Presiden dan HAM
PRESIDEN DAN HAM
Oleh Rini Kusnadi
Baru saja negeri ini melewati hajatan rutin lima tahunannya untuk menentukan perwakilan rakyat dan pemimpin negeri. Para legislator sudah terpilih dan presiden pun sudah terlihat di depan mata. Jika kita tengok sedikit ke belakang, maka kita akan dapati bahwa dari tiga pasangan capres dan cawapres, semuanya mempunyai dosa masa lalu yang berkaitan dengan pelanggaran HAM.
Adalah Prabowo Subianto yang terlibat dalam kasus penculikan aktivis tahun 1998, dimana sampai dengan saat ini masih ada 13 orang aktivis yang masih hilang. Komnas HAM menyimpulkan ada bukti permulaan pelanggaran HAM berat dalam kasus penghilangan orang secara paksa selama 1997-1998. Kesimpulan ini didasarkan penyelidikan dan kesaksian 58 korban dan warga masyarakat, 18 anggota dan purnawirawan Polri, serta seorang purnawirawan TNI. Abdul Hakim Garuda Nusantara (Ketua Komnas HAM pada 2006) meminta agar hasil penyelidikan yang didapat dapat dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung untuk membentuk tim penyidik, karena telah didapat bukti permulaan yang cukup untuk menyimpulkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan
Wiranto. Dalam laporan the Committee of Experts (COE) yang dibentuk oleh Sekjen PBB, disebutkan secara individual Wiranto (yang memangku otoritas tertinggi keamanan di Timor-Timur saat itu) bertanggung jawa atas pelanggaran berat HAM yang terjadi, baik yang dilakukan oleh TNI/Polri maupun milisi sipil pro-integrasi.
Susilo Bambang Yudoyono. Dari kaca mata umum mungkin dia terlihat sebagai seorang jenderal yang bersih dari kasus pelanggaran HAM. Tapi bila kita mau lebih teliti, ternyata dia bukanlah orang yang bersih tangannya dari darah rakyat Indonesia. Sebut saja kasus 27 Juli 1996. Dia dinilai ikut bertanggung jawab dalam kasus 27 Juli 1996 saat serangan ke kantor DPP PDI. Sebab, saat itu sebagai Kasdam, SBY dianggap mengetauhi rencana penyerangan tersebut. Dokumen dari Laporan Akhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya.
Belajar dari 5 tahun kempemimpinan SBY
Dapat kita lihat sepanjang lima tahun kepemimpinan SBY di negeri ini dalam penegakan HAM dan penuntasan kasus-kasus masa lalu yang terkait dengan pelanggaran HAM. Dari titik ini, maka kita akan dapat melihat seperti apa prospek penegakan HAM di Indonesia di tangan pemimpin yang baru.
Di bawah masa pemerintahannya, Mahkamah Agung menolak pemenuhan hak kompensasi dan rehabilitasi korban Tanjung Priok. Mahkamah Agung juga membebaskan pelaku pelanggar HAM untuk kasus Tanjung Priok, Abepura dan Timor Timur. Selain itu pihak Kejaksaan Agung menolak untuk menindaklanjuti penyidikan untuk kasus Trisakti, Semanggi I & II, Mei 1998, kasus penculikan aktivis 1997/1998, kasus Wasior Wamena, kasus Talangsari 1989. Pemerintah juga dinilai gagal untuk memenuhi hak korban lumpur Lapindo. SBY sebagai Presiden juga gagal memberikan sanksi hukum kepada PT. Minarak Lapindo dan Bakrie Group selaku pihak yang telah menyebabkan semburan lumpur.
Pula kita lihat kasus pelanggaran HAM “terbaru” yaitu kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. Kasus ini memang terjadi di masa sebelumnya, namun dalam 5 tahun kepemimpinannya, ternyata SBY juga tak mampu berbuat banyak terhadap kasus ini. Hanya berhasil memenjarakan Pollycarpus, sementara otak di balik pembunuhan ini yaitu Muchdi PR dinyatakan bebas oleh pengadilan negeri. Dan masih tak terlihat jelas bagaimana nasib dari AM Hendropriyono “teman sejawat” dari Muchdi PR. Dan masih banyak lagi kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi, yang mungkin saja terlewat untuk dicatat. .
Artinya dalam kurun waktu 5 tahun lalu atau sejak paska reformasi, baik dari sisi upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu, ataupun penegakan dan pencegahan pelanggaran HAM tidak mampu berjalan dengan baik.
HAM di 5 tahun ke depan
Sudah dipastikan bahwa di lima tahun ke depan, negeri ini kembali akan dipimpin oleh Susilo Bambang Yudoyono. Seorang mantan jenderal yang telah diulas dosa-dosanya dalam hal HAM. Dosa Pelanggaran HAM bagi pemerintah bukanlah sekedar melakukan pelanggaran HAM, namun juga dalam hal penegakan hukumnya. Jikalau pemerintah tidak mampu melakukan penegakan hukum dan penuntasan kasus pelanggaran HAM, maka bisa kita katakan dia juga telah gagal dalam penegakan HAM dan demokrasi di Indoensia.
Penegakan HAM dan perjuangan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM ke depan, baiknya memang tak lagi semata-mata bersandar pada pemerintahan, dalam hal ini adalah kegislatif, eksekutif dan yudikatif. Tak memungkinkan lagi bersandar pada tiga lembaga tersebut, karena sejarah dan perjuangan panjang para korban pelanggaran HAM tidak jua menemui titik terang dalam lima tahun belakangan ini.
Pilihan strategi perjuangan para korban pelanggaran HAM dalam sisi internal sudah dilakukan. Namun sayangnya, hanya dalam sisi penguatan korban saja hal itu terjadi. Dalam hal ini, baik sisi psikologis, ekonomi maupun organisasi korban. Namun ke depan, satu perspektif yang hari ini belum ada harus mulai tertanam dalam perjuangan para korban. Adalah sebuah perspektif perjuangan politik dari korban pelanggaran HAM yang harus ada di depan nanti. Cara pandang bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu ataupun yang mungkin saja akan terjadi di masa depan, merupakan sebuah tindakan politik dari pemerintahan yang ada. Misalnya pembunuhan Munir. Pembunuhan tersebut adalah sebuah pembunuhan politik yang harusnya pula di advokasi dalam perjuangan politik juga, yang tentunya tidak serta-merta meninggalkan perjuangan hukum.
Pula penting bagi para korban, untuk membuat dan membangun kekuatan politik sendiri sebagai bentuk nyata dari perjuangan politik para korban perlanggaran HAM. Yang dalam bentuk-bentuk praktisnya bisa termanifestasikan dalam respon terhadap moment-moment politik. Sehingga tak ada lagi karakter apatis dan harapan-harapan akan terwujudnya penegakan HAM tidak lagi disandarkan pada pemerintahan, namun lebih dipastikan harapan itu ada dari perjuangan politik dari kelompok para korban pelanggaran HAM. Tapi kekuatan atau organisasi tersebut haruslah berjalan beriringan dengan perjuangan dari kelompok-kelompok masyarakat yang lain, sehingga persatuan perjuangan benar-benar terwujud. Karena jika kita masih saja berjalan sendiri dalam perjuangan penegakan HAM, maka kita akan kembali mengulang tahun-tahun lalu dalam penuntasan kasus-kasus pelangaran HAM dan penegakan HAM.
* Penulis adalah staff Departemen Penguatan Korban IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia),