Ultah ke-10: IKOHI Mensyukuri Kemenangan
Refleksi Ketua IKOHI
Memperingati Satu Dasawarsa IKOHI
17 September 1998 – 17 September 2008
Memperingati Satu Dasawarsa IKOHI
17 September 1998 – 17 September 2008
Mensyukuri Kemenangan
(Modal Memperjuangkan Kebenaran dan Keadilan bagi Korban)
17 September 2008 adalah peringatan hari jadi IKOHI yang ke-10. Persis 10 tahun yang lalu, keluarga korban aktifis pro-demokrasi yang diculik oleh satuan Kopassus mendirikan tenda keprihatinan di halaman YLBHI, Jakarta. Mereka prihatin, karena pemerintah Habibie tidak segera mencari korban penculikan yang masih hilang dan menindak para pelaku. Padahal keterlibatan militer, khususnya Kopassus pada waktu itu sudah terlihat gamblang.
Untuk mengejawantahkan keprihatinan menjadi tindak perjuangan, dan dengan dorongan dari Munir, para keluarga korban yang dimotori oleh Misiati dan Raharjo Utomo (orangtua Petrus Bima Anugerah), Said Alkatiri (ayah Noval Alkatiri), Hj. Marufah (ibunda Faisol Riza), Eva Arnaz (istri Dedy Hamdun), Yuniarsih (ibunda Herman Hendrawan), serta Paian Siahaan (ayah Ucok Siahaan) mendirikan sebuah paguyuban keluarga korban penghilangan paksa yang mereka beri nama Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia atau IKOHI. Adnan Buyung Nasution, Ali Sadikin, Adi Andoyo, HJC Princen dan Amin Rais, adalah beberapa saksi hidup pendirian IKOHI pada waktu itu.
Kini usia IKOHI sudah beranjak satu dekade. Pada ulang tahun IKOHI yang ke-10 ini, kami mengambil tema “Mensyukuri Kemenangan”, sebuah tema yang mungkin kontroversial, menimbulkan beribu gugat tanya atau malah mencengangkan mengingat masih jauhnya keadilan, kebenaran dan perdamaian dari hati para korban pelanggaran HAM. Namun IKOHI memiliki cara tersendiri untuk memaknainya.
Ditengah politik dan budaya impunitas yang mengental, perjuangan menuntut kita untuk cermat dan tidak hanya melihat hal-hal negatif, halangan, rintangan, hambatan dan kegagalan. Kita juga dituntut untuk melihat, menghargai dan mensyukuri beberapa kemenangan yang sering tidak kita sadari. Menghargai dan mensyukuri kemenangan akan menebalkan optimisme dan harapan bahwa yang kita perjuangkan tidaklah tanpa hasil atau gagal. Mengenali, merawat dan mensyukuri kemenangan yang ada akan menjadi energi dan tenaga perjuangan yang memang menuntut stamina prima.
IKOHI menganggap bahwa kemenangan tidak hanya selalu berarti diadilinya para pelaku, terungkapnya kebenaran dan dipenuhinya hak-hak para korban dan keluarganya. Kemenangan bagi kami bisa berwujud hal-hal sepele yang sering kita abaikan, tapi ia bermakna jauh lebih agung dari sekedar digelarnya panggung dagelan pengadilan HAM, atau dibentuknya Komisi Kebenaran yang semangatnya adalah memaafkan dan melupakan.
Tanpa sadar, kita sebenarnya telah memenangi perjuangan pertama yang sangat menentukan. Kemenangan itu adalah ketika kita, para korban dan keluarga korban mempertanyakan keadilan lalu mengorganisasikan diri. Kita musti sadar, ketika Yani Afri, Suyat, Wiji Thukul, Herman Hendrawan dan Bima dihilangkan, para penculik bermaksud menghilangkan juga semangat dan perjuangan para aktifis pro-demokrasi ini. Ketika Munir dibunuh, para pembunuh juga ingin Munir mati bersama kegiatan, semangat dan perjuangannya untuk demokrasi dan hak asasi manusia. Tapi, apakah kegiatan mereka berhenti, semangat mereka pudar dan perjuangannya luntur. Jawabannya adalah tidak! Tidak hanya keluarga yang ditinggalkan yang terus berjuang, bahkan kini kelompok masyarakat yang lain pun akhirnya menjadi pewaris nilai dan pelanjut perjuangan mereka. Sehingga menjamurlah organisasi-organisasi korban pelanggaran HAM di berbagai daerah. Ini adalah kemenangan terbesar kita, kemenangan untuk tetap hidup dan berlawan, dari usaha pembungkaman, ancaman bahkan pembunuhan dan penghilangan.
