Konferensi Daerah IKOHI Jawa Timur
Trawas, Mojokerto, 24-25 April 2010
“Tak pernah kubayangkan dalam hidupku pasca BURU,
Aku akan berjuang bersama cucu kawanku.”
(Gregorius Harsoyo, seniman)
Bertempat di kawasan Puncak Trawas Kabupaten Mojokerto, 32 orang korban dan keluarga korban pelanggaran HAM dari wilayah propinsi Jawa Timur mengadakan konferensi untuk pertama kalinya. Mereka datang dari berbagai kota di Jawa Timur, yang berasal dari Banyuwangi, Jombang, Malang, Tulungagung, Surabaya, Gresik, Sidoarjo dan Pasuruan. Dari sekian banyak orang tersebut merupakan korban pelanggaran HAM, baik sipil dan politik maupun dari unsur korban ekonomi, sosial dan budaya.
Keluarga korban pelanggaran HAM tersebut berasal dari kasus penculikan(penghilangan paksa) 1997/1998, kasus 1965, kasus Alastlogo, kasus Banyuwangi serta kasus Lumpur Lapindo. Mereka datang dan bergabung ke dalam organisasi Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dengan tujuan yang sama, memperjuangkan pengungkapan kebenaran kasusnya serta mendapatkan keadilan yang merupakan bagian dari hak mereka sebagai manusia dan warga negara Indonesia.
Konferensi yang diselenggaran dua hari, 24-25 april 2010, tersebut memiliki dua agenda pokok, yaitu pertama, membentuk dan mendeklarasikan IKOHI Jawa Timur sebagai anggota Federasi IKOHI dan kedua, menyusun kepengurusan dan presidium untuk masa bhakti 2010-2013.
Sebelum konferensi, acara diawali pelatihan dokumentasi kasus dengan menggunakan metode Oral History (Sejarah Lisan) yang difasilitasi Rinto Trihasworo dari Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) Jakarta. Pelatihan ini mendapatkan antusiasme yang sangat bagus dari para korban dan keluarga korban. Tak ayal, pelatihan ini pula dipergunakan sungguh-sungguh oleh dua orang korban peristiwa 1965, Pak Gregorius Suharsoyo dan Pak Karmin. Yang pertama merupakan aktivis LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang “dibuang” di Pulau Buru lebih dari satu dasawarsa. Sedangkan yang kedua merupakan mantan Polisi yang dituduh bersimpati terhadap PKI. Keduanya merupakan tokoh tua yang masih aktif berorganisasi dan berjuang untuk menceritakan kejadian sesungguhnya apa yang terjadi di sekitar tahun 1965 dan sesudahnya.
Mereka dengan antusias menceritakan persitiwa yang mereka alami berikut keadaan yang mereka alami dari pembantaian tahun 1965-1966 tersebut. Namun demikian, mereka juga begitu gembira melihat betapa banyak anak muda yang bersimpati pada korban 1965 dan usaha-usaha yang dilakukan para pemuda saat ini untuk mendapatkan kelurusan sejarah peristiwa kelam tersebut. Pak Greg mengungkapkan bahwa ia dan anggota LEKRA di Jawa Timur tak pernah sekalipun membakar buku-buka sastra yang sering diberitakan selama ini. Ia dan teman-temannya hanyalah sekumpulan seniman yang ingin berkarya dengan berdasarkan pada kenyataan riil yang dialami masyarakat di sekitarnya. Para seniman tersebut hanya ingin menceritakan melalui karya-karyanya akan ketidiakadilan hidup yang diderita sebagian besar masyarakat dari kaum tani, buruh, nelayan dan masyarakat miskin lainnya.
Lain lagi cerita Pak Karmin, ia sesungguhnya hanya ingin menjadi polisi yang bersikap adil terhadap semua golongan masyarakat. Ia menceritakan ketika tahun 1964 terdapat sengketa tanah antara KODIM Surabaya dengan warga desa di daerah pinggiran Surabaya. Ketika pada akhirnya Bung Karno dan Menteri Panglima Angkatan Darat waktu itu, Ahmad Yani, memerintahkan kepada KODIM setempat untuk membayar ganti rugi kepada petani, justru Pak Karmin yang disalahkan para tentara di sana. Alasannya karena ia menentang teror dan ancaman terhadap petani yang dilakukan tentara tersebut. Ia dituduh para tentara telah bersekongkol dengan para petani (anggota BTI) yang menuntut tanahnya kembali. Demikian juga ketika ia memberikan peringatan keras kepada siapapun tidak mengganggu jalannya Long March anggota PKI dari Bali menuju Jakarta dalam rangka peringatan Hari Buruh dan Ulang Tahun PKI pada bulan Mei 1965. Padahal instruksi untuk mengamankan longmarch tersebut langsung dari Kapolri. Demikianlah pada akhirnya ketika peristiwa 1965 meletus ia termasuk yang ditangkap dan dipenjara tanpa proses pengadilan. Di sisa hidupnya, kedua orang tua tersebut tak surut untuk terus berjuang bersama siapa pun yang menghendaki kebenaran sejarah.
