<body bgcolor="#000000" text="#000000"><!-- --><div id="flagi" style="visibility:hidden; position:absolute;" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><div id="flagtop"></div><div id="top-filler"></div><div id="flagi-body">Notify Blogger about objectionable content.<br /><a href="http://help.blogger.com/bin/answer.py?answer=1200"> What does this mean? </a> </div></div><div id="b-navbar"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-logo" title="Go to Blogger.com"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/logobar.gif" alt="Blogger" width="80" height="24" /></a><div id="b-sms" class="b-mobile"><a href="sms:?body=Hi%2C%20check%20out%20%5B%20Ikatan%20Keluarga%20Orang%20Hilang%20Indonesia%20%5D%20%3A%3A%20IKOHI%20Indonesia%20at%20ikohi.blogspot.com">Send As SMS</a></div><form id="b-search" name="b-search" action="http://search.blogger.com/"><div id="b-more"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-getorpost"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_getblog.gif" alt="Get your own blog" width="112" height="15" /></a><a id="flagButton" style="display:none;" href="javascript:toggleFlag();" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif" name="flag" alt="Flag Blog" width="55" height="15" /></a><a href="http://www.blogger.com/redirect/next_blog.pyra?navBar=true" id="b-next"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_nextblog.gif" alt="Next blog" width="72" height="15" /></a></div><div id="b-this"><input type="text" id="b-query" name="as_q" /><input type="hidden" name="ie" value="ISO-8859-1" /><input type="hidden" name="ui" value="blg" /><input type="hidden" name="bl_url" value="ikohi.blogspot.com" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_this.gif" alt="Search This Blog" id="b-searchbtn" title="Search this blog with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value='ikohi.blogspot.com'" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_all.gif" alt="Search All Blogs" value="Search" id="b-searchallbtn" title="Search all blogs with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value=''" /><a href="javascript:BlogThis();" id="b-blogthis">BlogThis!</a></div></form></div><script type="text/javascript"><!-- var ID = 3565544;var HATE_INTERSTITIAL_COOKIE_NAME = 'dismissedInterstitial';var FLAG_COOKIE_NAME = 'flaggedBlog';var FLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/flag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var UNFLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/unflag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var FLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif';var UNFLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/unflag.gif';var ncHasFlagged = false;var servletTarget = new Image(); function BlogThis() {Q='';x=document;y=window;if(x.selection) {Q=x.selection.createRange().text;} else if (y.getSelection) { Q=y.getSelection();} else if (x.getSelection) { Q=x.getSelection();}popw = y.open('http://www.blogger.com/blog_this.pyra?t=' + escape(Q) + '&u=' + escape(location.href) + '&n=' + escape(document.title),'bloggerForm','scrollbars=no,width=475,height=300,top=175,left=75,status=yes,resizable=yes');void(0);} function blogspotInit() {initFlag();} function hasFlagged() {return getCookie(FLAG_COOKIE_NAME) || ncHasFlagged;} function toggleFlag() {var date = new Date();var id = 3565544;if (hasFlagged()) {removeCookie(FLAG_COOKIE_NAME);servletTarget.src = UNFLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = false;} else { setBlogspotCookie(FLAG_COOKIE_NAME, 'true');servletTarget.src = FLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = true;}} function initFlag() {document.getElementById('flagButton').style.display = 'inline';if (hasFlagged()) {document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;} else {document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;}} function showDrop() {if (!hasFlagged()) {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'visible';}} function hideDrop() {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'hidden';} function setBlogspotCookie(name, val) {var expire = new Date((new Date()).getTime() + 5 * 24 * 60 * 60 * 1000);var path = '/';setCookie(name, val, null, expire, path, null);} Function removeCookie(name){var expire = new Date((new Date()).getTime() - 1000); setCookie(name,'',null,expire,'/',null);} --></script><script type="text/javascript"> blogspotInit();</script><div id="space-for-ie"></div>
IKOHI

Thursday, August 23, 2007

Pekan Penghilangan Paksa Internasional 2007

Pekan Penghilangan Paksa Internasional 2007,

26-31 Agustus 2007

Galeri Cipta III, Teater I, Taman Ismail Marzuki

Jalan Cikini Raya No.73, Jakarta

A Week to Remember

Mengenang Korban, Melawan Lupa

Dalam rangka memperingati hari Penghilangan Paksa Sedunia yang jatuh setiap tanggal 30 Agustus, akan digelar rangkaian kegiatan untuk mengenang mereka yang telah menjadi korban penghilangan paksa. Kegiatan tersebut akan dilaksanakan selama sepekan, dimulai tanggal 26 hingga 31 Agustus 2007 ini di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Rangkaian kegiatan tersebut adalah:

Minggu, 26 Agustus 2007; Pukul 18.00 - 21.00 WIB

PERINGATAN ULTAH WIJI THUKUL & PELUNCURAN BUKU KEBENARAN AKAN TERUS HIDUP

Tanggal 26 Agustus merupakan tanggal lahir Wiji Thukul, seorang seniman-aktivis semasa Orde Baru. Salah satu larik puisinya yang sangat popular di kalangan gerakan pro-demokrasi adalah: “Hanya Ada Satu kata: LAWAN!”. Karena aktivitas seni perlawanannya, Wiji Thukul dihilangkan pada tahun 1998 dan belum kembali hingga saat ini.

Peringatan ulang tahun Thukul ke-44 di barengi dengan peluncuran buku Kebenaran Akan Terus Hidup yang berisi tulisan Wiji Thukul dan tulisan berbagai kalangan mengenai diri, gagasan dan kehidupan Wiji Thukul.

Susunan Acara:

· Pembukaan Acara A Week To Remember oleh Mugiyanto, ketua IKOHI.

· Sambutan oleh Ibu Shinta Nuriyah*

· Pemutaran Video Dokumentasi Wiji Thukul.

· Pembacaan Puisi oleh Sastrawan & Sastrawati Perwakilan dari; Cyber Sastra, Bunga Matahari, Forum Sastra Pembebasan, Dewan Kesenian Jakarta, Jaringan Kerja Budaya, dan Pelajar SMU.

· Thukul dimata kawan-kawan: Romo Bhaskara, Linda Christanty, Pemenang Baca Puisi Wiji Thukul.

· Pemotongan tumpeng oleh keluarga Wiji Thukul dan simbolis penyerahan buku.

Senin, 27 Agustus 2007, Pukul 14.00 - 20.00 WIB

TRIBUTE TO VICTIM

Kegiatan seni budaya yang dipersembahkan untuk korban penghilangan paksa dan korban pelanggaran HAM lain yang kasusnya belum selesai sampai saat ini. Kegiatan seni budaya ini dipersembahkan oleh aktivis HAM dan Prodemokrasi, Mahasiswa, Pemusik dan Kelompok seni lainnya. Persembahan ini berupa pementasan teater, musik, pembacaan puisi dan lagu-lagu perjuangan.

Susunan Acara:

· Pementasan Teater KASBI

· Pembacaan Puisi

· Pementasan Teater GMNI

· Musik oleh Korban TPST Bojong

· Musik oleh Marjinal dan Yayak Kencrit

· Pementasan Teater Pelangi Senja

· Musik oleh Kelompok Pekojan

· Musik oleh Oet Eno

· Kelompok-kelompok lainnya: FPPI, GMKI, Mahasiswa UN, RPM,

· SALUD, dan Siswi-siswi Santa Ursula

Rabu, 29 Agustus 2007

AKSI KE KEJAKSAAN AGUNG

Aksi ini ditujukan untuk mendorong kasus penghilangan 97-98 yang saat ini sedang ter-

hambat di meja Kejaksaan Agung setelah proses penyelidikan oleh KOMNAS HAM. Aksi ini dilakukan oleh panitia bersama pekan Penghilangan Paksa dan keluarga korban, berkumpul di TIM menuju ke Kejaksaan Agung.

Kamis, 30 Agustus 2007. 18.30 - 22.00 WIB

PELUNCURAN DAN DISKUSI BUKU NUNCA MAS!

Buku Nunca Mas yang berarti “Jangan Lagi” merupakan laporan CONADEP yang sangat terkenal di dunia. Buku Nunca Mas sendiri buku yang sangat relevan di Indonesia , karena memberikan inspirasi bagi gerakan korban pelanggaran HAM di Indonesia. Keberadaan kasus penghilangan paksa di Indonesia yang sekarang sedang diselidiki oleh Kejaksaan Agung dan menjadi perdebatan nasional merupakan momentum tepat untuk peluncuran buku ini.

Pembicara Diskusi:

· Mugiyanto, Ketua Ikohi

· Garda Sembiring, Editor Buku Nunca Mas

· Nur Iman Subono, Pemerhati Amerika Latin

· Horacio Rivenna, Direktur Team Perumusan RANHAM Argentina

Jum’at, 31 Agustus 2007

AUDIENSI KE DEPARTEMEN LUAR NEGERI

Audiensi ini dilakukan untuk mendorong pihak Departemen Luar Negeri untuk melakukan langkah-langkah konkrit yang dibutuhkan dalam upaya ratifikasi konvensi anti penghilangan paksa.

Konvensi ini sendiri sangat penting untuk menjamin setiap orang bebas dari

kejahatan penghilangan paksa.

Selain kegiatan-kegiatan tersebut, akan digelar pula pameran foto dan memorabilia korban dan pemutaran film-film dokumenter seputar kasus penghilangan paksa sepanjang pekan penghilangan paksa ini dengan penjadwalan sebagai berikut:

Minggu – Jum’at, 26 - 31 Agustus 2007

PAMERAN MEMORABILIA KORBAN PENGHILANGAN PAKSA

Pameran benda-benda korban penghilangan paksa dan juga pelanggaran HAM di Indonesia.

Senin – Jum’at, 27 - 31 Agustus 2007

PEMUTARAN FILM TENTANG PENGHILANGAN PAKSA

Film tentang Penghilangan Paksa akan diputar di Studio 1, TIM 21 Jakarta.

Jadwal Pemutaran Film

No.

Hari /Tanggal

Waktu

Judul Film

1

Senin, 27 Agustus 2007

14.15

- Batas Panggung

- Voice From The Darkness



17.30

- His Story, Documentary Film About Munir

- Tuti Kotto; A Brave Woman

- Wiji Thukul; Penyair dari Kampung

Kalangan Solo

2

Selasa, 28 Agustus 2007

14.15

- Healing Wounds Mending Scars

- Morning Till Dawn

- Kashmir Cries For Help

- Trampled Flowers

19.30

- Las Madres Plaza del Mayo

3

Rabu, 29 Agustus 2007

14.15

- His Story, Documentary Film About Munir

- Tuti Kotto; A Brave Woman

- Wiji Thukul; Penyair dari Kampung

Kalangan Solo

17.30

- Batas Panggung

- Voice From The Darkness

4

Kamis, 30 Agustus 2007

14.15

- Las Madres Plaza del Mayo

19.30

- Healing Wounds Mending Scars

- Morning Till Dawn

- Kashmir Cries For Help

- Trampled Flowers

5

Jum’at, 31 Agustus 2007

14.15

- Healing Wounds Mending Scars

- Morning Till Dawn

- Kashmir Cries For Help

- Trampled Flowers

19.30

- His Story, Documentary Film About Munir

- Tuti Kotto; A Brave Woman

- Wiji Thukul; Penyair dari Kampung

Kalangan Solo

Sinopsis Film

1. Batas Panggung (2004), durasi 47 menit. Sutradara: Lexy Rambadeta

Dokumentasi mengenai korban penghilangan paksa yang diculik pada tahun 1997-1998, kesaksian orang-orang terdekat mereka , serta kesaksian korban yang dibebaskan. Mereka menjadi korban karena aktivitas dalam gerakan melawan pemerintah Orde Baru.

Produksi: Off Stream – KontraS

2. Wiji Thukul; Penyair dari Kampung Kalangan Solo. Sutradara: Tinuk D. Yampolsky

Kisah perjalanan hidup seniman yang dihilangkan oleh negara karena sikap politik dan keberpihakannya kepada kaum miskin.

Produksi: Yayasan Lontar

3. His Story, Documentary Film About Munir, 28 menit . Sutradara Steve Pilar Setiabudi

Dokumentasi pengadilan tersangka pembunuhan aktivis HAM Munir, yang melibatkan Badan Intelijen Negara dan Garuda Indonesia. Terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot senior Garuda yang sedang tidak bertugas pada saat kejadian, dan diketahui mengajak Munir bertukar kelas di pesawat yang mereka tumpangi.

