<body bgcolor="#000000" text="#000000"><!-- --><div id="flagi" style="visibility:hidden; position:absolute;" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><div id="flagtop"></div><div id="top-filler"></div><div id="flagi-body">Notify Blogger about objectionable content.<br /><a href="http://help.blogger.com/bin/answer.py?answer=1200"> What does this mean? </a> </div></div><div id="b-navbar"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-logo" title="Go to Blogger.com"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/logobar.gif" alt="Blogger" width="80" height="24" /></a><div id="b-sms" class="b-mobile"><a href="sms:?body=Hi%2C%20check%20out%20%5B%20Ikatan%20Keluarga%20Orang%20Hilang%20Indonesia%20%5D%20%3A%3A%20IKOHI%20Indonesia%20at%20ikohi.blogspot.com">Send As SMS</a></div><form id="b-search" name="b-search" action="http://search.blogger.com/"><div id="b-more"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-getorpost"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_getblog.gif" alt="Get your own blog" width="112" height="15" /></a><a id="flagButton" style="display:none;" href="javascript:toggleFlag();" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif" name="flag" alt="Flag Blog" width="55" height="15" /></a><a href="http://www.blogger.com/redirect/next_blog.pyra?navBar=true" id="b-next"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_nextblog.gif" alt="Next blog" width="72" height="15" /></a></div><div id="b-this"><input type="text" id="b-query" name="as_q" /><input type="hidden" name="ie" value="ISO-8859-1" /><input type="hidden" name="ui" value="blg" /><input type="hidden" name="bl_url" value="ikohi.blogspot.com" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_this.gif" alt="Search This Blog" id="b-searchbtn" title="Search this blog with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value='ikohi.blogspot.com'" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_all.gif" alt="Search All Blogs" value="Search" id="b-searchallbtn" title="Search all blogs with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value=''" /><a href="javascript:BlogThis();" id="b-blogthis">BlogThis!</a></div></form></div><script type="text/javascript"><!-- var ID = 3565544;var HATE_INTERSTITIAL_COOKIE_NAME = 'dismissedInterstitial';var FLAG_COOKIE_NAME = 'flaggedBlog';var FLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/flag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var UNFLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/unflag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var FLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif';var UNFLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/unflag.gif';var ncHasFlagged = false;var servletTarget = new Image(); function BlogThis() {Q='';x=document;y=window;if(x.selection) {Q=x.selection.createRange().text;} else if (y.getSelection) { Q=y.getSelection();} else if (x.getSelection) { Q=x.getSelection();}popw = y.open('http://www.blogger.com/blog_this.pyra?t=' + escape(Q) + '&u=' + escape(location.href) + '&n=' + escape(document.title),'bloggerForm','scrollbars=no,width=475,height=300,top=175,left=75,status=yes,resizable=yes');void(0);} function blogspotInit() {initFlag();} function hasFlagged() {return getCookie(FLAG_COOKIE_NAME) || ncHasFlagged;} function toggleFlag() {var date = new Date();var id = 3565544;if (hasFlagged()) {removeCookie(FLAG_COOKIE_NAME);servletTarget.src = UNFLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = false;} else { setBlogspotCookie(FLAG_COOKIE_NAME, 'true');servletTarget.src = FLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = true;}} function initFlag() {document.getElementById('flagButton').style.display = 'inline';if (hasFlagged()) {document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;} else {document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;}} function showDrop() {if (!hasFlagged()) {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'visible';}} function hideDrop() {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'hidden';} function setBlogspotCookie(name, val) {var expire = new Date((new Date()).getTime() + 5 * 24 * 60 * 60 * 1000);var path = '/';setCookie(name, val, null, expire, path, null);} Function removeCookie(name){var expire = new Date((new Date()).getTime() - 1000); setCookie(name,'',null,expire,'/',null);} --></script><script type="text/javascript"> blogspotInit();</script><div id="space-for-ie"></div>
IKOHI

Monday, December 31, 2007

Selamat Tahun Baru 2008


Selamat Tahun Baru 2008

Melepas Bayang-bayang Bapak
28 Desember 2007 - 18:43 WIB
Mulyani Hasan


Menjalani hari-hari berat tanpa suami dan bapak. Walau tergagap, keluarga Wiji Thukul tetap tegak menapaki jalan kehidupan.

Dari ujung gang, rumah di Kampung Kalangan, solo, itu tampak benderang. Sinar lampu neon dari dalam rumah menjangkau tembok pembatas gang.

Perempuan itu muncul memakai daster bunga-bunga dari dalam rumah yang pintunya sudah terbuka lebar. "Monggo masuk," ujarnya. Tangan kanannya menepis untaian rambutnya yang ikal kemerahan.

Malam itu rumah Sipon semarak dengan kelakar dan tawa. Selain Sipon, ada dua perempuan lain di rumah itu. Putri sulungnya, Fitri Nganti Wani, dan Hasti Dirgantarai, sahabat Sipon yang juga tinggal di rumah itu. Sedangkan Fajar Merah, anak bungsunya, sedang di luar rumah. "Kami baru saja menerima pengaduan warga yang tanahnya akan digusur," tutur Hasti Dirgantari.

Hasti Dirgantari, 37 tahun, advokat di sebuah lembaga bantuan hukum di Solo. Pertemuannya dengan Sipon dimulai ketika Sipon menghadapi kasus penggusuran tanah warga di tempat tinggalnya.

Hasti sudah sering mendengar nama Sipon, terutama dari media massa. Sipon disebut-sebut sebagai perempuan pejuang yang gigih mencari suami yang hilang dan menghidupi anak-anaknya. Hasti sangat mengagumi Sipon. "Saat Sipon ke kantor, saya ingin berkenalan, tapi tidak mau secara langsung," kata Hasti sembari tersenyum malu.

Sejak itu banyak kesempatan yang mempertemukan mereka. Hasti merasa sangat beruntung bisa mengenal secara dekat Sipon, istri Wiji Thukul, penyair yang sering dieluk-elukan pada saat dia kuliah di Universitas Satyawacana Salatiga. "Sipon lucu dan humoris. Dia bisa mengalahkan pelawak-pelawak di televisi," ujar Hasti.

Hasti mengenal Wiji Thukul dari Arief Budiman dan Ariel Haryanto, yang saat itu mengajar di Satyawacana tahun 1992. Dia belum pernah bertemu dengan penyair itu, tapi beberapa kali dalam aksi penggalangan dana, Hasti membacakan puisi Wiji Thukul.

"Ya, seumur hidup saya memang tak akan lepas dari Thukul. Setiap saat saya harus menghadapi hal-hal yang berhubungan dengan suami saya itu. Termasuk menerima pertanyaan-pertanyaan Anda," ujar Sipon kepada saya.

Lantai pelur di rumahnya terasa dingin. Segelas teh hangat mengusir dahaga yang meradang sejak siang tadi.

"Ada yang bilang, suami saya masih hidup, ada juga yang bilang ia sudah mati. Ini memang disengaja agar kami menjadi bingung, sehingga menjadi gila," tutur Sipon. "Tujuan mereka kan membuat kami gila, agar tak bisa bersaksi."

Fitri Nganti Wani, anak sulung Sipon, asyik main game di depan laptop. Dia tak menghiraukan suara bising dari ruang tamu. Saya dipersilakan masuk ke kamar Wani. Senyumnya lebar, tangan kanannya tak lepas dari keybord.

Wani baru saja masuk kuliah di Universitas Sanata Dharma,Yogjakarta, Jurusan Sastra Indonesia. Urusan sastra Indonesia, tentu menyebut-nyebut Wiji Thukul, penyair yang mendapat Wertheim Encourage Award dari Wertheim Stichting, Belanda, bersama WS Rendra, tahun 1999, sebuah penghargaan prestisius bagi penyair. Ia juga dapat penghargaan Yap Thiam Hien Award tahun 2002.

Wani sudah bisa menduga, keberadaannya di kampus itu pasti akan disangkutpautkan dengan popularitas ayahnya. Ia tak menginginkan itu terjadi. Dia hanya ingin menjadi diri sendiri secara utuh. Wani memperkenalkan dirinya sebagai Fitri kepada teman-teman kuliahnya. Padahal selama ini ia akrab dengan panggilan Wani.

Tapi, dalam sebuah kuliah sastra, seorang dosen menyinggung Wiji Thukul. "Sastra menurut Wiji Thukul adalah alat untuk melawan rezim Orde Baru," kata dosen itu. Wani yang duduk di barisan belakang mendengarkan dengan saksama. "Nah, kebetulan anak Wiji Thukul ada di tengah-tengah kita," lanjut sang dosen.
"Oups, penyamaran gagal," gumam Wani.

Konsentrasi para mahasiswa tertuju ke belakang. Semua mata tertuju ke Wani. Wani malah pura-pura tak tahu dan ikut-ikutan menengok ke belakang.

Para mahasiswa kaget anak seorang penyair terkenal ada di antara mereka. Seperti selebritis di tengah-tengah penggemar, Wani meladeni pertanyaan-pertanyaan teman-teman kuliahnya. Sejak saat itu Wani jadi tersohor di kampusnya.

"Eh, aku nggak nyangka sekelas dengan anak Wiji Thukul. Aku kan penggemar bapakmu," ujar Yoshua, teman sekelas Wani.

"Wiji Thukul itu siapa, sih?" teman lain bernama Nora menimpali.

"Eh, orang itu kan terkenal banget. Kamu nggak pantas masuk Sastra, masa nggak tahu Wiji Thukul? Please, deh," seloroh Yoshua.

Wani tertawa geli, tak menyangka ayahnya sepopuler itu. "Kalau bapakku tak hilang, dia biasa saja. Banyak yang lebih pintar, tapi tidak melakukan hal yang nyata, tidak seperti bapakku," kata Wani kepada teman-temannya. "Bapak hanya punya keberanian," tegasnya.

