Haluan bernama Hukum Progresif
Primaironline.com - Dalam bentang akhir dan awal tahun lalu, setidaknya tercatat dua tokoh yang berperan besar dalam penegakan hukum dan keadilan, telah berpulang meninggalkan kita. Yang pertama adalah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan yang kedua adalah Prof. Satjipto Rahardjo, yang sering dipanggil Prof Tjip.
Semasa hidupnya, Gus Dur selalu istiqomah (konsisten) dalam membela kaum lemah dan minoritas serta memperjuangkan keadilan sosial (Andree Feillard; 1999). Demikian juga Prof Tjip, yang dengan latar akademis dan kepakarannya terus berjuang menegakkan hukum yang tujuan utamanya adalah keadilan.
Prof Tjip menyebutnya sebagai hukum progresif. Menurutnya, hukum tidak boleh menjadi tawanan sistem dan undang-undang. Keadilan dan kebahagiaan rakyat ada di atas hukum.
Walaupun tidak mengenal mereka secara langsung, saya bermaksud memberikan penghargaan dan penghormatan atas kontribusi tindakan dan pemikiran almarhum berdua bagi penegakan keadilan dan hak asasi manusia.
Untuk itu saya mencoba memahami dan berusaha untuk turut memperjuangkan pemikiran dan teladan mereka dalam menempatkan dan melaksanakan hukum yang pada akhirnya bermanfaat bagi terwujudnya keadilan.
Secara sederhana saya menyebutnya sebagai hukum untuk keadilan, sebagai antitesa atas pandangan hukum normatif yang konvensional yang menempatkan hukum untuk hukum.
Kabar baiknya, pandangan hukum progresif itu juga telah diintrodusir dan dilaksanakan oleh Prof. Mahfud MD dan lembaga yang dipimpinnya, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam beberapa kesempatan, Prof. Mahfud MD mengatakan bahwa MK tidak menegakkan hukum, tetapi menegakkan keadilan yang merupakan perpaduan antara akal sehat (common sense) dengan UU. Hanya dengan pandangan seperti itulah penegakan hukum akan memberikan keadilan pada masyarakat (keadilan substantif). Dan karenanya, hukum bisa dilanggar bila menutup jalan bagi tegaknya keadilan.
Hukum legal-formal
Saya menganggap bahwa bila pandangan hukum progresif dilaksanakan oleh lembaga penegak hukum, baik itu polisi, hakim maupun jaksa, karut marut dunia penegakan hukum di Indonesia akan bisa diatasi. Pemberantasan korupsi dan penegakan HAM yang kini sedang dijalankan oleh Pemerintah SBY akan sulit berhasil bila ditangani dengan pendekatan penegakan hukum yang formalis dan legalistis.
Dalam perseteruan antara KPK dan Kepolisian beberapa waktu yang lalu, yang berujung pada penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, kelihatan sekali bagaimana pasal-pasal diotak-atik oleh penyidik supaya Bibit dan Chandra bisa ditahan.
Tapi sebaliknya untuk kasus Anggodo Widjojo yang diduga menyuap pimpinan KPK, perundang-undangan ditelan mentah-mentah oleh penyidik kepolisian, sehingga mereka menyimpulkan tidak ada bukti yang kuat untuk menahan Anggodo.
Cara kerja pihak kepolisian yang sangat legal-formal dan konvensional ini terbukti gagal melahirkan keadilan publik dan menyelesaikan masalah.
Demikian juga di bidang hak asasi manusia (HAM). Pandangan hukum legal-formal dan konvensional terbukti gagal digunakan untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran berat HAM di Indonesia. Penerapan hukum yang hanya didasarkan pada apa yang tertulis dalam undang-undang menjadikan Indonesia tidak bisa melangkah maju, karena pelanggaran berat HAM di masa lalu tak memungkinkan untuk disentuh.
Kalau kita tengok ke belakang, tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu penyebab utama dibebaskannya semua terdakwa pada Pengadilan HAM untuk kasus Timor Timur, Tanjung Priok dan Abepura adalah karena para hakim menerapkan pasal-pasal UU Pengadilan HAM secara kaku. Padahal, undang-undang tersebut memiliki banyak sekali kelemahan mendasar.
Hal yang sama dilakukan oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji dan jajarannya yang sampai hari ini tidak mau melakukan penyidikan berkas-berkas penyelidikan untuk sedikitnya tujuh kasus dugaan pelanggaran berat HAM yang telah dilakukan oleh Komnas HAM.
