Peran ICC dan Pelanggaran HAM di Indonesia
Menyorot Peran ICC dalam Mengusut Pelanggaran HAM
Jakarta – Raut muka kekecewaan terpancar dari ibu-ibu maupun orang tua korban yang teraniaya. Kendati masih berlangsung, ruangan diskusi menjadi setengah kosong ditinggal banyak peserta yang lebih suka mencari penganan dan minuman hangat serta bercengkerama di luar ketimbang terus mendengar dialog dari para panelis.
Mereka tampaknya sudah tidak lagi antusias mengikuti seminar yang sebenarnya membahas topik yang menarik, yaitu memperkenalkan peran “Pengadilan Kejahatan Internasional (International Criminal Court – ICC) Sebagai Penyelesaian Alternatif Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)” yang berlangsung, Selasa (17/7), di suatu hotel di Jakarta.
Beberapa pembicara pun cukup berbobot, di antaranya Duta Besar Kanada John Holmes, Duta Besar Swiss Bernardino Regazzoni, Direktur Eksekutif ELSAM I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, Mulatiningsih dari Departemen Hukum dan HAM, dan Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) yang juga mantan korban penculikan, Mugiyanto.
Dilihat dari topiknya sempat muncul harapan dan keingintahuan yang besar dari para peserta – di mana banyak di antara mereka sudah berusia lanjut – bagaimana ICC bisa menjadi mekanisme alternatif atas sejumlah kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang masih menjadi “misteri”. Sebut saja Tragedi Semanggi I dan II tahun 1998, Tragedi Tanjung Priok tahun 1984, Pembersihan Kader-Kader PKI di akhir dekade 1960-an, Kasus Munir dan beberapa kasus penghilangan dan penculikan aktivis. ICC sendiri kini tengah menyelidiki empat kasus pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan di Darfur (Sudan), Uganda, Kongo, dan Republik Afrika Tengah (DRC). ICC juga telah memulai persidangan atas seorang tersangka dari DRC.
Kesalahpahaman
Namun, kekecewaan mulai muncul saat ada penjelasan bahwa ICC, yang baru dibentuk pada tahun 1998, memiliki yurisdiksi yang sangat terbatas dan tidak bisa begitu saja mengadili suatu kasus kejahatan maupun pelanggaran HAM. “Kalau ICC tidak bisa mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lampau, apakah ada perhatian bagi para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM?” kata Ibu Darwis, yang hingga kini masih terpukul dengan kematian anaknya akibat Tragedi Semanggi Mei 1998 dan hingga kini masih bertanya-tanya siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas tragedi tersebut.
Harapan Ibu Darwis dan para keluarga lain korban pelanggaran HAM di Indonesia tampaknya sulit dipenuhi oleh ICC. Menurut Regazzoni, situasi tersebut mencerminkan masih adanya kesalahpahaman banyak kalangan mengenai esensi dan peran ICC. “Ada harapan yang besar dari sebagian pihak bahwa ICC dapat langsung mengadili semua kasus pelanggaran di mana pun. Kesalahpahaman tersebut perlu diluruskan,” kata Regazzoni.
Pendapat senada diutarakan Holmes. Menurut Holmes, pengadilan internasional yang berbasis di Den Haag, Belanda, tersebut sebenarnya memiliki wewenang yang terbatas. “Kendati bernama Pengadilan Kriminal Internasional, yurisdiksinya tidak bersifat universal,” demikian kata Holmes, diplomat Kanada yang turut terlibat menyusun “Statuta Roma” yang menjadi dasar hukum ICC.
Pengadilan itu pun baru bertindak atas kasus di suatu negara yang sudah meratifikasi Statuta Roma. Satu hal lagi yang mengecewakan, ICC pun tidak bersifat retroaktif. “Pengadilan tidak bisa menyidangkan kasus yang terjadi di waktu sebelum negara peserta meratifikasi Statuta Roma,” kata Holmes. Jadi, selama Indonesia belum meratifikasi “Statuta Roma” – yang rencananya akan dilakukan tahun 2008 – ICC tidak mungkin menyidangkan suatu pelanggaran atau kasus kejahatan yang terjadi di waktu sebelum DPR meratifikasi perjanjian tersebut.