Tidak hanya tersohor di kampus, beban menjadi anak Wiji Thukul juga dirasakan Wani ketika dituntut harus menjadi nomor satu di kelas. Jika nilai salah satu mata kuliah buruk, teman-temannya menyalahkan Wani. "Kamu kan anak Wiji Thukul, masak nilainya jelek?"

Wani pun menjawab pendek, "Ah, mungkin bapakku juga tak bisa mengerjakan karena dia nggak kuliah."

Gadis muda itu terkadang tak ingin menjadi pintar. Dia tak ingin diperlakukan khusus oleh dosen dan teman-temannya. Dia ingin seperti yang lain. "Aku adalah aku. Bapak itu sebagai diri sendiri, membela dirinya sendiri," ujar Wani.

Wiji Thukul begitu dekat dengan kehidupan Wani. Di mana-mana ada. Di kampus, di rumah. Wani tak lepas dari figur bapaknya.

Menurut Wani, salah satu dosennya, Rahmanto, sering menyebut bapaknya dengan awalan atau akhiran "almarhum", gelar bagi orang yang sudah meninggal dunia. Wani tidak suka. Saat kesekian kalinya Rahmanto mengulang sebutan almarhum bagi Wiji Thukul, Wani protes. "Kayaknya belum almarhum, Pak," teriak Wani dari sudut kelas.

"Oh, rupanya anak Wiji Thukul masih berharap bapaknya hidup," ujar dosen itu.

Wani mengelak, acuh. Ia tak ingin larut dalam persoalan bapaknya. Orang-orang bilang bapaknya masih hidup, karena mayatnya tak pernah ditemukan. Banyak pula yang bilang bapaknya sudah mati.

Agaknya Wani memendam kekecewaan. Gadis itu menyimpan marah. "Kok tak adil. Ibu kerja, bapak tak ada," ungkapnya. "Dia kan kepala keluarga, kok tak bertanggung jawab."

Wani bahkan tak tahu latar belakang kehidupan politik bapaknya. Ia pernah dilarang oleh Sipon masuk sebuah organisasi mahasiswa. Ibunya berpendapat, gara-gara organisasi Wiji Thukul hilang.

Wani yang lahir pada 6 Mei 1989 di Solo mulai menyadari bapaknya bukan orang biasa, yang meninggalkan istri dan anak. Kesadaran itu muncul belakangan, setelah dia tahu ayahnya bukan hanya penyair.

Namun gadis ini tak tertarik pada isu politik. Dia hanya suka sastra dan menikmati kehidupannya sekarang. Salah satu penyair idolanya adalah Wiji Thukul, bapaknya sendiri. "Aku suka puisinya, bukan orangnya," katanya.

Beberapa puisi karya Wani ada yang mirip puisi Wiji Thukul, padahal Wani belum pernah membacanya. Dia justru tahu dari ibunya. "Cita-citaku hanya ingin menjadi orang baik. Setidaknya baik untuk diri sendiri," ujar gadis muda ini.
***
"Mbak, menjahit ya?" tanyaku.

"Ya, kalau tidak begini, anak-anak gak sekolah," jawab Sipon. Dialek Jawanya sangat pekat. "Tapi, saya merasa Thukul masih menafkahi saya dengan puisi-puisinya. Saya kan bisa jual kaos yang bertuliskan puisi Thukul."

Sipon mengendalikan alur percakapan. Ia terlihat ingin berbagi atas apa-apa yang menimpanya. Tak mudah memang menjalani hidup sebagai perempuan seperti dia. Stigma janda yang melekat di masyarakat umum, belum lagi cap komunis yang dipandang buruk oleh mayoritas masyarakat akibat propaganda Orde Baru. Menyandang label komunis sungguh malapetaka di negeri ini.

Anak keduanya Fajar Merah, berusia 15 tahun, kini sudah kelas II sekolah menengah pertama. Fajar pernah berniat mengganti nama. Ia merasa tak beruntung dikenal sebagai anak Wiji Thukul. Teman-teman sekolahnya juga tidak banyak.

Malam itu Fajar tidak di rumah. Sipon resah, belakangan ini Fajar jarang betah di rumah. Kenapa jadi anak Thukul? Kenapa mirip Thukul? Salah apa sih? Kenapa banyak orang tidak suka? Pertanyaan-pertanyaan itu sering menluncur dari mulut Fajar. Sipon selalu berusaha memberi pengertian dengan penuh kesabaran.

Fajar sering mengeluh kepada ibunya. Di sekolah dia merasa dimanfaatkan oleh teman-temannya. Kelompok sepak bola yang baru saja dia bentuk bubar. Teman-temannya meninggalkannya. Padahal pada awal pembentukan Fajar ditekan oleh teman-teman agar segera berinisiatif membentuk tim sepak bola. Lalu dia membentuk kelompok musik. Nasibnya juga sama. Bubar.

"Lebaran lalu dia tak mau di rumah. Dia shock, ingin seperti teman-temannya yang punya keluarga utuh. Dia ingin punya ibu seperti yang lain, di rumah dan memasak," kata Sipon dengan muka resah.

Sipon banyak berbicara dengan Wani dalam menghadapi Fajar. Tapi Sipon enggan berbagi sedih. Dalam hal ini Wani mengganggap ibunya misterius, tak dapat ditebak apa yang sedang dirasakan.

Sipon merampas lagi konsentrasiku. Sorot matanya hambar menerawang. "Setiap tahun di bulan Juni aku seperti trauma. Badanku gemetar. Siang malam tak bisa tidur. langkah-langkah itu...." ujarnya tertahan.

Suatu malam di penghujung Juni 1996 Thukul datang dengan luka lebam di mata kanan, retinanya mengelupas. Terhuyung pulang ke rumah, Thukul hanya menjawab ala kadarnya ketika Sipon bertanya apa yang menimpa dirinya.

Malam itu Thukul emosional. Anak sulungnya, Wani, dipukul. Padahal, seingat Sipon, tak pernah Thukul melakukan itu sebelumnya.

Belakangan, setelah pulang dari rumah sakit, Thukul baru bercerita kepada istrinya bahwa sekelompok orang memukuli dia lalu membenturkan kepalanya ke mobil Jeep. Peristiwa itu terjadi sesaat setelah dia memimpin unjuk rasa buruh di PT Sritex Surabaya.

Thukul tak juga jera. Dia terus melakukan protes melalui puisi-puisinya. Dia membaca puisi di bus, pabrik, jalan, gang-gang sempit, bahkan pada resepsi pernikahan. Tapi dia pernah menolak ketika diundang membaca puisi di Taman Budaya Surakarta untuk peringatan hari ulang tahun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada 1 Oktober 1995. Thukul enggan berpartisipasi karena saat itu tentara dan polisi banyak melakukan tindakan represif. Diskusi, pembacaan puisi, teater, pameran seni rupa kerap dibubarkan oleh aparat. Terakhir sebelum dia menerima undangan itu, Teater Buruh Indonesia dilarang pentas. Thukul geram.

"Adalah tindakan yang tidak adil kalau kita bernyanyi dan bersuka cita, jika sementara pada saat yang sama di sekeliling kita orang-orang dibungkam, dilarang bersuara," ungkap Thukul dalam surat pernyataan sikapnya.

Dalam surat itu dia berseru kepada pengelola Taman Budaya Surakarta agar memperjuangkan dan merebut kembali otonomi sebagai kawasan merdeka bagi para pekerja kebudayaan. "Kepada para pekerja kebudayaan, bersatulah! Rebut kemerdekaan berekspresi!" kata Thukul. "Kepada militer, hentikan intervensi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat sipil dan cabut undang-undang politik dan tolak politik perizinan."

Wiji Thukul tak menyembunyikan perlawanannya. Meski berkali-kali diteror dan diancam. Masa-masa itu pemerintah Orde Baru tak segan menculik atau membenamkan gerakan para pemberontak yang mengancam tahtanya.

Malam itu, 5 Agustus 1996, rumah kontrakannya didatangi oleh aparat Kepolisian Wilayah Surakarta. Mereka menyita buku-buku dan sejumlah dokumen milik Thukul. Tuduhan mereka, Thukul telah melakukan tindakan subversif. Barang yang disita di antaranya kumpulan puisi Mencari Tanah Lapang dan stiker "Ini rumah demokrasi". Ada enam berkas lainnya disita.

Situasi belum tenang, tentara juga berdatangan ke rumah Thukul. Menggerebek, tak beretika. Sejak itu Sipon jarang menerima kepulangan suaminya itu.

"Semua ada di pihak polisi, termasuk wartawan," keluh Sipon.

Seminggu berlalu, Thukul pulang. Dia mendekam di kamar, tak keluar sedikit pun, meski hanya untuk membeli rokok. Sipon mengurus semua kebutuhan suaminya, hingga harus membuang kotorannya. Lalu Thukul pamit, katanya akan ke Kalimantan.

Pada penghujung 1997 Sipon mengajak kedua anaknya ke Kebun Binatang Gembiraloka Yogyakarta sebagai hadiah ulang tahun untuk Fajar yang lahir pada 23 Desember 1993. Tapi seketika Sipon mengubah rencana dengan persetujuan kedua anaknya. Mereka memutuskan ke Kaliurang.

Ketika sedang mereguk teh, Wiji Thukul muncul tiba-tiba. Anehnya, Thukul, seperti tergesa-gesa, di belakangnya ada beberapa orang yang tak dikenal Sipon. "Saya kira mereka itu tentara. Saya bisa melihat dari gaya dan gerak geriknya,"kata Sipon. "Saya pikir, ngapain orang gila ini ada di sini," ujar Sipon.

Lalu Thukul membelikan Fajar mobil-mobilan warna merah. "Kamu calon konglomerat ya. Kamu harus rajin belajar dan membaca. Jangan ditelan sendiri. Berbagilah dengan teman-teman yang tak mendapat pendidikan," kata Thukul kepada anak bungsunya. Pertemuan itu sangat singkat. Belum sempat Sipon melepas rindu. Tapi Sipon sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu.

Thukul membeli tiga tiket kereta untuk anak dan istrinya. Itulah pertemuan terakhirnya. Hingga saat ini Thukul tak pernah kembali. Sepuluh tahun sudah.

***

Malam itu di langit Solo bulan purnama sempurna. Sinarnya redup menantang malam. Wani rindu saat-saat naik sepeda dibonceng bapaknya nonton kereta api yang lewat. Sementara di kamar, Sipon merayu Fajar yang baru saja tiba di rumah.

(Dimuat di VHR Media, www.vhrmedia.org, 28 Desember 2007)
Mencari Bima
December 12, 2007 by mulyanihasan
Oleh Mulyani Hasan


Seorang anak muda yang cerdas dan kritis dihilangkan di masa Soeharto. 24 pastor merayakan misa untuk mendoakannya. Sampai hari ini belum ada kejelasan tentang nasibnya.


DIA masih merenung di pintu belakang rumah sampai tengah malam itu. Duduknya menghadap langit yang baru ditinggal hujan. Setiap malam begitu. Jumlah rokok yang dihisapnya yang tak terhitung lagi.Lelaki ini bernama Dionyus Utomo Rahardjo dan akrab dipanggil Tomo atau Pak Tomo oleh orang yang mengenalnya. Dia ayah Petrus Bima Anugerah, aktivis yang hilang di tahun 1998. Dulu Bima sering pulang lewat pintu belakang pada tengah malam. Dia berjanji kepada orang tuanya akan pulang di perayaan Paskah, April 1998, namun yang datang malah berita hilangnya.

Pada 1997 Bima pamit dari rumah untuk minta restu pindah kuliah ke Jakarta. Sebelum itu dia kuliah di Universitas Erlangga, Surabaya. Diskusi panjang pun terjadi antara ayah, ibu, dan anak selama empat jam.

“Nanti Ibu tahu sendiri apa yang kuperjuangkan,” ujar Bima.Misiati memang tak begitu paham soal aktivitas anaknya. Lain hal dengan Tomo yang sudah mengetahui aktivitas politik anaknya sejak awal. Ini dimulai dari keterlibatan Bima di SMID (Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi), sebuah organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang gencar melawan rezim totaliter Soeharto.SMID dideklarasikan di Jakarta pada Agustus 1994. Program utamanya adalah pencabutan Dwi Fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik ) dan pencabutan paket 5 Undang-Undang Politik 1985 yang membungkam kebebasan orang untuk berpendapat dan berorganisasi.“Justru itu kami mengkhawatirkanmu,” sahut Tomo.“Berapa banyak kawanmu?” tanya Tomo.

“Kurang lebih 35 orang,” jawab Bima.

“Kamu itu akan membentur tembok yang kerangkanya terbuat dari beton,” kata Tomo, mengingatkan anaknya. Dia menggambarkan rezim Orde Baru seperti tembok tebal yang disanggah tulang-tulang beton.

Tapi Bima malah menjawab “Paling tidak aku yang menabraknya, Pak.”
Sunyi sejenak…
Tomo kehabisan alasan untuk mengubah pendirian anaknya.

“Pergilah, berangkatlah asal jangan imanmu goyah. Kalau kamu tertangkap di Jakarta, paling tidak namamu melegenda,” ujar Tomo.

Bima pergi dibekali uang Rp 100 ribu. Dia kemudian mendaftar ke Sekolah Tinggi Filsafat Drikarya, Jakarta. Suratnya terakhir kepada ibunya hanya memastikan bahwa dia baik-baik saja.
“Ibu tahu kan gedung-gedung mewah yang kita lihat waktu ke Jakarta. Tapi Ibu tahu gak, di balik gedung itu orang-orang tidak makan, anak-anak sekolah tak bersepatu. Di gedung tinggi orangnya cuma sedikit tapi di balik gedung itu banyak sekali orang yang bergelimpangan. Itulah yang kuperjuangkan, Bu,” ujar Bima dalam suratnya.

Bima rajin menulis surat untuk Ibunya. Namun sayang, surat-surat itu baru sampai ke tangan Misiati belakangan, setelah Bima hilang. Misiati sedih saat membaca surat Bima yang berisi permintaan dimasakkan sayur lodeh kesukaannya jika pulang nanti. Sebab, selama di Jakarta, dia tak sempat membuat santan untuk memasak sayur tersebut.

“Bima masak sendiri dengan kawan-kawan, tapi kalau mau buat santan, kami tak punya waktu, Bu,” tulisnya dalam surat itu.

Bima saat itu tinggal dengan tiga kawan lainnya dalam sebuah kamar di rumah susun Klender. Mereka adalah Mugiyanto, Nezar Patria dan Aan Rusdianto. Kawan-kawannya memanggil Bima dengan sebutan “Bimpet” alias Bima Petrus.

“Di Jakarta, ada beberapa titik persembunyian yang kami sebut save house dan setiap kader partai tak ada yang mengetahui tempat satu sama lain tinggal, kecuali yang ditempatkan dalam satu rumah. Bahkan nomor telepon pun tidak. Nah, untuk komunikasi antar tim itu, semua tersentral di Bimpet. Ini semua strategi gerakan untuk keamanan. Jadi, Bimpet itu memang orang yang paling banyak tahu,” ujar Mugiyanto, ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang atau IKOHI. Saya menemuinya di kantor IKOHI, di kawasan Menteng Jakarta Pusat.

Mugi, panggilan akrabnya, bersama Bima selama tiga bulan terakhir sebelum dia hilang. Tak ada yang tahu di mana dan kapan Bima diambil.

“Dia memang sudah jadi target penangkapan. Selain itu, organisasi sudah kotor,” kata Mugi.

Mugi pertama kali bertemu dengan Bima di tahun 1995 di Yogyakarta. Mugi punya kesan baik terhadap Bima.

“Bimpet pribadi yang berani, teguh dan disiplin dalam usaha merealisasikan idealismenya. Aku yakin betul karena semua itulah dia tidak dikembalikan oleh penculiknya.”

Dalam rentang waktu itu rumah Tomo disatroni aparat. Ada yang mengaku dari kepolisian, tapi ada juga yang tak berseragam. Melacak rumah Tomo memang gampang. Rumahnya berada di tengah kota Malang, tak jauh dari stasiun kereta api. Di tahun 1997 Tomo menjabat ketua Rukun Tetangga dan ini juga memudahkan pelacakan.

Sebelum itu, di tahun 1996 PRD dinyatakan sebagai dalang massal yang dipicu penyerbuan sejumlah aparat berpakaian preman ke kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia di Jakarta. Dua puluh enam orang hilang dan banyak yang luka-luka akibat peristiwa itu. Sebagai buntutnya, Ketua PRD Budiman Sudjatmiko dan sejumlah pengurus partai dijebloskan ke penjara. Peristiwa ini terkenal dengan sebutan Peristiwa 27 Juli.

Suatu ketika dua pria bertamu ke rumah Tomo.

“Di mana Bima?” tanya salah seorang dari mereka.

“Gak tahu, mungkin dia pulang ke Jakarta,” jawab Misiati.

“Lho kok ibunya sendiri gak tau?” kata orang itu dengan nada suara meninggi, sambil menggebrak meja.

Misiati terus didesak. Sementara Tomo sedang tak di rumah.

“Saya bisa saja memberi alamat palsu, biar cepat urusan, biar Anda gak menguber saya,” timpal Tomo yang baru saja tiba di rumah sepulang kerja, ia bahkan belum sempat membuka sepatu ketika mendapati tamu-tamu tak dikenal itu.

Orang-orang itu lantas bertanya siapa saja sanak saudara Tomo dan di mana mereka tinggal. Ternyata mereka benar-benar melacaknya. Keluarga di Blitar dan Lumajang didatangi. Mereka mengaku rekan kerja Bima dan menanyakan keberadaan Bima.
Mendadak para pedagang keliling juga makin banyak lewat di depan rumah Tomo.

Mereka itu bagian dari jaringan intelijen yang sedang mengawasi keluarganya. Tetangga-tetangga sekitar rumah mulai beranggapan negatif tentang Bima. Penjahat, pemberontak dan macam-macam tuduhan. Tapi mental Tomo dan keluarga sama sekali tak melemah.
“Mendidik anak itu yang benar!” kata teman kerja Tomo, suatu hari ketika Tomo masih bekerja di Rumah Sakit Jiwa Lawang

“Saya yakin anak saya itu benar,” ujar Misiati yang tegar dengan segala keyakinannya, meski seluruh sanak saudaranya bersikap sama seperti orang-orang kebanyakan.

Mugi tak tahu persis kapan Bima hilang. Saat dia diculik dan disekap di suatu tempat, dia hanya mendengar teriakan Nezar Patria dan Aan Rusdianto, kawan serumahnya. Meski matanya tertutup, teriakan itu bisa dikenalinya.

Berkali-kali Mugi disetrum dan dipukuli. Para penculik itu banyak bertanya soal struktur PRD dan kasus peledakan bom di rumah susun Tanah Tinggi. Mereka juga bicara soal referendum Timor Timur dan Aceh. Mengapa PRD mendukung referendum di dua wilayah perang itu? PRD bahkan melakukan aksi lompat pagar kedutaan Belanda dan bersama para pemuda Timor Timur untuk mengkampanyekan referendum serta mendukung permintaan suaka politik bagi mereka yang diburu aparat .

