<body bgcolor="#000000" text="#000000"><!-- --><div id="flagi" style="visibility:hidden; position:absolute;" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><div id="flagtop"></div><div id="top-filler"></div><div id="flagi-body">Notify Blogger about objectionable content.<br /><a href="http://help.blogger.com/bin/answer.py?answer=1200"> What does this mean? </a> </div></div><div id="b-navbar"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-logo" title="Go to Blogger.com"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/logobar.gif" alt="Blogger" width="80" height="24" /></a><div id="b-sms" class="b-mobile"><a href="sms:?body=Hi%2C%20check%20out%20%5B%20Ikatan%20Keluarga%20Orang%20Hilang%20Indonesia%20%5D%20%3A%3A%20IKOHI%20Indonesia%20at%20ikohi.blogspot.com">Send As SMS</a></div><form id="b-search" name="b-search" action="http://search.blogger.com/"><div id="b-more"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-getorpost"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_getblog.gif" alt="Get your own blog" width="112" height="15" /></a><a id="flagButton" style="display:none;" href="javascript:toggleFlag();" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif" name="flag" alt="Flag Blog" width="55" height="15" /></a><a href="http://www.blogger.com/redirect/next_blog.pyra?navBar=true" id="b-next"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_nextblog.gif" alt="Next blog" width="72" height="15" /></a></div><div id="b-this"><input type="text" id="b-query" name="as_q" /><input type="hidden" name="ie" value="ISO-8859-1" /><input type="hidden" name="ui" value="blg" /><input type="hidden" name="bl_url" value="ikohi.blogspot.com" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_this.gif" alt="Search This Blog" id="b-searchbtn" title="Search this blog with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value='ikohi.blogspot.com'" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_all.gif" alt="Search All Blogs" value="Search" id="b-searchallbtn" title="Search all blogs with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value=''" /><a href="javascript:BlogThis();" id="b-blogthis">BlogThis!</a></div></form></div><script type="text/javascript"><!-- var ID = 3565544;var HATE_INTERSTITIAL_COOKIE_NAME = 'dismissedInterstitial';var FLAG_COOKIE_NAME = 'flaggedBlog';var FLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/flag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var UNFLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/unflag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var FLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif';var UNFLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/unflag.gif';var ncHasFlagged = false;var servletTarget = new Image(); function BlogThis() {Q='';x=document;y=window;if(x.selection) {Q=x.selection.createRange().text;} else if (y.getSelection) { Q=y.getSelection();} else if (x.getSelection) { Q=x.getSelection();}popw = y.open('http://www.blogger.com/blog_this.pyra?t=' + escape(Q) + '&u=' + escape(location.href) + '&n=' + escape(document.title),'bloggerForm','scrollbars=no,width=475,height=300,top=175,left=75,status=yes,resizable=yes');void(0);} function blogspotInit() {initFlag();} function hasFlagged() {return getCookie(FLAG_COOKIE_NAME) || ncHasFlagged;} function toggleFlag() {var date = new Date();var id = 3565544;if (hasFlagged()) {removeCookie(FLAG_COOKIE_NAME);servletTarget.src = UNFLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = false;} else { setBlogspotCookie(FLAG_COOKIE_NAME, 'true');servletTarget.src = FLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = true;}} function initFlag() {document.getElementById('flagButton').style.display = 'inline';if (hasFlagged()) {document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;} else {document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;}} function showDrop() {if (!hasFlagged()) {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'visible';}} function hideDrop() {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'hidden';} function setBlogspotCookie(name, val) {var expire = new Date((new Date()).getTime() + 5 * 24 * 60 * 60 * 1000);var path = '/';setCookie(name, val, null, expire, path, null);} Function removeCookie(name){var expire = new Date((new Date()).getTime() - 1000); setCookie(name,'',null,expire,'/',null);} --></script><script type="text/javascript"> blogspotInit();</script><div id="space-for-ie"></div>
IKOHI

Tuesday, January 29, 2008

PENGHORMATAN BAGI DIKTATOR: UPAYA PELUPAAN SEJARAH

Wanma Yetty *

Mantan presiden Soeharto telah meninggal dunia pada tanggal 27 Januari 2008 di RSPP. Setelah dirawat selama 24 hari, ia akhirnya menyerah dan meninggalkan beberapa kenangan dan in! gatan, baik bagi para pengikutnya dan penentangnya. Prosesi pemakaman pun segera dilaksanakan oleh Negara keesokan harinya. Dengan khidmat dan megah, jenazah Soeharto dimakamkan di Astana Giri Bangun, Karang Anyar. Lagu gugur bunga pun berkumandang di Astana Giri Bangun, mengiringi prosesi pemakaman Soeharto.