Walaupun tidak ada penghukuman, digelarnya pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Timor Timur dan Tanjung Priok juga adalah merupakan kemenangan bagi korban, masyarakat dan bagi hak asasi manusia itu sendiri. Pengadilan itu menjadi anti klimaks dari kebrutalan sebuah rejim, yang dengan alat kekerasannya yaitu polisi dan tentara pernah secara barbar menginjak-injak kemanusiaan. Walau tidak berhasil menghukum pelaku, Pengadilan HAM Ad Hoc itu pernah meminta pertanggungjawaban pihak dan orang-orang yang pada masa Orde Baru sangat berkuasa dan karenanya menakutkan. Walaupun gagal, Pengadilan HAM Ad Hoc telah berhasil memberi pelajaran penting bagi aparat represif negara untuk tidak semena-mena diwaktu mendatang.
Demikian juga proses hukum dalam bentuk penyelidikan atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat seperti kasus Mei 1998, Trisakti - Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa 1997 – 1998, Lampung 1989, Wamena dan lain-lainnya. Walaupun semuanya berhenti di laci Jaksa Agung, mereka adalah hasil dari buah perjuangan korban dan keluarganya, serta kelompok masyarakat yang mengagungkan ditegakkannya hak-hak asasi manusia.
Masih banyak dan teramat banyak kemenangan-kemenangan para korban untuk diuraikan disini. Orang boleh bilang, bahwa itu hanyalah kemenangan-kemenangan kecil. Tapi kita musti tahu, kemenangan-kemenangan kecillah yang akan membuka jalan bagi kemenangan-kemenangan besar. Kemenangan besar hanya bisa diraih bila kemenangan-kemenangan kecil sudah didapat. Sedikit demi sedikit, lama lama menjadi bukit.
Memperjuangkan keadilan dan kebenaran dalam sebuah rejim yang tidak bersahabat dengan hak asasi manusia sungguh luar biasa berat. Ia seperti perjuangan untuk menumbangkan rejim itu sendiri. Dalam hal ini, sastrawan asal Ceko Milan Kundera secara persis mengatakan dalam bukunya “the Book of Laughter and Forgetting” bahwa “the struggle of man against power is like the struggle of memory against forgetting”.
10 tahun sejak IKOHI berdiri, bukanlah waktu yang singkat untuk berjuang. Terlebih lagi bagi para korban pelanggaran HAM yang peristiwanya terjadi jauh sebelum itu, seperti korban peristiwa pembantaian paska 30 September 1965, DOM di Aceh dan Papua, Tanjung Priok, Lampung, Petrus dan sebagainya. Mereka telah berjuang sejak peristiwa terjadi hingga ke seluruh sisa hidupnya.
Dari sini, saya mencoba melontarkan sebuah pertanyaan, yang menurut saya layak untuk kita renungkan jawabannya. Karena dari sana kita mungkin bisa memetik makna atau hikmah. Pertanyaannya adalah, apa yang membuat para korban sanggup bertahan untuk berjuang sedemikian lama? Energi apa yang mereka miliki untuk menjaga stamina perjuangan?
Dalam buku “Api Dilawan Air; Sosok dan Pemikiran Munir” yang diterbitkan LP3ES disebutkan bahwa Munir adalah orang yang sangat percaya pada sikap optimis. Optimisme dapat menggiring orang pada kehidupan yang lebih baik. Sikap optimis dapat membuat orang percaya pada pengharapan. Sikap itu juga dapat menuntun orang memahami kemanusiaan yang sesungguhnya.
Demikianlah, optimisme membuat orang hidup dan terus berusaha. Optimisme bisa muncul ketika kita memiliki harapan. Harapan bisa ada karena contoh-contoh dan pengalaman-pengalaman keberhasilan dan kemenangan. Disinilah pentingya kita menghargai keberhasilan dan kemenangan. Dan salah salah satu wujud penghargaan kita terhadap keberhasilan dan kemenangan adalah dengan mensyukurinya.
