Eksposure Korban ke Aceh
EKSPOSURE KORBAN PELANGGARAN HAM KE ACEH
Oleh: Agnes Gurning[1]
Penandatanganan nota kesepahaman (MoU), antara pemerintah Indonesia dengan Kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, merupakan awal bagi lahirnya sebuah proses menuju kedamaian Aceh yang permanen. Peristiwa bersej! arah ini merupakan penantian panjang dan melelahkan dari para pendamba kedamaian, terutama masyarakat korban. Karena itu, dukungan terhadap kesepakatan damai tersebut menjadi penting, sebab disadari setiap tahapan proses yang akan dilalui memiliki potensi untuk gagalnya kesepakatan damai tersebut. Kegagalan perundingan pada masa Cessation of Hostilities Agreement (COHA), mesti menjadi pengalaman sejarah yang amat berharga untuk tidak sampai terulang kembali. Karena itu, menjaga, mengawal dan memastikan semua tahapan proses tersebut berjalan sesuai kerangka perjanjian dengan sendirinya menjadi penting dilakukan.
Korban pelanggaran HAM merupakan stakeholder utama dalam proses perdamaian ini. Di dalam MoU, secara tegas disebutkan bahwa korban merupakan pihak yang menjadi pihak pihak yang terlibat dalam setiap tahapan. Korban pelanggaran HAM bukan hanya ketika Pengadilan HAM memanggil para korban menjadi saksi atau ketika para Komisioner KKR mewawancarai para korban dalam rangka mengungkap kebenaran, tetapi korban juga akan terlibat pada saat pemberian amnesti bagi pelaku jika korban memberikan maaf. Apabila korban tidak solid maka peluang untuk di adu domba cukup besar serta para korban hanya menjadi objek pada pelaksanaan kedua instrumen tersebut.
Begitu juga dalam pelaksanaan proses reintegrasi. Korban merupakan kelompok yang disebutkan dalam MoU sebagai penerima dana reintegrasi. Tetapi dalam implementasinya, seolah olah korban hanyalah aktor sekunder dari proses reintegrasi itu. Korban tidak pernah terlibat dalam setiap perumusan kebijakan yang berkaitan dengan penyerahan dana reintegrasi. Akses informasi juga sangat tertutup selama pelaksanaan dana itu. Akibatnya, banyak dana yang disalurkan tidak tepat sasaran. Dan sementara korban yang sebenarnya tidak mendapatkan manfaat sama sekali.
Berdasarkan permasalahan di atas, menjadi penting keberadaan sebuah wadah korban yang efektif dalam mendorong dan memberi andil dalam setiap tahapan perdamaian. Wadah ini diharapkan dapat menjadi corong untuk menyuarakan aspirasi korban pelanggaran HAM dalam per umusan kebijakan Negara yang berdampak pada korban. Wadah yang dimaksud, sebenarnya telah didirikan pada tahun 2000 melalui Kongres Rakyat Korban se-Aceh pada tanggal 4 - 6 November 2000 di Gedung Sosial Banda Aceh. Wadah itu bernama Solidaritas Persaudaraan Korban Pelanggaran HAM (SPKP HAM).
Struktur kepengurusan SPKP HAM pun dibentuk. Dan sejak saat itu pula komunitas korban di Aceh ini mulai menjalankan kegiatannya dengan lebih terarah. Bantuan kesehatan, pengaduan kasus, investigasi dan advokasi korban terus dilakukan oleh SPKP HAM. Pada tahun 2001 tercatat lebih 300 kasus mereka tangani. Dukungan moral dan immaterial dari berbagai kalangan pun disalurkan melalui SPKP HAM ini.
Hampir 7 tahun sudah SPKP HAM berdiri. Berbagai lika-liku dan dinamika organisasi sudah mereka lewati. Bukannya mudah untuk tetap eksis sebagai organisasi korban hingga sekarang, terlebih setelah ditempa situasi konflik yang sempat memanas lagi dan pemberlakuan Darurat Militer di Aceh tahun 2003. Intimidasi dan terror pada periode tersebut sempat membuat aktivitas organisasi ini turun. Beberapa pengurusnya bahkan mengalami penculikan, penahanan dan juga penembakkan. Setelah masa ini, praktis organisasi mengalami status quo dan tak menjalankan aktivitas apapun.