Setelah pelatihan selesai, pertemuan dilanjutkan ke pokok agenda yaitu konferensi. Secara resmi konferensi dibuka oleh Pak Utomo selaku presidium IKOHI Jatim sebelumnya. Selanjutnya verifikasi keanggotaan dan pernyataan secara resmi para para peserta konferensi untuk bergabung ke dalam IKOHI Jawa Timur. Setelah semua menyatakan keanggotaannya, sesi berikutnya adalah laporan pertanggungjawaban pengurus IKOHI Jatim yang telah mengemban amanat selama 8 (delapan tahun) sejak 2002-2010. Dandik Katjasungkana yang menjadi ketua pada periode panjang tersebut melaporkan aktivitas, kemajuan dan hambatan yang dialami IKOHI Jatim.
Hari kedua, agenda kenferensi membahas Anggaran Dasar IKOHI Jawa Timur dan Program Strategisnya. Peserta dibagi ke dalam dua komisi, yaitu komisi Organisasi yang membahas Anggaran Dasar dan komisi Program yang membahas program strategis. Kemudian hasil pembahasan kedua komisi tersebut dipleno-kan yang berikutnya disahkan sebagai konstitusi organisasi dan program yang harus dijalankan oleh kepengurusan yang terbentuk nantinya.
Sesi terakhir adalah pemilihan ketua dan anggota presidium IKOHI Jawa Timur. Ditengah suasana mendung namun hangat di forum, terpilih kembali Dandik Katjasungkana sebagai ketua IKOHI Jatim periode 2010-2013. Sedangkan anggota presidium terpilih lima orang, yakni Pak Utomo (Malang), Greg Suharsoyo (Surabaya), Heru (Surabaya), Yoyok (Banyuwangi), dan Sanewi (Pasuruan). Pak Utomo juga sekaligus ditetapkan sebagai Dewan Presidium Federasi IKOHI dari Jawa Timur.
“Tak pernah kubayangkan dalam hidupku pasca BURU,
Aku akan berjuang bersama cucu kawanku.”
(Gregorius Harsoyo, seniman)
Bertempat di kawasan Puncak Trawas Kabupaten Mojokerto, 32 orang korban dan keluarga korban pelanggaran HAM dari wilayah propinsi Jawa Timur mengadakan konferensi untuk pertama kalinya. Mereka datang dari berbagai kota di Jawa Timur, yang berasal dari Banyuwangi, Jombang, Malang, Tulungagung, Surabaya, Gresik, Sidoarjo dan Pasuruan. Dari sekian banyak orang tersebut merupakan korban pelanggaran HAM, baik sipil dan politik maupun dari unsur korban ekonomi, sosial dan budaya.
Keluarga korban pelanggaran HAM tersebut berasal dari kasus penculikan(penghilangan paksa) 1997/1998, kasus 1965, kasus Alastlogo, kasus Banyuwangi serta kasus Lumpur Lapindo. Mereka datang dan bergabung ke dalam organisasi Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dengan tujuan yang sama, memperjuangkan pengungkapan kebenaran kasusnya serta mendapatkan keadilan yang merupakan bagian dari hak mereka sebagai manusia dan warga negara Indonesia.
Konferensi yang diselenggaran dua hari, 24-25 april 2010, tersebut memiliki dua agenda pokok, yaitu pertama, membentuk dan mendeklarasikan IKOHI Jawa Timur sebagai anggota Federasi IKOHI dan kedua, menyusun kepengurusan dan presidium untuk masa bhakti 2010-2013.
Sebelum konferensi, acara diawali pelatihan dokumentasi kasus dengan menggunakan metode Oral History (Sejarah Lisan) yang difasilitasi Rinto Trihasworo dari Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) Jakarta. Pelatihan ini mendapatkan antusiasme yang sangat bagus dari para korban dan keluarga korban. Tak ayal, pelatihan ini pula dipergunakan sungguh-sungguh oleh dua orang korban peristiwa 1965, Pak Gregorius Suharsoyo dan Pak Karmin. Yang pertama merupakan aktivis LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang “dibuang” di Pulau Buru lebih dari satu dasawarsa. Sedangkan yang kedua merupakan mantan Polisi yang dituduh bersimpati terhadap PKI. Keduanya merupakan tokoh tua yang masih aktif berorganisasi dan berjuang untuk menceritakan kejadian sesungguhnya apa yang terjadi di sekitar tahun 1965 dan sesudahnya.