Selain itu, Holmes menegaskan bahwa ICC bukanlah pengadilan HAM dan juga bukan pengadilan banding. “ICC merupakan pengadilan yang bersifat komplementer, yaitu hanya menerapkan yurisdiksinya bila negara-peserta diketahui tidak berkeinginan atau tidak dapat mengusut atau menyidangkan suatu kasus,” kata Holmes. Dengan kata lain, kasus-kasus pelanggaran HAM besar di Indonesia di masa lampau – seperti Kasus Tragedi Semanggi 1998 dan Tanjung Priok 1984 – bisa dikatakan tidak mungkin dibawa begitu saja ke ICC untuk disidangkan.
Kecil pula kemungkinan ICC bisa memproses gugatan para korban dan keluarganya yang merasa tidak puas atas putusan maupun vonis yang diberikan hakim pengadilan nasional atas suatu kasus pelanggaran HAM. Wajar saja bila muncul kekecewaan dari sejumlah pihak yang hadir dalam diskusi tersebut. Ketua IKOHI, Mugiyanto, menyadari adanya kekecewaan tersebut dengan mengacu para prinsip non-retroaktif dan komplementer yang dianut ICC.
Pencegah
Kendati demikian, dia menilai bahwa keberadaan ICC, meski tidak bersifat retroaktif, bisa mencegah terulangnya kembali pelanggaran-pelanggaran HAM berat di Indonesia sekaligus menjadi pendorong bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem dan kinerja aparat hukum di negeri ini. “Itulah sebabnya ICC di masa datang dapat menjadi mekanisme alternatif bagi korban pelanggaran HAM. Bila institusi negara tidak mau mengusut dan menyidangkan suatu kejahatan, maka korban maupun pihak keluarga bisa mengadu ke ICC yang sifatnya independen,” kata Mugiyanto.
Dia pun optimistis bahwa para keluarga belasan aktivis yang masih “hilang” dapat pula mengadu ke ICC bila pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung, masih belum bersedia mengusut kasus penghilangan tersebut. Itu dengan catatan bila Indonesia sudah meratifikasi Statuta Roma yang rencananya akan dilaksanakan tahun 2008. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah seberapa serius upaya pemerintah dan DPR untuk mewujudkan hal tersebut? (ren)
Sumber: Sinar Harapan, 19 Juli 2007
Jakarta – Raut muka kekecewaan terpancar dari ibu-ibu maupun orang tua korban yang teraniaya. Kendati masih berlangsung, ruangan diskusi menjadi setengah kosong ditinggal banyak peserta yang lebih suka mencari penganan dan minuman hangat serta bercengkerama di luar ketimbang terus mendengar dialog dari para panelis.
Mereka tampaknya sudah tidak lagi antusias mengikuti seminar yang sebenarnya membahas topik yang menarik, yaitu memperkenalkan peran “Pengadilan Kejahatan Internasional (International Criminal Court – ICC) Sebagai Penyelesaian Alternatif Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)” yang berlangsung, Selasa (17/7), di suatu hotel di Jakarta.
Beberapa pembicara pun cukup berbobot, di antaranya Duta Besar Kanada John Holmes, Duta Besar Swiss Bernardino Regazzoni, Direktur Eksekutif ELSAM I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, Mulatiningsih dari Departemen Hukum dan HAM, dan Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) yang juga mantan korban penculikan, Mugiyanto.
Dilihat dari topiknya sempat muncul harapan dan keingintahuan yang besar dari para peserta – di mana banyak di antara mereka sudah berusia lanjut – bagaimana ICC bisa menjadi mekanisme alternatif atas sejumlah kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang masih menjadi “misteri”. Sebut saja Tragedi Semanggi I dan II tahun 1998, Tragedi Tanjung Priok tahun 1984, Pembersihan Kader-Kader PKI di akhir dekade 1960-an, Kasus Munir dan beberapa kasus penghilangan dan penculikan aktivis. ICC sendiri kini tengah menyelidiki empat kasus pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan di Darfur (Sudan), Uganda, Kongo, dan Republik Afrika Tengah (DRC). ICC juga telah memulai persidangan atas seorang tersangka dari DRC.
Kesalahpahaman
Namun, kekecewaan mulai muncul saat ada penjelasan bahwa ICC, yang baru dibentuk pada tahun 1998, memiliki yurisdiksi yang sangat terbatas dan tidak bisa begitu saja mengadili suatu kasus kejahatan maupun pelanggaran HAM. “Kalau ICC tidak bisa mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lampau, apakah ada perhatian bagi para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM?” kata Ibu Darwis, yang hingga kini masih terpukul dengan kematian anaknya akibat Tragedi Semanggi Mei 1998 dan hingga kini masih bertanya-tanya siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas tragedi tersebut.