Dalam banyak sekali kesempatan audiensi dengan komunitas korban, Kejaksaan Agung selalu mengatakan bahwa mereka belum bisa melakukan tindak lanjut (penyidikan) atas tujuh berkas kasus tersebut, karena belum ada Pengadilan HAM ad hoc dan alasan-alasan teknis prosedural lain yang menurut kami dibuat-buat (artifisial).
Bahkan, untuk kasus Penghilangan Paksa Aktivis tahun 1997-1998 yang sudah direkomendasikan oleh DPR agar Presiden mendirikan Pengadilan HAM ad hoc, Jaksa Agung masih mengeluarkan alasan baru: menunggu sikap Presiden.
Dari contoh-contoh di atas kelihatan sekali betapa para penegak hukum memandang hukum sebagai kitab suci yang kaku yang terlepas dari kondisi sosial dan politik. Padahal hukum dan undang-undang dibuat melalui sebuah proses politik pada konteks tertentu, yang sangat mungkin pada konteks dan jaman tertentu tidak sesuai lagi.
Pendekatan seperti inilah yang menyebabkan mandeknya berbagai proses hukum untuk kasus pelanggaran berat HAM, sehingga proses hukum berseberangan dengan akal sehat (common sense).
Walaupun sangat mungkin, para jaksa dan hakim mengambil sikap ini karena mereka memang tidak hendak mewujudkan keadilan, sebagaimana otoritas politik yang membawahi mereka memberikan arahan.
Hal ini sangat berseberangan dengan hukum progresif yang dikembangkan oleh Prof Tjip dan dilaksanakan oleh Mahfud MD, dimana hukum harus diperuntukkan untuk tujuan keadilan. Dan kalau hukum tidak memungkinkan terwujudnya keadilan, maka hukum bisa dilanggar.
Tantangan baru
Usaha menegakkan hukum dan keadilan di awal tahun 2010 ini nampaknya masih menghadapi tantangan sangat berat. Setelah dicederai oleh kasus perseteruan cicak dan buaya serta megaskandal Bank Century yang juga belum selesai, wajah hukum dan keadilan kini sedang ditampar lagi apa yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Pondok Bambu. Di LP ini narapidana kasus penyuapan dan narkotika seperti Artalyta Suryani (Ayin) dan Limarita (Aling) menikmati privilege, berupa berbagai fasilitas kenyamanan mewah seperti ruang karaoke, springbed, perlengkapan kecantikan pribadi, TV layar datar dan sebagainya.
Fakta yang ditemukan saat Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum bentukan Presiden SBY melakukan inspeksi mendadak itu menjadi bukti nyata betapa hukum bisa dibeli dan adanya diskriminasi terhadap para narapidana. Padahal, semua orang harus mendapatkan hak dan perlakuan yang sama di depan hukum.
Dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, juga secara tegas disebutkan bahwa sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas (b) persamaan perlakuan dan pelayanan.
Dalam situasi inilah, yang bisa dimulai pada hari ke-100 masa pemerintahannya yang kedua, Pemerintahan SBY dituntut untuk menunjukkan bahwa Pemerintahan SBY jilid dua ini merupakan pemerintahan koreksi atas pemerintahan sebelumnya. Tiga pilar program yang dideklarasikan pada pidato pelantikannya di Gedung DPR/MPR RI yang meliputi peningkatan kesejahteraan rakyat (prosperity), penguatan demokrasi (democracy), dan penegakan keadilan (justice) ini tidak mungkin tercapai bila ia masih dan hanya berkutat pada politik pencitraan.
Sudah waktunya Pemerintah SBY melakukan pergantian (shift) ke politik substantif, ketika prosperity, democracy dan justice tidak hanya diksi-diksi tak bermakna. Mereka harus diejawantahkan menjadi kenyataan yang bisa dilihat, dirasakan dan dinikmati seluruh rakyat Indonesia.
Demikian juga dalam hal penegakan keadilan. Sudah datang waktunya bagi mereka yang selama ini terpuruk oleh diskriminasi, stigmatisasi, marjinalisasi dan pemiskinan akibat peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu untuk turut bisa menikmati buah pembangunan di republik tercinta ini.
Mugiyanto, Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)
Sumber: http://www.primaironline.com/interaktif/detail.php?catid=Opini&artid=haluan-bernama-hukum-progresif