Mereka dengan antusias menceritakan persitiwa yang mereka alami berikut keadaan yang mereka alami dari pembantaian tahun 1965-1966 tersebut. Namun demikian, mereka juga begitu gembira melihat betapa banyak anak muda yang bersimpati pada korban 1965 dan usaha-usaha yang dilakukan para pemuda saat ini untuk mendapatkan kelurusan sejarah peristiwa kelam tersebut. Pak Greg mengungkapkan bahwa ia dan anggota LEKRA di Jawa Timur tak pernah sekalipun membakar buku-buka sastra yang sering diberitakan selama ini. Ia dan teman-temannya hanyalah sekumpulan seniman yang ingin berkarya dengan berdasarkan pada kenyataan riil yang dialami masyarakat di sekitarnya. Para seniman tersebut hanya ingin menceritakan melalui karya-karyanya akan ketidiakadilan hidup yang diderita sebagian besar masyarakat dari kaum tani, buruh, nelayan dan masyarakat miskin lainnya.
Lain lagi cerita Pak Karmin, ia sesungguhnya hanya ingin menjadi polisi yang bersikap adil terhadap semua golongan masyarakat. Ia menceritakan ketika tahun 1964 terdapat sengketa tanah antara KODIM Surabaya dengan warga desa di daerah pinggiran Surabaya. Ketika pada akhirnya Bung Karno dan Menteri Panglima Angkatan Darat waktu itu, Ahmad Yani, memerintahkan kepada KODIM setempat untuk membayar ganti rugi kepada petani, justru Pak Karmin yang disalahkan para tentara di sana. Alasannya karena ia menentang teror dan ancaman terhadap petani yang dilakukan tentara tersebut. Ia dituduh para tentara telah bersekongkol dengan para petani (anggota BTI) yang menuntut tanahnya kembali. Demikian juga ketika ia memberikan peringatan keras kepada siapapun tidak mengganggu jalannya Long March anggota PKI dari Bali menuju Jakarta dalam rangka peringatan Hari Buruh dan Ulang Tahun PKI pada bulan Mei 1965. Padahal instruksi untuk mengamankan longmarch tersebut langsung dari Kapolri. Demikianlah pada akhirnya ketika peristiwa 1965 meletus ia termasuk yang ditangkap dan dipenjara tanpa proses pengadilan. Di sisa hidupnya, kedua orang tua tersebut tak surut untuk terus berjuang bersama siapa pun yang menghendaki kebenaran sejarah.
Setelah pelatihan selesai, pertemuan dilanjutkan ke pokok agenda yaitu konferensi. Secara resmi konferensi dibuka oleh Pak Utomo selaku presidium IKOHI Jatim sebelumnya. Selanjutnya verifikasi keanggotaan dan pernyataan secara resmi para para peserta konferensi untuk bergabung ke dalam IKOHI Jawa Timur. Setelah semua menyatakan keanggotaannya, sesi berikutnya adalah laporan pertanggungjawaban pengurus IKOHI Jatim yang telah mengemban amanat selama 8 (delapan tahun) sejak 2002-2010. Dandik Katjasungkana yang menjadi ketua pada periode panjang tersebut melaporkan aktivitas, kemajuan dan hambatan yang dialami IKOHI Jatim.
Hari kedua, agenda kenferensi membahas Anggaran Dasar IKOHI Jawa Timur dan Program Strategisnya. Peserta dibagi ke dalam dua komisi, yaitu komisi Organisasi yang membahas Anggaran Dasar dan komisi Program yang membahas program strategis. Kemudian hasil pembahasan kedua komisi tersebut dipleno-kan yang berikutnya disahkan sebagai konstitusi organisasi dan program yang harus dijalankan oleh kepengurusan yang terbentuk nantinya.
Sesi terakhir adalah pemilihan ketua dan anggota presidium IKOHI Jawa Timur. Ditengah suasana mendung namun hangat di forum, terpilih kembali Dandik Katjasungkana sebagai ketua IKOHI Jatim periode 2010-2013. Sedangkan anggota presidium terpilih lima orang, yakni Pak Utomo (Malang), Greg Suharsoyo (Surabaya), Heru (Surabaya), Yoyok (Banyuwangi), dan Sanewi (Pasuruan). Pak Utomo juga sekaligus ditetapkan sebagai Dewan Presidium Federasi IKOHI dari Jawa Timur.