RESOLUSI
KONGRES KELUARGA KORBAN PENGHILANGAN PAKSA SE-ACEH (KAGUNDAH)Masa konflik bersenjata yang berkepanjangan di Aceh semenjak tahun 1976-2005 telah menimbulkan berbagai macam pelanggaran HAM terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Sudah ribuan orang telah menjadi korban akibat dari penerapan Daerah Operasi Militer (DOM), Darurat Militer (DM), Darurat Sipil I (DS I) dan Darurat Sipil II (DS II) di Aceh. Pengalaman-pengalaman pelanggaran HAM, termasuk salah satunya adalah kasus penghilangan orang secara paksa, telah menjadi pengalaman hidup yang tidak akan pernah dilupakan bagi seluruh keluarga korban penghilangan paksa di Aceh.
Kasus penghilangan orang secara paksa dimanapun, termasuk di Aceh, tentunya merupakan sebuah pelanggaran HAM yang sangat keji. Dalam kasus penghilangan orang secara paksa, bukan hanya korban secara langsung yang akan mengalami penderitaan, namun keluarga korban penghilangan paksa pun tentunya akan menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Hal ini dikarenakan kasus penghilangan orang secara paksa dikategorikan sebagai kejahatan yang masih berlangsung selama korban masih hilang dan belum ditemukan. Artinya kasus penghilangan orang secara paksa menjadi unik dan berbeda dari kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya, serta mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan bagi keluarga korban penghilangan orang secara paksa.
Pasca penandatanganan MoU Helsinki untuk mewujudukan perdamaian di Aceh pada tanggal 15 Agustus 2005, kondisi keamanan di Aceh perlahan pulih dan membaik. Namun kondisi tersebut belum diikuti oleh sikap pemerintah untuk memperhatikan dan memperjelas nasib para korban dan keluarga korban penghilangan paksa dengan segera memberikan keadilan bagi mereka, baik melalui pengungkapan kebenaran, pencarian terhadap korban orang hilang, pengadilan dan rehabilitasi.
MoU Helsinki jelas-jelas telah memandatkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Pengadilan HAM untuk Aceh, dimana ini merupakan suatu peluang besar bagi para korban untuk mendapatkan keadilan dengan cara yang bermartabat,. Kedua jalan tersebut akan memperjelas dan akan menjamin ketidakterulangnya kembali kasus-kasus penghilangan orang secara paksa di Aceh. MoU juga memandatkan reintegrasi terhadap para korban konflik dan akan memberikan kompensasi bagi korban yang dapat membuktikan kerugiannya. Namun, reintegrasi bukanlah sekedar jumlah nominal yang harus diterima korban, tetapi harus lebih menyeluruh mencakup penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM secara berkeadilan. Keterlibatan korban pelanggaran HAM bukan hanya ketika Pengadilan HAM memanggil para korban menjadi saksi atau ketika para komisioner KKR mewawancarai para korban dalam rangka mengungkap kebenaran, tetapi korban juga akan terlibat pada saat pemberian Amnesti bagi pelaku jika korban memberikan maaf.
Nasib korban dan keluarga korban penghilangan paksa adalah nasib Aceh ke depan. Tidak ada perdamaian tanpa keadilan bagi seluruh korban pelanggaran HAM, khususnya keluarga korban penghilangan paksa. Negara atau pemerintah harus bertanggungjawab atas segala dampak yang dialami korban dan keluarga korban penghilangan paksa selama konflik Aceh berlangsung. Ini harus ditunjukkan sebagai wujud pemerintah dalam mendukung keberlangsungan perdamaian yang berkeadilan di Aceh.
Pemerintahan baru di Indonesia tentunya menjadi sebuah harapan bagi korban dan keluarga korban penghilangan paksa di Aceh untuk segera menunaikan tanggung jawabnya dalam menuntaskan kasus penghilangan paksa di Aceh. Begitu juga dengan parlemen baru di Aceh, yang secara khusus seharusnya dapat lebih progresif dalam mendorong secara kongkret penuntasan kasus penghilangan orang secara paksa di Aceh.
Sebagai sikap keberpihakan pemerintah terhadap para korban dan keluarga korban penghilangan paksa di Aceh, maka kami meminta kesediaan pemerintah Aceh dan DPRA untuk turut menandatangani pernyataan sikap keluarga korban penghilangan paksa di Aceh.
1. Mendesak pemerintahan Aceh agar segera membentuk Pengadilan HAM dan KKR di Aceh sebagaimana yang telah diamanatkan dalam MoU Helsinki.
2. Menuntut pemerintah Aceh untuk segera memberikan hak-hak reparasi kepada keluarga korban penghilangan paksa di Aceh secara maksimal, bermartabat dan berkeadilan melalui lembaga reparasi yang dibentuk atas inisiasi pemerintah Aceh dengan membentuk Qanun tentang Reparasi (Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi).
3. Pemerintah Aceh harus melibatkan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, khususnya keluarga korban penghilangan paksa secara representatif dalam proses pengambilan kebijakan dan implementasi kebijakan yang menyangkut dengan penanganan terhadap korban konflik Aceh, khususnya korban dan keluarga korban penghilangan paksa.
4. Menuntut pemerintah Aceh untuk melakukan pertemuan secara rutin dengan keluarga korban penghilangan paksa di Aceh.
5. Mendesak pemerintah Aceh untuk menyediakan pendidikan gratis dengan memberikan beasiswa dan alat kelengkapan sekolah kepada anak korban penghilangan paksa mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
6. Meminta Pemerintah Aceh untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis secara permanen untuk keluarga korban penghilangan paksa dengan memberikan kartu khusus kepada seluruh keluarga korban penghilangan paksa.
7. Meminta DPRA harus lebih serius mengawasi dan mengevaluasi terhadap pemenuhan hak-hak reparasi.
8. Meminta Pemerintah Aceh untuk memasukkan pendidikan HAM ke dalam kurikulum sekolah.
9. Pemerintah Aceh harus mendesak pemerintah Indonesia agar menangkap dan mengajukan para pelanggar HAM di Aceh untuk diadili di Pengadilan HAM.
10. Pemerintah Aceh harus membentuk tim pencari korban yang hilang sampai saat ini.
Banda Aceh, 12 Oktober 2009
Sekretaris Jenderal KAGUNDAHRukaiyah
Dewan Presidium KAGUNDAH Aceh Besar Pidie/Pidie Jaya Bireun
Tarmizi, SE Harsya Alfian Tgk. Husaini
Aceh Utara Aceh Timur Bener Meriah
Zakaria Tgk. H. Azharuddin BTM Muhammad Nasir Abdullah
Aceh Barat/Aceh Jaya Aceh Tengah Nagan Raya Aceh Selatan
Zulfikri Asnawati Syarifah Nazhayamur Mahlil
Lembaga yang mendukung Resolusi Kongres I KAGUNDAHKontraS Aceh IKOHI IKOHI Jabodetabek
Hendra Fadli Mugiyanto Wanma Yetty
IKOHI Jawa Timur Mahasiswa Peduli Keadilan (MPK)
D. Utomo Raharjo M. Fauzan Febriansyah