4. Tuti Koto; A Brave Woman (1999), 21 menit. Sutarada: Riri Riza

Dokumentasi perjuangan seorang ibu dalam menelusuri keberadaan anaknya yang dihilangkan secara paksa pada tahun 1997. Kesabaran dan keberaniannya menjalani setiap proses pengungkapan kasus yang menimpa sang anak.

5. Las Madres Plaza de Mayo

Perjuangan legendaris ibu- ibu Plaza del Mayo di Argentina dalam memperjuangkan nasib keluarganya yang dihilangkan.

6. Healing Wounds Mending Scars (2005), 60 menit.

Dokumentasi kesaksian keluarga korban penghilangan paksa di Asia yang tergabung dalam Asian Federation Againts Involuntary Dissapearances (AFAD), antara lain Srilanka , Pakistan , Indonesia , Filipina , Thailand , dan Kashmir .

7. Mourning Till Dawn (2006), 21 menit. Sutradara Butch Nolasco

Bercerita tentang keluarga korban penghilangan paksa di Filipina pada rezim Ferdinand Marcos. Menuturkan kisah para korban yang diculik oleh aparat keamanan, baik kepolisian maupun militer, berseragam dan bersenjata lengkap ataupun yang tidak berseragam. Biasanya mereka diculik lalu dimasukkan ke dalam mobil dan dibawa ke kantor polisi. Sebagian besar korban ditemukan telah tewas dan mayatnya ditinggalkan begitu saja.

8. Kashmir Cries For Help. 15 menit. Produser: Nazir Amir.

Bercerita tentang kekejaman tentara India yang melakukan pembunuhan, penyiksaan, penculikan, dan pemerkosaan terhadap etnik Kashmir

9. Trampled Flowers. 11 Menit. Produser: Muhammad Saadullah Khan

Bercerita tentang anak-anak etnik khasmir korban kekerasan tentara India. Para tentara India melakukan kekerasan hingga pembunuhan terhadap anak-anak Kashmir.

10. Voice from The Darkness (2006). 26 menit. Produksi: Unit Advokasi Film Nepal .

Bercerita tentang penghilangan paksa yang dilakukan tentara Kerajaan Nepal terhadap mereka yang dituduh sebagai pemberontak Maoist. Namun kebanyakan korban merupakan penduduk desa yang tidak terlibat pemberontakan.

PANITIA BERSAMA

AFAD (Asian Federation against Involuntary Disappearances), IKOHI, Masyarakat Perfilman Indonesia (MPI), Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), KineForum, Praxis, Yappika, PEC, KontraS, IGJ, HIVOS, Panon Photo, Ruang Rupa, Black Box, DEMOS, LBH Jakarta, HRWG, Forum Asia, Voice of Human Rights, 68H, ELSAM

Contact Persons:

  1. Simon – 0813.1810.4500
  2. Dhiah Hartini – 0815.9872.417
  3. Veronika Iswinahyu – 0812.813.8182

Friday, August 03, 2007

Kanada dan Swiss Dukung Indonesia Ratifikasi ICC

Peringatan Hari keadilan Sedunia

Kanada dan Swiss Dukung Indonesia Rativikasi ICC
17 Juli 2007 - 19:18 WIB
Yuliyanti

Jakarta – Pemerintah Kanada dan Swiss mendukung rencana Indonesia meratifikasi Pengadilan Kejahatan Internasional. Tahun ini tujuh negara di Asia akan menyatakan diri sebagai negara perwakilan yang menjalankan aturan peradilan itu.

Pernyataan dukungan itu diungkapkan Duta Besar Kanada, John T Holmes, dalam acara Peringatan Hari Keadilan Sedunia di Jakarta, Selasa (17/7).

Menurut John T Holmes, rencana pemerintah Indonesia meratifikasi Pengadilan Kejahatan Internasional atau International Criminal Court (ICC), dapat menjadi motor mempromosikan aturan hukum ini di negara-negara Asia.

John T Holme mengatakan, keuntungan menjadi negara pihak pelaksana ICC adalah dimungkinkannya menyeret para pelaku kejahatan HAM berat ke pengadilan internasional.

Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Mugiyanto mengatakan, meski ICC hanya bisa menindak kejahatan HAM berat yang terjadi setelah pengadilan itu dibentuk, 1 Juli 2002, tidak tertutup kemungkinan pelaku kejahatan penculikan paksa diseret ke pengadilan ini.