Prosesi pemakaman Soeharto memang dirasakan sangat diistimewakan oleh Negara. Mulai dari proses pemberangkatan jenazah sampai pada prosesi pemakaman memang benar-benar dipersiapkan dengan matang oleh Negara. Bahkan pemerintah pun mencanangkan hari berkabung nasional mulai dari tanggal 27 Januari – 2 Febuari 2008, dan menginstruksikan kepada seluruh instansi pemerintah dan swasta serta masyarakat luas untuk mengibarkan bendera setengah tiang selama 1 minggu.

Ini tentunya, bagi pemerintah dianggap sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasa Soeharto ketika ia memimpin bangsa ini. Memang semenjak ia sakit, sudah terhembus isu bahwa sebaiknya kesalahan-kesalahan Soeharto pada masa kepemimpinannya sebaiknya dimaafkan. Dan mulai terbentuk opini dari masyarakat bahwa Soeharto merupakan seorang yang banyak sekali jasanya dan memang layak dianggap sebagai pahlawan bangsa. Dengan memanfaatkan momentum tersebut, Partai Golkar mengusulkan agar Soeharto diberikan gelar kepahlawanan untuk mengingat jasa-jasanya.

Pembentukan opini di masyarakat tentunya juga didukung oleh media massa di Indonesia. Dengan penayangan secara eksklusif, media massa di tanah air selalu menampilkan jasa-jasa Soeharto pada masa kepemimpinannya dan sebagai bapak pembangunan. Inilah faktor yang sangat mendukung pembentukan opini di masyarakat, dan seolah-olah bahwa Soeharto merupakan sosok yang paling berjasa bagi bangsa ini. Pemberitaan Soeharto di media massa memang dirasa sangat tidak proporsional. Hal ini dikarenakan media m! assa sangat jarang untuk memberitakan akibat kebijakan mantan penguasa tersebut.

Upaya sistematis menutupi kebenaran sejarah
Tentu saja seluruh hal di atas terkait dengan suatu tujuan. Dengan terbentuknya opini bahwa Soeharto merupakan sosok yang paling berjasa bagi bangsa ini, maka menjadi benar jika sebaiknya segala kesalahan Soeharto dimaafkan. Isu ini sudah berkembang sejak Soeharto masih dirawat di RSPP. Bahkan upaya ini selalu saja dihembuskan oleh para pejabat Negara dan mantan pejabat Orde Baru.

Upaya ini dapat dianggap sebagai bentuk penyelamatan para kroni Soeharto yang turut terlibat dalam berbagai tindakan pelanggaran HAM dan korupsi pada masa Soeharto. Karena dengan himbauan agar memaafkan Soeharto, maka seolah-olah Seoharto merupakan orang yang paling bertanggungjawab terhadap segala bentuk pelanggaran HAM dan korupsi di jaman Orde Baru. Sementara kita tahu, bahwa pelanggaran HAM dan tindakan korupsi di masa lalu, tidak mungkin terjadi jika tidak didukung oleh para kroni dan para mantan pejabat Orde Baru.

Rakya t Indonesia “diajak” untuk melupakan segala bentuk kejahatan pelanggaran HAM yang pernah terjadi di masa lalu. Bahkan akhir-akhir ini berkembang suatu isu untuk mencabut Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme terkait Soeharto. Karena sebenarnya TAP MPR inilah yang mendasari segala bentuk penyelidikan terhadap kasus korupsi yang dilakukan oleh Soeharto. Dengan dicabutnya TAP MPR ini, maka tentunya para kroni dan mantan pejabat Orde Baru yang terlibat pada kasus korupsi di masa Soeharto akan terbebas dari tuntutan korupsi.

