemerintah tak lebih hanya kosmetik politik untuk kepentingan pencitraan penguasa, bukan untuk dijalankan guna memenuhi keadilan bagi korban.
Untuk kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998 telah ada kemajuan dengan ditetapkannya rekomendasi oleh sidang paripurna DPR-RI yang berupa: (1) Merekomendasikan Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad-hoc; (2) Merekomendasikan Presiden serta segenap insitusi pemerintah serta pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 aktivis yang masih hilang; (3) Merekomendasikan Pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang; (4) Merekomendasikan Pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktek Penghilangan Paksa di Indonesia. Namur rekomendasi ini hingga hari ini masih merupakan rekomendasi. DPR sebagai pihak yang mengeluarkan rekomendasi juga tidak melakukan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan rekomendasi tersebut.
Kondisi tebalnya impunitas ini semakin tergambar dengan sikap dan kebijakan presiden SBY yang tidak menjadikan penegakan HAM sebagai program prioritas 100 hari pemerintahannya. Rekomendasi rapat paripurna DPR kepada pemerintah TIDAK MENJADI PRIORITAS program kerja pemerintahan SBY-Budiono. Bahkan dalam RANHAM 2010-2014, diketahui bahwa point
mengenai pembahasan mengenai KKR telah hilang. Hal ini menyebabkan upaya memperjuangkan hak pemulihan bagi korban dan keluarga korban tanpa melalui Pengadilan HAM menjadi tertutup.
Pemulihan bagi korban dan keluarga korban tentunya menjadi salah satu hal yang sangat penting untuk dipenuhi oleh Negara. Peristiwa pelanggaran HAM yang dialami oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM tentunya telah merubah kondisi dan kehidupan sosial-ekonomi korban dan keluarga korban. Di sisi lain, laju Neoliberalisme juga menghantam keluarga korban yang sudah dimiskinkan karena peristiwa pelanggaran HAM yang menimpa diri atau keluarganya. Kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan negara yang membutakan diri terhadap hak reparasi atau pemulihan korban. Prosedur hukum dan perundang-undangan yang bermuara pada keengganan negara memenuhi tanggungjawab terhadap korban adalah bukti nyata sikap anti keadilan dan anti korban dari pemerintahan SBY-Budiono.
Menyimak dan mendalami keseluruhan paparan tersebut diatas, forum Konferensi Daerah IKOHI Sumatera Utara menghasilkan resolusi-resolusi yang merupakan kesatuan sikap dan kebulatan tekad bersama keluarga korban pelanggaran HAM dan pegiat HAM di Sumatera Utara. Resolusi-resolusi tersebut adalah:
a. Menuntut Pemerintahan SBY – Budiono untuk segera mengambil tindakan konkrit dalam memerangi impunitas dan menegakan keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Bentuk tindakan konkrit tersebut adalah:
1. Menindaklanjuti dengan segera rekomendasi hasil rapat Paripurna DPR-RI tanggal 28 Oktober 2009 dengan menekankan pada pencarian dan pengembalian 13 orang aktivis yang masih hilang.
2. Memerintahkan seluruh jajarannya, terutama Jaksa Agung, untuk segera menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia termasuk menindak lanjuti penuntasan kasus tragedi '65 di Sumatera Utara.
3. Penyelesaian kasus-kasus konflik-konflik tanah di Sumatera Utara.
4. Melakukan upaya-upaya yang dibutuhkan untuk segera menyelenggarakan pengungkapan kebenaran atas peristiwa pelanggaran HAM.
b. Menuntut Pemerintahan SBY-Budiono untuk segera memenuhi hak pemulihan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, tanpa menghilangkan atau melupakan proses pemenuhan hak keadilan dan pengungkapan kebenaran. Termasuk didalamnya pemenuhan hak reparasi bagi korban tragedi kemanusiaan '65 di Sumatera Utara.
c. Segera melakukan upaya perbaikan hukum dan insitusi penegak hukum sebagai bukti komitmen pemerintah dalam perlindungan HAM dengan melaksanakan amandemen UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, menyusun UU Komisi Kebenaran yang berpihak pada korban. Disamping itu pemerintah harus segera melakukan ratifikasi Statuta Roma (ICC) dan Konvensi Perlindungan Setiap Orang terhadap Praktek Penghilangan Paksa.
d. Melakukan perbaikan terhadap seluruh perangkat hukum yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM seperti hak atas reparasi, hak atas rehabilitasi dan hak atas kompensasi.
Demikian resolusi ini kami buat sebagai komitmen dan ajakan untuk bergandeng tangan dalam mewujudkan keadilan dan demokrasi sejati bagi seluruh rakyat Indonesia.
Medan, 05 Mei 2010
Perkumpulan IKOHI Sumatera Utara
Ketua Sekretaris
(Suwardi) (Astaman Hasibuan)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home