Ketika didirikan 10 tahun lalu, yang kemudian disempurnakan pada Kongres I tanggal 11 sampai 14 Oktober 2002, kami ingin menjadikan IKOHI sebagai wadah perjuangan korban. Kami berkeyakinan bahwa sudah waktunya korban harus mengubah diri menjadi penyintas, atau bahkan pejuang. Korban harus menjadi pelaku atau subjek dari perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, untuk selanjutnya bergandengan tangan dengan para aktifis HAM atau siapapun yang menginginkan ditegakkannya keadilan di negeri ini. Korban dan keluarga korban kami yakini sebagai entitas yang paling punya kepentingan dan sah untuk memperjuangkan keadilan bagi mereka sendiri atau keluarganya yang dijadikan korban oleh negara.
Sejak didirikan, IKOHI telah mengalami berbagai dinamika pasang surut dan metamorfosa. Dari paguyuban yang terdiri dari puluhan keluarga korban penculikan tahun 1997-1998, IKOHI kemudian menjadi organisasi korban penghilangan paksa di seluruh Indonesia. Bahkan sejak Kongres II di Makassar pada tanggal 6-8 Maret 2006 IKOHI disepakati untuk menjadi wadah organisasi korban dan keluarga korban berbagai tindak pelanggaran HAM di seluruh Indonesia, tidak hanya penghilangan paksa saja. Hal ini menunjukkan adanya semangat yang luar biasa bagi korban untuk bersatu, menghilangkan sekat-sekat peristiwa, kasus dan wilayah. Hal ini juga didasari pada pengalaman bahwa korban pelanggaran HAM apapun, dimanapun, didasari konteks politik seperti apapun dampaknya bagi korban adalah sama, yaitu penderitaan.
Satu dasawarsa sudah usia IKOHI hari ini. Dengan prioritas kerja pada pemberdayaan dan penguatan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM serta kampanye penyelesaian kasus oleh negara, IKOHI telah turut memberi warna pada keadaan hak asasi manusia pada hari ini. Memang masih jauh untuk bisa dikatakan baik, terutama bila diukur pada sejauh mana negara mengungkap kebenaran, meminta pertanggungjawaban pada para pelaku dan pemenuhan hak hak korban. Tetapi tidak bisa dikatakan pula bahwa perjuangan IKOHI gagal. Dengan segala keterbatasan kapasitas sumberdaya manusia, dukungan dana, masyarakat dan terutama politik HAM pemerintah yang masih melanggengkan impunitas, IKOHI masih bisa bersama dengan korban memperjuangkan digelarnya pengadilan HAM, didirikannya Komisi Kebenaran dan merespon isu-isu mutahir lainnya seperti pembunuhan pemimpin kami, Munir. Dengan dukungan berbagai pihak, IKOHI juga bisa menjalankan program layanan konsultasi psikologis, biaya bantuan sekolah bagi anak-anak korban, menggelar pendidikan HAM di beberapa daerah, pelatihan psikososial, merintis usaha ekonomi mandiri dan koperasi seperti yang kami lakukan di Jakarta.
Sebagai organisasi yang didirikan oleh keluarga korban penculikan aktifis tahun 1997-1998, IKOHI berhasil mengawal proses hingga Komnas HAM menyelesaikan penyelidikan ad hoc untuk kasus tersebut, yang sayangnya kini di peti-eskan oleh jaksa Agung.
Di kancah internasional IKOHI juga telah bisa turut berperan aktif di forum-forum sidang Komisi HAM dan Dewan HAM PBB, terutama setelah IKOHI menjadi anggota Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) pada tahun 2003. Semua aktifitas itu ditujukan untuk menarik dukungan komunitas internasional agar mendesak dan mendorong Indonesia taat pada prinsip-prinsip HAM universal dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi dan memperhatikan hak-hak korban. IKOHI juga secara rutin berkomunikasi dengan Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Paksa (UNWGEID) dengan melaporkan kasus-kasus penghilangan paksa secara individual. Bahkan khusus untuk isu penghilangan paksa, IKOHI berbahagia telah turut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan lobby di PBB hingga akhirnya Konvensi Internasional tentang Penghilangan Orang Secara Paksa disahkan oleh PBB pada bulan Desember 2006. Dan sebagai pengakuan atas sepak terjang IKOHI itu, ketua IKOHI, Mugiyanto akhirnya dipilih secara konsensus untuk menjadi Ketua AFAD dalam Kongres ke-3 di Katmandú, Nepal akhir tahun2006 yang lalu.