Selain itu, hal ini tentunya juga merupakan bentuk “pelanggengan” upaya manipulasi sejarah yang telah dibelokkan oleh penguasa Orde Baru tersebut. Karena dengan tidak dituntaskannya kasus-kasus pelanggaran HAM yang mengaitkan Soeharto, maka lagi-lagi para kroni dan mantan pejabat Orde Baru yang terlibat pada berbagai macam pelanggaran HAM masa lalu juga akan terbebas. Kita tahu ada berbagai macam pelanggaran HAM yang terjadi pada masa kekuasan Soeharto, seperti peristiwa 1965, DOM Aceh dan Papua, peristiwa Talangsari, Tanjung Priok, Haor Koneng, Petrus, Kedung Ombo, Waduk Nipah, Penghilangan paksa aktivis 97/98, 27 Juli 1996, Trisakti, Semanggi I dan II (TSS), Tragedi Mei 1998 dan masih banyak yang lainnya.
Implikasinya tentu saja, para generasi muda di Indonesia tidak akan mengetahui kebenaran sejarah yang terjadi. Sehingga hal ini juga termasuk pembohongan publik yang dilakukan secara sistematis oleh penguasa jika kasus-kasus pelanggaran HAM ini tidak diungkap. Karena dapat kita lihat, persepsi para pelajar di Indonesia saat ini mengira tidak ada pelanggaran HAM yang mengakibatkan jutaan orang menjadi korban pada masa Orde Baru. Dan hal ini akan menjadi sangat berbahaya, karena dengan ketidaktahuan mereka, bisa saja di kemudian hari pelanggaran HAM yang serupa akan menimpa mereka.

Nasib korban dan keluarga korban pelanggaran HAM
Ketika pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu tidak terungkap, maka tentunya korban dan keluarga korban pelanggaran HAM akan kembali menjadi korban. Mereka telah kehilangan sanak keluarga, harta benda, pekerjaan, kebebasan hidup mereka, dan akan sekali lagi akan menjadi korban dari manipulasi sejarah yang terus saja dilakukan sampai saat ini. Diskriminasi terhadap korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masih saja terjadi sampai sekarang dari masyarakat. Hal ini tentu saja tidak sepenuhnya salah masyarakat yang tidak mengetahui kebenaran sejarah yang terjadi pada masa lalu. Namun ini menjadi tanggung jawab pemerintah yang berkuasa, baik pada masa lalu dan saat ini yang telah membelokkan dan membiarkan kesalahan persepsi dari masyarakat terhadap korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.

Sampai saat ini ada beberapa korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang belum terbuka tentang latar belakangnya karena stigma yang dikenakan kepadanya. Sebut saja korban dan keluarga korban peristiwa 1965. Dengan stigma komunis yang disandangnya, maka masyarakat pun sampai sekarang masih menganggap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tersebut merupakan orang-orang yang memang harus dijauhi atau bahkan disingkirkan.
Atau tentang korban dan keluarga korban tragedi Mei 1998, yang dicap sebagai penjarah dan biang kerusuhan. Karena sitgma inilah, para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM menjadi sangat sulit untuk mencari sekolah atau mencari pekerjaan. Sehingga tentu saja, implikasinya adalah kehidupan ekonomi mereka juga menjadi terganggu. Belum lagi ketika mereka harus didiskriminasi oleh masyarakat, yang menyebabkan kehidupan sosialnya pun terganggu.

Selain itu tentu saja setiap orang yang mengalami pelanggaran HAM akan mengalami trauma. Trauma tersebut akan berdampak pada kehidupan sehari-hari korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Dan sampai kini belum ada upaya yang serius dari Negara untuk segera memberikan hak repa rasi bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Ini yang menyebabkan kehidupan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM menjadi sangat sulit untuk menjalani hidupnya.

Tanggung jawab Negara diabaikan
Masalah penuntasan kasus pelanggaran HAM merupakan tanggung jawab Negara. Berdasarkan paparan di atas, maka implikasi dari tidak dituntaskannya kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, maka akan berdampak pada generasi muda dan korban serta keluarga korban pelanggaran HAM. Jangan sampai generasi muda bangsa Indonesia tidak mengetahui kebenaran sejarah yang nantinya akan berimplikasi pada kehidupan bangsa ini. Karena mereka adalah calon-calon pemimpin bangsa ini, dan jangan sampai mereka yang melakukan kembali pelanggaran HAM di Indonesia atau bahkan mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM.

Sementara kehidupan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM juga harus diperhatikan oleh penguasa saat ini. Karena dengan berlarut-larutnya penuntasan kasus pelanggaran HAM di Indonesia, maka akan semakin memberatkan posisi dan kondisi dari para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Dan juga menjadi tanggung jawab Negara lah untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM dan memenuhi hak-hak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.

Negara seharusnya segera mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, karena hal itu menentukan keberlangsungan kehidupan bangsa ini. Namun indikasi Negara untuk berniat mengungkapkan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu belum terlihat sampai sekarang. Ini terlihat dari terkatung-katungnya nasib kasus pelanggaran HAM di masa lalu, yang sampai saat ini belum dapat dituntaskan oleh Negara. Ada beberapa kasus pelanggaran HAM yang sempat diadili melalui Pengadilan HAM ad hoc, namun hasilnya para pelaku terbebas dari segala tuduhan.

Hal ini tentunya menunjukkan keberpihakan Negara dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM masih menguntungkan bagi para pelaku. Sementara korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang telah menderita sama sekali tidak pernah diperhatikan oleh Negara. Maka dari itu, jika Negara tidak memperhatikan kondisi dan penderitaan korban serta keluarga korban pelanggaran HAM, maka dapat dipastikan Negara tidak memiliki komitmen terhadap penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Jika kita tahu, Negara tidak memiliki komitmen untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu! , maka d apat disimpulkan bahwa korban dan keluarga korban pelanggaran HAM tidak dapat berharap banyak pada penguasa sekarang. Maka sudah saatnya korban dan keluarga korban pelanggaran HAM mencari pemimpin yang benar-benar dapat memenuhi rasa keadilan bagi korban. Apalagi sebentar lagi, Pemilu 2009 akan diadakan di Indonesia untuk menentukan Presiden dan Wakil Presiden RI.

Sementara kita juga tahu, sampai saat ini belum ada pemimpin di Indonesia yang mampu memenuhi rasa keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Korban dan keluarga korban telah bertahun-tahun dijanjikan agar kasus pelanggaran HAM nya akan dituntaskan. Namun kenyataannya, sampai ! saat ini tidak ada satupun penuntasan kasus pelanggaran HAM yang dapat memenuhi rasa keadilan bagi korban. Jika kita tahu kondisinya seperti itu, maka sudah saatnya juga bagi korban dan keluarga korban untuk menentukan nasibnya sendiri. Korban dan keluarga korban pelanggaran HAM harus mengubah pola perjuangannya menjadi perjuangan politik. Artinya korban dan keluarga korban pelanggaran HAM harus menyatukan dirinya dengan gerakan rakyat sektor lainnya.

Selain itu juga harus dirancang pembangunan organisasi politik untuk merebut kekuasaan dari orang-orang yang tidak memiliki komitmen terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM. Karena selama kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang tidak memili! ki komit men terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM, maka kasus pelanggaran HAM di Indonesia tidak akan terselesaikan. Maka rakyat lah yang harus berkuasa dan memimpin bangsa ini, sehingga penuntasan kasus pelanggaran HAM dan perjuangan demokrasi dapat tercapai.


* Penulis adalah Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Jabodetabek, keluarga korban Tanjung Priok 1984

IKOHI menuntut Pengadilan atas Rejim Orde Baru

PERNYATAAN SIKAP

IKATAN KELUARGA ORANG HILANG INDONESIA - IKOHI
Atas Meninggalnya Diktator Soeharto

Tolak instruksi pengibaran bendera ½ tiang!
Tolak pemberian gelar kepahlawanan bagi Soeharto!
Tetap usut tuntas pelanggaran HAM di rejim Orde Baru!

Mantan presiden Soeharto telah meninggal pada tanggal 27 Januari 2008. Prosesi pemberangkatan jenazah dan pemakaman pun dilakukan secara kenegaraan. Ini menunjukkan pemerintah SBY-JK masih melihat bahwa Soeharto merupakan sosok mantan Presiden yang sangat berjasa, tanpa cela. Pemerintah juga menginstruksikan adanya hari berkabung nasional selama 7 hari, dimana seluruh instansi pemerintah dan masyarakat diminta untuk mengibarkan bendera ½ tiang. Menurut pemerintah hal ini sesuai dengan PP Nomor 62 tahun 1990. Lebih dari itu pemerintah juga merencanakan untuk memberi gelar pahlawan nasional kepada Soeharto karena jasa-jasanya kepada rakyat Indonesia.

Tentu saja bila kita melihat, perlakuan pemerintah terhadap jenazah Soeharto sangatlah berlebihan, walau ia seorang mantan presiden. Perlakuan ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan perlakuan terhadap jenazah mantan Presiden Soekarno. Sampai akhir hayatnya, Soekarno diasingkan dan tidak diperdulikan nasibnya sebagai seorang mantan presiden RI.