“Yang paling mengerikan saat di tempat penyiksaan adalah ketika mendengar suara teriakan kesakitan kawan sendiri,” kisah Mugi.

PETRUS Bima Anugerah lahir di Malang, 24 September 1973. Dia anak kedua dari empat bersaudara. Namanya diilhami sebuah sandiwara radio yang sering didengarkan ibunya saat hamil sambil menggoreng biji kopi, ketika menjelang senja.

Bima adalah tokoh Pandawa Lima yang jujur, berani dan gagah, dan berjuang untuk membela orang lemah. Tapi gurunya malah ingin menghilangkan muridnya. Bima diperintahnya masuk ke dalam dasar laut untuk menemui Dewa Ruci. Bima murid yang taat kepada sang guru. Dia menuruti perintah sang guru yang jahat itu. Tapi dia malah selamat dan memperoleh kesaktian.

Sedangkan nama tengah “Petrus,” diambil dari nama salah seorang murid Yesus dalam Injil. Petrus digambarkan berwatak keras seperti batu karang. Bima dan Petrus adalah anugerah. Jadilah sosok manusia baru itu dinamai Bima Petrus Anugerah.

Bima kecil adalah anak periang yang sabar. Dia menerima setiap keadaan. Tubuhnya gemuk menggemaskan.

“Kalau dia sudah pakai baju pramuka dan berdasi, duhh gagah sekali,” kenang ibunya seraya menggelengkan kepala.

Bima sering memimpin upacara bendera di sekolahnya, di mana Misiati juga mengajar di sekolah dasar itu. Dia sering jadi juara kelas. Meski ibunya guru di sekolahnya, Bima tahu betul bagaimana menempatkan dirinya sebagai murid. Dia tak manja di sekolah, tidak seperti di rumahnya dia selalu disuapi makan dan tidur bersama sang ibu.

Anak itu pernah menangis dan mengadu kepada bapaknya. Dia sering diganggu oleh kawan sekolahnya.

“Kamu harus berani, jangan menangis!” ujar Tomo.

Keesokan hari Maman si pengganggu itu ditumpahi ember berisi pasir di kepalanya. Tomo tertawa geli menceritakan peristiwa tersebut kepada saya.

Bima tumbuh dalam lingkungan religius. Dia rajin ke gereja, bahkan pernah menulis sebuah doa dan minta kepada ibunya untuk membacakan doa itu ketika orang-orang menghadiri misa di gereja. Demikian pula dalam surat-suratnya, dia sering menyebutkan bahwa apa yang dia lakukan sesuai dengan ajaran Katolik yang mengharuskan keberpihakan kepada rakyat teraniaya.

Namun, Bima remaja tak banyak bicara. Menurut Misiati, mungkin kesadaran politiknya tumbuh sejak dia masuk Sekolah Menengah Umum Dempo, sebuah sekolah favorit di Malang. Murid-murid di sekolah ini kebanyakan anak-anak orang berada. Sementara Bima hanya anak pegawai negeri yang hidup sederhana dan pas-pasan. Ketimpangan itu jelas-jelas terlihat dari gaya hidup dan penampilan para murid. Namun Bima tak menuntut apa-apa. Dia menerima keadaan keluarganya tanpa rasa rendah diri. Cara berpikirnya semakin matang ketika dia masuk perguruan tinggi.

“Bima itu tak punya buku, entah dia baca di mana,” kata Tomo.

Setiap kali pulang ke rumah, dia selalu bercerita soal politik. Kadang dia mengajak kawan-kawannya ke rumah. Di antara mereka itu adalah Herman Hendrawan dan Rahardja Waluyo Jati. Keduanya juga aktivis PRD. Herman Hendrawan senasib dengan Bima, diculik dan tak kembali sampai hari ini.

“Kami sering diskusi soal politik di rumah ini,” kenang Tomo.

“Kuliah itu tak harus di bangku kuliah. Saya bisa belajar dari buruh, petani dan orang-orang di perkampungan kumuh.” Suatu hari Bima berkata kepada bapaknya.

Bima memang sadar betul apa yang dilakukannya mengandung risiko besar. Pada 1997, sebelum dia diculik, dia pernah mendekam 60 hari di penjara karena terlibat pengorganisasian massa Megawati Soekarno dan partai Islam, Partai Persatuan Pembangunan. Ketika itu massa pendukung Megawati yang kecewa pada pemerintah Soeharto menemukan platform perjuangan yang sama dengan massa Partai Persatuan Pembangunan (yang dikenal dengan julukan massa “Bintang”, diambil dari lambang partai tersebut) yang juga kecewa pada pemerintah. PRD ingin menyatukan mereka yang sama-sama diperlakukan sewenang-wenang ini dalam sebuah front perjuangan bersama, yang kemudian jadi populer dengan sebutan Mega-Bintang-Rakyat.

Tak ada keluarganya yang tahu selama Bima di penjara. Orang tuanya baru mengetahui kejadian itu setelah dia bebas.