Keberhasilan IKOHI melewati satu dasawarsa atau satu dekade ini tak lain dan tak bukan adalah karena kerjasama dan dukungan segenap keluarga korban yang selama ini hidup dan berjuang bersama-sama IKOHI. Tanpa mereka dan dukungan mereka, IKOHI bukanlah apa-apa dan bukan siapa-siapa.
Organisasi-organisasi daerah yang merupakan jaringan IKOHI seperti SPKP-HAM Aceh, SKP-HAM Sulteng, Sulsel dan Sultra, IKOHI K2N, serta IKOHI Jateng dan Jatim adalah jaringan utama kami, tempat para korban membangun dan menjalin solidaritas. Demikian juga Kontras Jakarta, Aceh, Papua dan Medan, serta Elsam, ICTJ, Praxis, Yayasan Pulih, ICMC, VHR dan Imparsial adalah lembaga-lembaga yang sangat berperan membesarkan dan menguatkan kami.
Terima kasih juga kami sampaikan atas dukungan dan kerjasamanya; Demos, HRWG, YLBHI, PSHK, PEC, LBH Jakarta, Arus Pelangi, Ultimus, Media Bersama dan lain-lain yang tak mungkin disebutkan satu persatu, serta kawan-kawan yang bersama di jaringan gerakan HAM dan demokrasi; PRP, KORBAN, FPN dan gerakan sektoral lainnya. Kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas dukungannya selama ini. Terima kasih juga kami sampaikan kepada lembaga-lembaga yang telah memberikan dukungan finansial demi suksesnya program-program IKOHI seperti Yayasan Tifa, Kedutaan Besar Swiss, Hivos, IALDF, ICMC, AFAD, Tapol, EKD, the Bodyshop, Forum Asia, Kedutaan Besar Argentina, dll.
Menginjak usai ke-11, IKOHI akan menjadikan kegagalan sebagai pelajaran untuk memperbaiki dan melanjutkan apa yang telah kami raih. Menghargai dan mensyukuri kemenangan, walaupun yang terkecil sekalipun, akan kami jadikan sebagai modal untuk bersiap dalam perjuangan jangka panjang, terutama dengan memprioritaskan pada dipenuhinya hak-hak korban akan keadilan, kebenaran, perdamaian, jaminan ketidakberulangan serta pemulihan fisik dan mental.
Selamat Ulang Tahun IKOHI!
Untuk mengejawantahkan keprihatinan menjadi tindak perjuangan, dan dengan dorongan dari Munir, para keluarga korban yang dimotori oleh Misiati dan Raharjo Utomo (orangtua Petrus Bima Anugerah), Said Alkatiri (ayah Noval Alkatiri), Hj. Marufah (ibunda Faisol Riza), Eva Arnaz (istri Dedy Hamdun), Yuniarsih (ibunda Herman Hendrawan), serta Paian Siahaan (ayah Ucok Siahaan) mendirikan sebuah paguyuban keluarga korban penghilangan paksa yang mereka beri nama Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia atau IKOHI. Adnan Buyung Nasution, Ali Sadikin, Adi Andoyo, HJC Princen dan Amin Rais, adalah beberapa saksi hidup pendirian IKOHI pada waktu itu.
Kini usia IKOHI sudah beranjak satu dekade. Pada ulang tahun IKOHI yang ke-10 ini, kami mengambil tema “Mensyukuri Kemenangan”, sebuah tema yang mungkin kontroversial, menimbulkan beribu gugat tanya atau malah mencengangkan mengingat masih jauhnya keadilan, kebenaran dan perdamaian dari hati para korban pelanggaran HAM. Namun IKOHI memiliki cara tersendiri untuk memaknainya.
Ditengah politik dan budaya impunitas yang mengental, perjuangan menuntut kita untuk cermat dan tidak hanya melihat hal-hal negatif, halangan, rintangan, hambatan dan kegagalan. Kita juga dituntut untuk melihat, menghargai dan mensyukuri beberapa kemenangan yang sering tidak kita sadari. Menghargai dan mensyukuri kemenangan akan menebalkan optimisme dan harapan bahwa yang kita perjuangkan tidaklah tanpa hasil atau gagal. Mengenali, merawat dan mensyukuri kemenangan yang ada akan menjadi energi dan tenaga perjuangan yang memang menuntut stamina prima.