Pasca tsunami, beberapa orang caretaker dan aktivis SPKP HAM berkumpul di sekretariat Koalisi NGO HAM untuk mendiskusikan kembali wadah organisasi korban ini. Semua peserta diskusi sepakat untuk membangun kembali organisasi korban ini dengan berbagai pertimbangan khususnya perlunya keterlibatan korban dalam setiap proses pengambilan kebijakan negara atas nasib korban. Untuk itulah disepakati agar dilaksanakan kongres kedua. Kongres kedua ini berlangsung pada tanggal 20 - 23 Juli 2007 di Saree, Aceh Besar.
Diselenggarakannya Kongres kedua ini tentu merupakan langkah penting yang menandai kebangkitan komunitas korban di Aceh. Pada masa damai sekarang ini ada ruang yang tersedia bagi komunitas korban ini untuk mencapai keadilan, yaitu Pen gadilan HAM dan KKR Aceh, terlepas dari segala kontroversi di sekitarnya. Namun kehendak korban untuk mengambil sikap dan posisinya sendiri dalam ruang tersebut merupakan sesuatu yang perlu didukung oleh banyak pihak. Sebab memang sudah saatnya bagi korban untuk bicara tentang nasibnya sendiri.
Kongres ini pun merupakan kesempatan emas yang sangat baik untuk korban pelanggaran HAM untuk saling berbagi pengalaman dan bertukar pikiran, tidak hanya bagi mereka yang ada di Aceh tetapi juga yang di luar Aceh. Karena itu, IKOHI sebagai wadah organisasi korban pelanggaran HAM di lingkup nasional pun berupaya agar ajang ini juga bisa dimanfaatkan sebagai pembelajaran bagi komunitas korban di wilayah lain. Dengan bantuan dari ICTJ (International Center for Transitional Justice) maka exposure korban pelanggaran HAM ke Aceh pun dilakukan. 10 orang korban yang berasal dari Papua, Poso, Makassar, Solo, Malang, Jakarta (3 orang) dan bahkan Timor Leste (2 orang) pun diberangkatkan ke Aceh untuk mengikuti Kongres kedua SPKP HAM tadi.
Eksposure ini bertujuan antara lain untuk: membangun tali solidaritas korban pelanggaran HAM; membangun jaringan organisasi korban pelanggaran HAM; saling bertukar strategi perjuangan korban merebut keadilan dan kebenaran; dan saling berbagi pengalaman tentang perjuangan dan aksi yang sudah dilakukan. Keragaman konteks yang terjadi di setiap daerah yang berbeda tersebut diharapkan akan menjadi bahan masukan dan diskusi yang kaya dalam kongres korban ini. Terlebih hadir pula korban dari Timor Leste yang pernah merasakan KKR di negaranya. Dengan demikian harapannya adalah korban dapat merumuskan strategi perjungannya ke depan dengan lebih baik.
Eksposure dilakukan tidak sekedar mengikutkan 10 korban tadi dalam kongres. Tetapi mereka akan meluangkan 1 hari sebelumnya untuk live-in di tempat tinggal komunitas korban yang ada di Aceh. Dari sini diharapkan agar mereka dapat berinteraksi secara lebih pri! badi sehingga dapat saling menggali informasi yang lebih mendalam.
Yang menarik juga, kesepuluh korban ini diperlengkapi dengan kamera dan buku catatan. Selama perjalanannya di Aceh, masing-masing dari mereka ditugasi untuk memotret dan mencatat setiap hal menarik yang mereka temukan. Kumpulan hasil catatan jurnal dan foto-foto yang dibidik oleh korban tentu akan menjadi bahan yang menarik yang bisa menonjolkan suara dan cara pandang korban.
Sampai saat tulisan ini dibuat, kongres koreban tersebut masih berlangsung. Sebelum korban berangkat ke Aceh, ada keantusiasan yang jelas mereka perlihatkan. Walaupun sebagai orang yang belum pernah masuk wilayah Aceh, ada pula yang menyimpan kekhawatiran tentang kondisi Aceh. Namun kekhawatiran tersebut tak menutup keinginan mereka untuk bersolidaritas dengan sesama korban pelanggaran HAM di Aceh. Untuk mengetahui hasil perjalanan mereka, kita bisa tunggu penuturan mereka seusai berkongres.
Galang solidaritas melawan impunitas!
[1] Penulis adalah Koordinator Divisi Pendataan dan Capacity Building - Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), sekaligus sebagai anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.