Soeharto bukanlah seorang pahlawan seperti yang digembar-gemborkan oleh para pejabat Negara dan mantan pejabat Orde Baru. Soeharto merupakan orang yang paling bertanggungjawab terhadap segala kehancuran republik ini, melalui praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk pelanggaran berat HAM, KKN serta kejahatan-kejahatan sosial, politik dan ekonomi lainnya. Karena politik otoriter Soehartolah yang menyebabkan kesenjangan-kesejangan sosial ekonomi rakyat Indonesia sampai pada masa sekarang.

Selain itu, sebagai seorang terdakwa pada kasus perdata korupsi yang sampai saat ini masih berjalan kasusnya, 7 hari pengibaran bendera setengah tiang dan pemberian gelar pahlawan nasional tentunya merupakan seauatu yang patut diberikan. Bahkan pemberian maaf kepada Soeharto pun harus ditolak, karena Soeharto belum dibuktikan pengadilan bersalah, ia sendiri tidak mengakui bersalah, dan ia juga tidak pernah minta maaf kepada rakyat Indonesia. Pemberian maaf hanya berlaku pada orang yang secara jujur dan tulus mengaku bersalah, dan karenanya ia meminta maaf.

Isu pemberian maaf yang sering dihembuskan oleh para pejabat Negara dan mantan pejabat Orde Baru patut dicurigai sebagai upaya penyelematan para kroni Soeharto yang terlibat dalam sebuah kejahatan pelanggaran HAM atau korupsi. Karena dengan menghembuskan isu untuk memaafkan Soeharto menyatakan bahwa seolah-olah yang bertanggungjawab terhadap pelanggaran HAM tindakan korupsi pada masa lalu hanya Soeharto. Selain itu, ini juga merupakan upaya sistematis manipulasi sejarah karena dengan isu pemaafan tersebut rakyat Indonesia diajak untuk melupakan seluruh pelanggaran HAM dan tindakan korupsi di masa lalu.

Walaupun Soeharto telah meninggal, para keluarga dan kroni Soeharto di jaman Orde Baru harus tetap bertanggungjawab terhadap pelanggaran HAM dan tindakan korupsi di masa lalu. Karena dengan begitu, hal ini akan mencegah terjadinya pelanggaran yang serupa di kemudian hari. Sehingga rakyat Indonesia di kemudian hari terbebas dari pelanggaran HAM yang pernah dilakukan oleh para penguasa Orde Baru.

Selain itu, hal ini juga akan memenuhi hak para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi sehingga mereka menjadi korban di masa lalu. Ketika terkuaknya penungkapan kebenaran pada beberapa kasus pelanggaran HAM, maka pemerintah juga harus memenuhi hak korban untuk direhabilitasi, restitusi dan kompensasi. Karena sudah bertahun-tahun korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu terkatung-katung hidupnya demi memperjuangkan hak-hak mereka.

Maka dari itu, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) menyatakan sikap:

  1. Menolak pengibaran bendera ½ tiang dan pemberian gelar kepahlawanan kepada Soeharto. Karena jelas Soeharto merupakan orang yang paling bertanggungjawab terhadap pelanggaran berat HAM dan tindakan korupsi pada masa rejim Orde Baru.
  2. Negara harus tetap mengusut kasus-kasus pelanggaran berat HAM dan tindakan korupsi yang dilakukan oleh Soeharto dan para kroninya. Karena ini merupakan sebuah pembelajaran demokrasi bagi rakyat Indonesia dan upaya mencegah terjadinya pelanggaran HAM di kemudian hari.
  3. Negara harus memperhatikan nasib para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM dan rakyat yang telah menjadi korban rejim Orde Baru. Karena dengan terkatung-katungnya proses penuntasan kasus pelanggaran HAM di masa lalu, maka akan semakin memberatkan kehidupan para korban pelanggaran HAM dan masyarakat secara umum.

    Jakarta, 29 Januari 2008
    Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia


    Ketua Sekretaris Umum


    Mugiyanto Sinnal Blegur

Keluarga Wiji Thukul Menolak Pengibaran Bendera Setengah Tiang

SIARAN PERS
KELUARGA WIJI THUKUL

“MENOLAK PENGIBARAN BENDERA SETENGAH TIANG DAN TETAP MENUNTUT PERTANGGUNGJAWABAN KEJAHATAN SOEHARTO DALAM KASUS PENGHILANGAN PAKSA AKTIVIS ANTI ORDE BARU”


Hari ini, Soeharto telah dikuburkan di liang lahat, namun itu bukan berarti menguburkan kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang menjadi tanggungjawabnya selama Soeharto memerintah negeri ini selama 32 tahun. Opini yang berlebihan dan mobilisasi puja-puji terhadap Soeharto tidak membuat kami, keluarga Wiji Thukul (korban penghilangan paksa 1997-1998), berubah sikap.

Tindakan Pemerintahan SBY-JK yang memerintahkan pengibaran bendera Merah Putih setengah tiang adalah kebijakan yang berlebihan dan menyakiti hati jutaan rakyat Indonesia yang menjadi korban pelanggaran hak-hak sipil politik dan hak-hak ekonomi sosial budaya semasa Soeharto berkuasa.

Hingga saat ini, kami, selaku adik kandung, istri, dan anak-anak Wiji Thukul, tidak pernah melupakan kebengisan kekuasaan Soeharto melalui aparat militer yang mengobrak-abrik rumah kami, mencuri buku-buku dan koleksi kaset kami dan membuat orang yang kami cintai, Wiji Thukul, hilang tak tentu rimbanya.

Untuk itu, sebagai bagian dari korban kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Soeharto, kami, keluarga Wiji Thukul, menolak mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang dan akan terus berjuang bersama seluruh korban menuntut pertanggungjawaban kejahatan kemanusiaan Soeharto, terutama untuk kasus penghilangan paksa aktivis anti Orde Baru.

Solo – Jakarta , 28 Januari 2008

1. Dyah Sujirah/Sipon (istri Wiji Thukul)
0817250854
2. Wahyu Susilo (adik kandung Wiji Thukul)
08129307964
3. Fitri Nganthi Wani (anak Wiji Thukul)
4. Fajar Merah (anak Wiji Thukul)

Media Pahlawan untuk Sang Diktator

Pergilah Tapi Kami Tak Akan Lupa

Artikel ini juga bisa dibaca di: http://www.iphoelmargin.blogspot.com/


Bulan Juni 1994, pemerintahan Soeharto mencabut ijin penerbitan tiga media nasional, Detik, Editor dan Tempo. Inilah rentetan sejarah kelam media dibawah rejim militer Soeharto. Media yang berani mengkritik kebijakan rejim Soeharto waktu itu tidak akan berumur panjang, bukan hanya itu, masih segar dalam ingatan kita kematian wartawan Bernas Udin, juga menjadi catatan hitam, bagaimana pekerja media bekerja dibawah baying-bayang kematian.

Minggu 27 Januari 2008, diktator itu telah berpulang, berbagai media berebutan untuk menayangkan berbagai liputan tentang kematian, masa kecil hingga pemakamannya. Media terkemuka tampil dengan liputan khusus serta materi yang lengkap dan dipersiapkan dengan matang. Soeharto menjadi pahlawan. Sementara itu berbagai media luar negeri juga ikut menayangkan kematian Soeharto, apa yang menarik? Tidak seperti media dalam negeri, media luar negeri seperti CNN, BBC, Al Jazeera tetap menampilkan sosok Soeharto sebagai sosok Diktator atau Koruptor.

Media dalam negeri seakan lupa, dengan menayangkan sosok Soeharto sebagai pahlawan, telah melukai banyak pihak yang selama ini, sebagaimana Detik, Editor dan Tempo, merupakan korban dari kekejaman rejim yang dipimpin Soeharto. Media seakan lupa apa yang telah ditinggalkan Soeharto, hutang, keterpurukan, kuburan tak bernama serta jutaan hektar tanah rampasan. Semua itu seakan hilang bersama kematian Soeharto. Bahkan media nasional lupa, Soehartolah orang yang telah mengurung mereka selama tigapuluh tahun lebih.

Nyawa seorang Soeharto ternyata lebih berarti bagi media, dibandingkan dengan nyawa para mahasiswa yang gugur dalam perjuangan menumbangkan Soeharto, atau lebih berarti daripada nasib aktivis yang dihilangkan oleh Soeharto. Di negeri ini nasib seorang diktator dan koruptor ternyata masih lebih baik dibanding nyawa para pahlawan reformasi itu. Untuk pahlawan reformasi itu, jangankan gelar pahlawan, hari berkabung saja tidak mereka dapatkan, kasusnyapun masih belum jelas hingga hari ini.