Pada Senin, 13 April 1998, beberapa saat setelah Paskah, Tomo dan Misiati melaporkan kehilangan Bima kepada Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KONTRAS. Di tengah cemoohan banyak orang, tak sedikit juga pihak yang simpati kepada mereka.

Mei 1998, sehari sebelum Soeharto mundur dari kekuasaannya, Tomo dan Misiati diundang menghadiri misa di Katedral Surabaya. Rabu itu tanggal 20 Mei 1998, massa meluap ke jalan-jalan, mereka menuntut Soeharto mundur. Ini terjadi di berbagai kota, terutama di Jakarta.

Misa itu tak biasanya. Ada 24 romo (pastor dalam istilah Jawa) dan 36 pelayan pastor hadir. Biasanya misa cukup dihadiri seorang romo.

“Aku tak mengerti. Ternyata misa itu khusus untuk Bima,” kata Misiati.

“Padahal di gereja tempat saya ibadah, tak pernah mempertanyakan,” lanjutnya.

Doa Bapak Kami, karya Bima, dibacakan dalam misa itu.“KAMI akan menunggunya pulang sampai kapan pun. Suatu saat Tuhan akan membuka jalan,” ujar Genoveva

Misiati, dengan air mata berlinang.Sementara itu Tomo masih memeluk lututnya, duduk dekat pintu belakang. Entah berapa batang rokok kretek yang sudah terbakar.

“Saya tak pernah merasa berat mencari anak saya, meski hampir sepuluh tahun,” katanya.

“Jalan apalagi yang harus kami tempuh. Saya sudah puas dengan usaha kami dan kawan-kawan IKOHI, KONTRAS, dan wartawan,” katanya, lagi.

Misiati masih tersendat. Dia menganggukkan kepala, menyetujui ucapan suaminya.

“Selama empat tahun saya puasa setiap Senin dan Kamis, tapi Bima belum kembali juga,” ujarnya. Ujung ucapannya seakan mengendap di tenggorokan.

“Dia masih ada,” tegasnya.


****) dimuat di Sindikasi Pantau (www.pantau.or.id)

Wednesday, December 05, 2007

IKOHI Jateng bedah buku Thukul, "Kebenaran Akan Terus Hidup"

STOP PRESS!!!

PEMBERITAHUAN:


IKOHI - JATENG akan mengadakan acara bedah buku ”Kebenaran Akan Terus Hidup” karya Widji Thukul pada,

Hari/ tgl.: Sabtu, 8 Desember 2007

Waktu : pukul 08.00 - selesai

Tempat: Taman Budaya - Surakarta

Pembicara: Eko Sulistyo (teman W. Thukul), komnas HAM, Saut Sitomorang

Fadjar Merah, putra bungsu dari penyair Widji Thukul, dengan Caramel bandnya akan membuka acara bedah buku tersebut.

a.n. Sipon, Ketua IKOHI - Jateng

H. Dirgantari, Ketua Panitia Penyelenggara Bedah Buku.


NAVIGATION
BUKU BARU!!!

Image and video hosting by TinyPic>

Kebenaran Akan Terus Hidup
Jakarta : Yappika dan IKOHI xx, 220 hlm : 15 x 22 cm
ISBN: Cetakan Pertama,
Agustus 2007
Editor : Wilson
Desain dan Tata letak :
Panel Barus
Diterbitkan Oleh :
Yappika dan IKOHI
Dicetak oleh :
Sentralisme Production
Foto : Koleksi Pribadi

Dipersilahkan mengutip isi buku dengan menyebutkan sumber.

Buku ini dijual dengan harga RP. 30,000,-. Untuk pembelian silahkan hubungi IKOHI via telp. (021) 315 7915 atau Email: kembalikan@yahoo.com


NEWEST POST



ARCHIVES


ABOUT



IKOHI was set up on September 17, 1998 by the parents and surfaced victims of disappearances. Since then, IKOHI was assisted by KONTRAS, until October 2002 when finally IKOHI carried out it first congress to complete its organizational structure. In the Congress, IKOHI decided its two priority of programs. They are (1) the empowerment of the social, economic, social and cultural potential of the members as well as mental and physical, and (2) the campaign for solving of the cases and preventing the cases from happening again. The solving of the cases means the reveal of the truth, the justice for the perpetrators, the reparation and rehabilitation of the victims and the guarantee that such gross violation of human right will never be repeated again in the future.

Address
Jl. Matraman Dalam II, No. 7, Jakarta 10320
Indonesia
Phone: 021-3100060
Fax: 021-3100060
Email: kembalikan@yahoo.com


NETWORK


COUNTERPARTS

Indonesian NGOs
State's Agencies
International Organizations

YOUR COMMENTS

Powered by TagBoard
Name

URL / Email

Comments [smilies]



engine: Blogger

image hosting: TinyPic








layout © 2006
IKOHI / content © 2006 IKOHI Indonesia

public licence: contents may be cited with acknowledgement of the owner

best view with IE6+ 1024x768 (scripts enabled)