Harapan Ibu Darwis dan para keluarga lain korban pelanggaran HAM di Indonesia tampaknya sulit dipenuhi oleh ICC. Menurut Regazzoni, situasi tersebut mencerminkan masih adanya kesalahpahaman banyak kalangan mengenai esensi dan peran ICC. “Ada harapan yang besar dari sebagian pihak bahwa ICC dapat langsung mengadili semua kasus pelanggaran di mana pun. Kesalahpahaman tersebut perlu diluruskan,” kata Regazzoni.
Pendapat senada diutarakan Holmes. Menurut Holmes, pengadilan internasional yang berbasis di Den Haag, Belanda, tersebut sebenarnya memiliki wewenang yang terbatas. “Kendati bernama Pengadilan Kriminal Internasional, yurisdiksinya tidak bersifat universal,” demikian kata Holmes, diplomat Kanada yang turut terlibat menyusun “Statuta Roma” yang menjadi dasar hukum ICC.
Pengadilan itu pun baru bertindak atas kasus di suatu negara yang sudah meratifikasi Statuta Roma. Satu hal lagi yang mengecewakan, ICC pun tidak bersifat retroaktif. “Pengadilan tidak bisa menyidangkan kasus yang terjadi di waktu sebelum negara peserta meratifikasi Statuta Roma,” kata Holmes. Jadi, selama Indonesia belum meratifikasi “Statuta Roma” – yang rencananya akan dilakukan tahun 2008 – ICC tidak mungkin menyidangkan suatu pelanggaran atau kasus kejahatan yang terjadi di waktu sebelum DPR meratifikasi perjanjian tersebut.
Selain itu, Holmes menegaskan bahwa ICC bukanlah pengadilan HAM dan juga bukan pengadilan banding. “ICC merupakan pengadilan yang bersifat komplementer, yaitu hanya menerapkan yurisdiksinya bila negara-peserta diketahui tidak berkeinginan atau tidak dapat mengusut atau menyidangkan suatu kasus,” kata Holmes. Dengan kata lain, kasus-kasus pelanggaran HAM besar di Indonesia di masa lampau – seperti Kasus Tragedi Semanggi 1998 dan Tanjung Priok 1984 – bisa dikatakan tidak mungkin dibawa begitu saja ke ICC untuk disidangkan.
Kecil pula kemungkinan ICC bisa memproses gugatan para korban dan keluarganya yang merasa tidak puas atas putusan maupun vonis yang diberikan hakim pengadilan nasional atas suatu kasus pelanggaran HAM. Wajar saja bila muncul kekecewaan dari sejumlah pihak yang hadir dalam diskusi tersebut. Ketua IKOHI, Mugiyanto, menyadari adanya kekecewaan tersebut dengan mengacu para prinsip non-retroaktif dan komplementer yang dianut ICC.
Pencegah
Kendati demikian, dia menilai bahwa keberadaan ICC, meski tidak bersifat retroaktif, bisa mencegah terulangnya kembali pelanggaran-pelanggaran HAM berat di Indonesia sekaligus menjadi pendorong bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem dan kinerja aparat hukum di negeri ini. “Itulah sebabnya ICC di masa datang dapat menjadi mekanisme alternatif bagi korban pelanggaran HAM. Bila institusi negara tidak mau mengusut dan menyidangkan suatu kejahatan, maka korban maupun pihak keluarga bisa mengadu ke ICC yang sifatnya independen,” kata Mugiyanto.
Dia pun optimistis bahwa para keluarga belasan aktivis yang masih “hilang” dapat pula mengadu ke ICC bila pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung, masih belum bersedia mengusut kasus penghilangan tersebut. Itu dengan catatan bila Indonesia sudah meratifikasi Statuta Roma yang rencananya akan dilaksanakan tahun 2008. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah seberapa serius upaya pemerintah dan DPR untuk mewujudkan hal tersebut? (ren)
Sumber: Sinar Harapan, 19 Juli 2007
1 Comments:
At Tuesday, December 13, 2011 8:39:00 AM, orang keren said…
peran indonesia di ICC apa?
Post a Comment
<< Home