IKOHI menganggap bahwa kemenangan tidak hanya selalu berarti diadilinya para pelaku, terungkapnya kebenaran dan dipenuhinya hak-hak para korban dan keluarganya. Kemenangan bagi kami bisa berwujud hal-hal sepele yang sering kita abaikan, tapi ia bermakna jauh lebih agung dari sekedar digelarnya panggung dagelan pengadilan HAM, atau dibentuknya Komisi Kebenaran yang semangatnya adalah memaafkan dan melupakan.
Tanpa sadar, kita sebenarnya telah memenangi perjuangan pertama yang sangat menentukan. Kemenangan itu adalah ketika kita, para korban dan keluarga korban mempertanyakan keadilan lalu mengorganisasikan diri. Kita musti sadar, ketika Yani Afri, Suyat, Wiji Thukul, Herman Hendrawan dan Bima dihilangkan, para penculik bermaksud menghilangkan juga semangat dan perjuangan para aktifis pro-demokrasi ini. Ketika Munir dibunuh, para pembunuh juga ingin Munir mati bersama kegiatan, semangat dan perjuangannya untuk demokrasi dan hak asasi manusia. Tapi, apakah kegiatan mereka berhenti, semangat mereka pudar dan perjuangannya luntur. Jawabannya adalah tidak! Tidak hanya keluarga yang ditinggalkan yang terus berjuang, bahkan kini kelompok masyarakat yang lain pun akhirnya menjadi pewaris nilai dan pelanjut perjuangan mereka. Sehingga menjamurlah organisasi-organisasi korban pelanggaran HAM di berbagai daerah. Ini adalah kemenangan terbesar kita, kemenangan untuk tetap hidup dan berlawan, dari usaha pembungkaman, ancaman bahkan pembunuhan dan penghilangan.
Walaupun tidak ada penghukuman, digelarnya pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Timor Timur dan Tanjung Priok juga adalah merupakan kemenangan bagi korban, masyarakat dan bagi hak asasi manusia itu sendiri. Pengadilan itu menjadi anti klimaks dari kebrutalan sebuah rejim, yang dengan alat kekerasannya yaitu polisi dan tentara pernah secara barbar menginjak-injak kemanusiaan. Walau tidak berhasil menghukum pelaku, Pengadilan HAM Ad Hoc itu pernah meminta pertanggungjawaban pihak dan orang-orang yang pada masa Orde Baru sangat berkuasa dan karenanya menakutkan. Walaupun gagal, Pengadilan HAM Ad Hoc telah berhasil memberi pelajaran penting bagi aparat represif negara untuk tidak semena-mena diwaktu mendatang.
Demikian juga proses hukum dalam bentuk penyelidikan atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat seperti kasus Mei 1998, Trisakti - Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa 1997 – 1998, Lampung 1989, Wamena dan lain-lainnya. Walaupun semuanya berhenti di laci Jaksa Agung, mereka adalah hasil dari buah perjuangan korban dan keluarganya, serta kelompok masyarakat yang mengagungkan ditegakkannya hak-hak asasi manusia.
Masih banyak dan teramat banyak kemenangan-kemenangan para korban untuk diuraikan disini. Orang boleh bilang, bahwa itu hanyalah kemenangan-kemenangan kecil. Tapi kita musti tahu, kemenangan-kemenangan kecillah yang akan membuka jalan bagi kemenangan-kemenangan besar. Kemenangan besar hanya bisa diraih bila kemenangan-kemenangan kecil sudah didapat. Sedikit demi sedikit, lama lama menjadi bukit.
Memperjuangkan keadilan dan kebenaran dalam sebuah rejim yang tidak bersahabat dengan hak asasi manusia sungguh luar biasa berat. Ia seperti perjuangan untuk menumbangkan rejim itu sendiri. Dalam hal ini, sastrawan asal Ceko Milan Kundera secara persis mengatakan dalam bukunya “the Book of Laughter and Forgetting” bahwa “the struggle of man against power is like the struggle of memory against forgetting”.