Sekali Lagi Tentang Melawan Lupa

Pinochet seorang diktator Chile, yang pada saat meninggalnya juga sama seperti Soeharto, sedang berstatus tersangka atas tindakan pelanggaran HAM yang dilakukannya, pemerintah Chile menolak untuk memberinya gelar pahlawan, bahkan upacara kenegaraan tidak diberikan kepada Pinochet.

Untuk Soeharto, mau ditaroh dimana muka kita, jika gelar itu ternyata diberikan kepada Soeharto, bagaimana menjelaskan kepada dunia internasional, orang yang paling bertanggung jawab pada keterpurukan bangsa ini, yang kekayaan pribadinya menurut majalah Forbes mencapai 600 Trilyun rupiah, orang yang sudah menjerumuskan negeri ini ke dalam abad kegelapan malah diberi gelar pahlawan.

Menarik tulisan Asvi Warman Adam, dalam tulisannya Asvi memaparkan bagaimana Soekarno dulu diperlakukan oleh Soeharto. Waktu itu Soekarno tidak boleh dikunjungi oleh siapapun, Pun ketika Soekarno dirawat di RSPAD Gatot Subroto, anaknya hanya boleh menjenguk di jam-jam tertentu. Permintaan terakhir Soekarno untuk bisa dimakamkan di bawah pohon rindang di Kebun Raya Bogor ditolak oleh Soeharto, dan sebagai gantinya Soekarno dimakamkan di sebuah pemakaman umum, itupun masih digali lagi untuk dipindahkan tanpa persetujuan keluarga Soekarno.

Lihatlah bagaimana seorang Soeharto memperlakukan Soekarno, ini bukan persoalan dendam, tapi jika bangsa ini sedemikian pelupanya, hingga memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto, maka inilah tragedi terbesar bagi sejarah nasional.

Dan hingga hari ini media masih menayangkan kepahlawanan Soeharto, bendera setengah tiang dan taburan bunga serta tokoh-tokoh penting yang melayat. Sementara itu sebuah tulisan singkat di internet memuat berita tentang penolakan gelar pahlawan dan bendera setengah tiang untuk Soeharto, mereka adalah korban-korban pelanggaran HAM, aktivis 98 dan orang-orang yang kini merasa miris karena orang yang telah menyengsarakan mereka, merampas hak mereka, kini dipuja bak pahlawan.

Di sebuah pemakaman umum terbaring jasad para mahasiswa yang tertembak pada tragedi semanggi, ribuan kuburan tak bernama, kuburan massal, tulang belulang korban pembantaian, seakan hendak mengatakan apa yang dikatakan Chairil Anwar, “kami mati muda, hanya tinggal tulang diliputi debu, kaulah sekarang yang berkata”, tapi memang benar kata Chairil Anwar, hari ini kerja belum selesai, bangsa ini belum bisa menghitung arti 4-5 ribu nyawa, satu nyawa, Soeharto ternyata mendapat tempat lebih daripada ratusan ribu nyawa lainnya.

Sekali lagi ini bukan masalah kemanusiaan, ini adalah masalah hukum, yang bersalah harus mempertanggungjawabkan kesalahannya, itu hukum Tuhan dimuka bumi, masih begitu bebalkah kita hingga ingin pula kita gantikan hukum Tuhan dengan berbagai alasan politik yang lebih mirip sebentuk kepengecutan?. Di gedung-gedung pengadilan, tumpukan berkas pemeriksaan kasus Soeharto sudah mulai berdebu, di tumpukan itulah nasib ratusan juta rakyat Indonesia dipertaruhkan, di gedung pengadilan itu pula akan kita saksikan, masih adakah jiwa-jiwa yang berani untuk tampil dan mengetukkan palu kebenaran “Soeharto terbukti bersalah”.


Giessen, 28 Januari 2008
Saiful Haq

Tuesday, January 22, 2008

Mugiyanto in 101 East - Aljazeera

Dear Friends,
Please visit the Aljazeera program 101 East, interview with Mugiyanto of IKOHI, Wimar Witoelar senior journalist and former spokesperson of Presiden Gus Dur and Dr. Emil Salim, former Soeharto economic advisor

"Soeharto - The Legacy of A Dictator"

Visit: http://www.youtube.com/watch?v=9AlgoDlaUsU and http://www.youtube.com/watch?v=JHwEd9aQGi4


IKOHI Administrator

Rights Activists Demand More Action

The Jakarta Post, January 18, 2007

Families of missing human rights activists demanded President Susilo Bambang Yudhoyono fulfill his election promise to resolve human rights violation cases.

The Association of Relatives of Missing People (IKOHI)'s chairman Mugiyanto said Thursday the government's poor handling of such cases had left thousands of families in the dark on the whereabouts of their loved ones.

He said the government lacked the will to deal with the cases. "The government isn't serious (about this) yet.

"The state is implementing the so-called politics of forgetting. We are made to forget the New Order regime transgressions."

He said he regretted recent initiatives that would see former president Suharto pardoned. "How can we gloss over bleak pages of our past," he asked, referring specifically to state-sponsored violence in 1965 and the 1989 Talang Sari massacre in Lampung.

Human rights activist Rido Triawan said, "The president can't speak on people's behalf and forgive Soeharto just like that.

"Legally speaking, Yudhoyono would need to grant amnesty or grace, but how can he grant that to someone who has never been tried ..."

As the right of New Order regime victims, Rido and Mugiyanto demanded investigations be resumed in unresolved cases including cases that had been dismissed by the Attorney General's Office (AGO).

Based on reports of missing persons received by IKOHI from families and relatives of the missing, the organization says at least 14 people disappeared between 1997 and 1998, just prior to the resignation of strongman Soeharto.

They said such disappearances should be the subject of ad-hoc human rights tribunals in order to provide legal and psychological closure to victims.

Most of those who went missing were pro-democracy activists, among them Democratic People's Party members Herman Hendrawan, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin and Hendra Hambali; street singer and poet Widji Thukul; and three members of the United Development Party, Deddy Hamdun, Noval Alkatiri and Ismail.

IKOHI also advocates the causes of victims of human rights cases such as the killings in 1965-66 of alleged communists, the 1984 Tanjung Priok massacre and cases arising during the Nanggroe Aceh Darussalam conflict.

"The president should recall the promises he made when he first assumed the presidency, namely resolving past cases of human rights abuse," Rido said, adding that human rights laws enacted in 1999 and 2000 needed to be revised to give greater authority to the National Human Rights Commission (Komnas HAM).

"Komnas HAM must have the same autonomy and authority as the Corruption Eradication Commission. Otherwise, we remain stuck with the AGO, which has so far stifled efforts to resolve human rights abuse."

Mugiyanto added, "The current regime needs to refer back to its founding principles and shift its paradigm from empty human rights rhetoric to substantial justice." (amr)

NAVIGATION
BUKU BARU!!!

Image and video hosting by TinyPic>

Kebenaran Akan Terus Hidup
Jakarta : Yappika dan IKOHI xx, 220 hlm : 15 x 22 cm
ISBN: Cetakan Pertama,
Agustus 2007
Editor : Wilson
Desain dan Tata letak :
Panel Barus
Diterbitkan Oleh :
Yappika dan IKOHI
Dicetak oleh :
Sentralisme Production
Foto : Koleksi Pribadi

Dipersilahkan mengutip isi buku dengan menyebutkan sumber.

Buku ini dijual dengan harga RP. 30,000,-. Untuk pembelian silahkan hubungi IKOHI via telp. (021) 315 7915 atau Email: kembalikan@yahoo.com


NEWEST POST



ARCHIVES


ABOUT



IKOHI was set up on September 17, 1998 by the parents and surfaced victims of disappearances. Since then, IKOHI was assisted by KONTRAS, until October 2002 when finally IKOHI carried out it first congress to complete its organizational structure. In the Congress, IKOHI decided its two priority of programs. They are (1) the empowerment of the social, economic, social and cultural potential of the members as well as mental and physical, and (2) the campaign for solving of the cases and preventing the cases from happening again. The solving of the cases means the reveal of the truth, the justice for the perpetrators, the reparation and rehabilitation of the victims and the guarantee that such gross violation of human right will never be repeated again in the future.

Address
Jl. Matraman Dalam II, No. 7, Jakarta 10320
Indonesia
Phone: 021-3100060
Fax: 021-3100060
Email: kembalikan@yahoo.com


NETWORK


COUNTERPARTS

Indonesian NGOs
State's Agencies
International Organizations

YOUR COMMENTS

Powered by TagBoard
Name

URL / Email

Comments [smilies]



engine: Blogger

image hosting: TinyPic








layout © 2006
IKOHI / content © 2006 IKOHI Indonesia

public licence: contents may be cited with acknowledgement of the owner

best view with IE6+ 1024x768 (scripts enabled)