10 tahun sejak IKOHI berdiri, bukanlah waktu yang singkat untuk berjuang. Terlebih lagi bagi para korban pelanggaran HAM yang peristiwanya terjadi jauh sebelum itu, seperti korban peristiwa pembantaian paska 30 September 1965, DOM di Aceh dan Papua, Tanjung Priok, Lampung, Petrus dan sebagainya. Mereka telah berjuang sejak peristiwa terjadi hingga ke seluruh sisa hidupnya.
Dari sini, saya mencoba melontarkan sebuah pertanyaan, yang menurut saya layak untuk kita renungkan jawabannya. Karena dari sana kita mungkin bisa memetik makna atau hikmah. Pertanyaannya adalah, apa yang membuat para korban sanggup bertahan untuk berjuang sedemikian lama? Energi apa yang mereka miliki untuk menjaga stamina perjuangan?
Dalam buku “Api Dilawan Air; Sosok dan Pemikiran Munir” yang diterbitkan LP3ES disebutkan bahwa Munir adalah orang yang sangat percaya pada sikap optimis. Optimisme dapat menggiring orang pada kehidupan yang lebih baik. Sikap optimis dapat membuat orang percaya pada pengharapan. Sikap itu juga dapat menuntun orang memahami kemanusiaan yang sesungguhnya.
Demikianlah, optimisme membuat orang hidup dan terus berusaha. Optimisme bisa muncul ketika kita memiliki harapan. Harapan bisa ada karena contoh-contoh dan pengalaman-pengalaman keberhasilan dan kemenangan. Disinilah pentingya kita menghargai keberhasilan dan kemenangan. Dan salah salah satu wujud penghargaan kita terhadap keberhasilan dan kemenangan adalah dengan mensyukurinya.
Ketika didirikan 10 tahun lalu, yang kemudian disempurnakan pada Kongres I tanggal 11 sampai 14 Oktober 2002, kami ingin menjadikan IKOHI sebagai wadah perjuangan korban. Kami berkeyakinan bahwa sudah waktunya korban harus mengubah diri menjadi penyintas, atau bahkan pejuang. Korban harus menjadi pelaku atau subjek dari perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, untuk selanjutnya bergandengan tangan dengan para aktifis HAM atau siapapun yang menginginkan ditegakkannya keadilan di negeri ini. Korban dan keluarga korban kami yakini sebagai entitas yang paling punya kepentingan dan sah untuk memperjuangkan keadilan bagi mereka sendiri atau keluarganya yang dijadikan korban oleh negara.
Sejak didirikan, IKOHI telah mengalami berbagai dinamika pasang surut dan metamorfosa. Dari paguyuban yang terdiri dari puluhan keluarga korban penculikan tahun 1997-1998, IKOHI kemudian menjadi organisasi korban penghilangan paksa di seluruh Indonesia. Bahkan sejak Kongres II di Makassar pada tanggal 6-8 Maret 2006 IKOHI disepakati untuk menjadi wadah organisasi korban dan keluarga korban berbagai tindak pelanggaran HAM di seluruh Indonesia, tidak hanya penghilangan paksa saja. Hal ini menunjukkan adanya semangat yang luar biasa bagi korban untuk bersatu, menghilangkan sekat-sekat peristiwa, kasus dan wilayah. Hal ini juga didasari pada pengalaman bahwa korban pelanggaran HAM apapun, dimanapun, didasari konteks politik seperti apapun dampaknya bagi korban adalah sama, yaitu penderitaan.
Satu dasawarsa sudah usia IKOHI hari ini. Dengan prioritas kerja pada pemberdayaan dan penguatan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM serta kampanye penyelesaian kasus oleh negara, IKOHI telah turut memberi warna pada keadaan hak asasi manusia pada hari ini. Memang masih jauh untuk bisa dikatakan baik, terutama bila diukur pada sejauh mana negara mengungkap kebenaran, meminta pertanggungjawaban pada para pelaku dan pemenuhan hak hak korban. Tetapi tidak bisa dikatakan pula bahwa perjuangan IKOHI gagal. Dengan segala keterbatasan kapasitas sumberdaya manusia, dukungan dana, masyarakat dan terutama politik HAM pemerintah yang masih melanggengkan impunitas, IKOHI masih bisa bersama dengan korban memperjuangkan digelarnya pengadilan HAM, didirikannya Komisi Kebenaran dan merespon isu-isu mutahir lainnya seperti pembunuhan pemimpin kami, Munir. Dengan dukungan berbagai pihak, IKOHI juga bisa menjalankan program layanan konsultasi psikologis, biaya bantuan sekolah bagi anak-anak korban, menggelar pendidikan HAM di beberapa daerah, pelatihan psikososial, merintis usaha ekonomi mandiri dan koperasi seperti yang kami lakukan di Jakarta.
Sebagai organisasi yang didirikan oleh keluarga korban penculikan aktifis tahun 1997-1998, IKOHI berhasil mengawal proses hingga Komnas HAM menyelesaikan penyelidikan ad hoc untuk kasus tersebut, yang sayangnya kini di peti-eskan oleh jaksa Agung.
Di kancah internasional IKOHI juga telah bisa turut berperan aktif di forum-forum sidang Komisi HAM dan Dewan HAM PBB, terutama setelah IKOHI menjadi anggota Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) pada tahun 2003. Semua aktifitas itu ditujukan untuk menarik dukungan komunitas internasional agar mendesak dan mendorong Indonesia taat pada prinsip-prinsip HAM universal dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi dan memperhatikan hak-hak korban. IKOHI juga secara rutin berkomunikasi dengan Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Paksa (UNWGEID) dengan melaporkan kasus-kasus penghilangan paksa secara individual. Bahkan khusus untuk isu penghilangan paksa, IKOHI berbahagia telah turut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan lobby di PBB hingga akhirnya Konvensi Internasional tentang Penghilangan Orang Secara Paksa disahkan oleh PBB pada bulan Desember 2006. Dan sebagai pengakuan atas sepak terjang IKOHI itu, ketua IKOHI, Mugiyanto akhirnya dipilih secara konsensus untuk menjadi Ketua AFAD dalam Kongres ke-3 di Katmandú, Nepal akhir tahun2006 yang lalu.
Keberhasilan IKOHI melewati satu dasawarsa atau satu dekade ini tak lain dan tak bukan adalah karena kerjasama dan dukungan segenap keluarga korban yang selama ini hidup dan berjuang bersama-sama IKOHI. Tanpa mereka dan dukungan mereka, IKOHI bukanlah apa-apa dan bukan siapa-siapa.
Organisasi-organisasi daerah yang merupakan jaringan IKOHI seperti SPKP-HAM Aceh, SKP-HAM Sulteng, Sulsel dan Sultra, IKOHI K2N, serta IKOHI Jateng dan Jatim adalah jaringan utama kami, tempat para korban membangun dan menjalin solidaritas. Demikian juga Kontras Jakarta, Aceh, Papua dan Medan, serta Elsam, ICTJ, Praxis, Yayasan Pulih, ICMC, VHR dan Imparsial adalah lembaga-lembaga yang sangat berperan membesarkan dan menguatkan kami.
Terima kasih juga kami sampaikan atas dukungan dan kerjasamanya; Demos, HRWG, YLBHI, PSHK, PEC, LBH Jakarta, Arus Pelangi, Ultimus, Media Bersama dan lain-lain yang tak mungkin disebutkan satu persatu, serta kawan-kawan yang bersama di jaringan gerakan HAM dan demokrasi; PRP, KORBAN, FPN dan gerakan sektoral lainnya. Kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas dukungannya selama ini. Terima kasih juga kami sampaikan kepada lembaga-lembaga yang telah memberikan dukungan finansial demi suksesnya program-program IKOHI seperti Yayasan Tifa, Kedutaan Besar Swiss, Hivos, IALDF, ICMC, AFAD, Tapol, EKD, the Bodyshop, Forum Asia, Kedutaan Besar Argentina, dll.
Menginjak usai ke-11, IKOHI akan menjadikan kegagalan sebagai pelajaran untuk memperbaiki dan melanjutkan apa yang telah kami raih. Menghargai dan mensyukuri kemenangan, walaupun yang terkecil sekalipun, akan kami jadikan sebagai modal untuk bersiap dalam perjuangan jangka panjang, terutama dengan memprioritaskan pada dipenuhinya hak-hak korban akan keadilan, kebenaran, perdamaian, jaminan ketidakberulangan serta pemulihan fisik dan mental.
Selamat Ulang Tahun IKOHI!