Menurut Mugiyanto, penculikan aktivis periode 1997-1998 hingga kini dianggap masih terjadi karena belum ada kejelasan nasib para korban. Ini berarti masih terbuka kemungkinan para pelaku kejahatan penculikan untuk diseret ke Pengadilan Kejahatan Internasional.

“Saya waktu itu salah satu korban, tapi sudah dipulangkan. Maka kasus pada saya sudah selesai menjadi kasus masa lalu. Tapi kasus penghilangan paksa ini masih ada 13 orang yang belum jelas keberadaannya,” ujar Mugiyanto.

Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Agung Putri Astrid Kartika mengatakan, ICC juga memiliki peran mencegah terbebasnya para pelaku kejahatan HAM berat dari jeratan hukum.

Menurut Agung Putri, ICC juga membuka peluang baru terwujudnya peradilan nasional yang bersih dan berwibawa karena mekanismenya mengikuti standar operasional pengadilan internasional.

“Ratifikasi ini tidak akan mencegah integritas bangsa. Tapi dengan adanya mekanisme ini kesempatan peradilan nasional bisa mengikuti peradilan internasional,” kata Agung Putri.

Sejak ICC dibentuk 1 Juli 2002, tercatat 100 negara meratifikasi aturan Pengadilan Kejahatan Internasional, yang berarti tunduk pada aturan hukum kejahatan HAM berat internasional. (E1)

Sumber: VHR Radio, Juli 2007

Ratifikasi ICC, Lawan Impunitas!

Ratifikasi ICC, Lawan Impunitas!
AFP/AMIS/STUART PRICE.

Sekelompok bocah di Sudan sedang bermain di sekitar kamp pengungsi Graida Internally Displaced People's (IDP) di selatan Darfur, Sudan, Rabu (18/7). Penemuan danau diharapkan bisa mengakhiri konflik empat tahun di kawasan kering Darfur. Lebih 200.000 orang terbunuh dan dua juta orang mengungsi akibat perebutan sumber alam di sebelah selatan. Dengan ICC, pelaku-pelaku kekerasan Darfur, bisa dihukum.

Perjuangan menuntut keadilan dan perlawanan menentang impunitas terus sisuarakan dengan lantang. Jalan panjang impunitas diharapkan bisa diakhiri dengan diadopsinya Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) oleh negara-negara di seluruh dunia.

Statuta Roma, yang disahkan dalam Konferensi Diplomatik di Roma tahun 1998, menandai berdirinya lembaga yang berwenang mengadili pengadilan berat hak asasi manusia (HAM). Pembentukan ICC merupakan tonggak penting dalam perjuangan melawan impunitas sekaligus ditegakkannya hak-hak korban pelanggaran HAM.

ICC adalah pengadilan permanen dan independen internasional yang dibentuk untuk menghukum pelaku empat kejahatan HAM berat, yang meliputi genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi.

Statuta Roma berlaku aktif sejak 1 Juli 2002 setelah syarat ratifikasi oleh 60 negara dipenuhi. Kini, lebih 100 negara telah menandatanganinya sebagai wujud komitmen akan perjuangan menegakkan keadilan dan hak-hak korban. Indonesia direncanakan meratifikasi Statuta Roma pada 2008 mendatang.

Rencana ratifikasi Statuta Roma-ICC oleh Pemerintah Indonesia tersebut tak urung disambut hangat. Mugiyanto, Ketua Ikatan Orang Hilang (IKOHI), ratifikasi dan implementasi ICC merupakan kebutuhan dan jaminan bagi masyarakat Indonesia untuk mencegah kejahatan atau pelanggaran HAM terulang. "Ini langkah awal yang positif bagi penegakan HAM di Indonesia," kata Mugiyanto, dalam diskusi "ICC sebagai Penyelesaian Alternatif Kasus Pelanggaran HAM" untuk memperingati Hari Keadilan Sedunia, yang diselenggarakan atas kerjasama Kedutaan Besar Swiss di Jakarta, IKOHI dan ELSAM, Selasa (17/7).

Menurut dia, ratifikasi dan implementasi Statuta Roma-ICC ke dalam sistem hukum nasional sangat dibutuhkan ketika impunitas masih menghalang-halangi keadilan bagi korban. Ratifikasi Statuta Roma diharapkan dapat mencabut tameng impunitas di dalam penegakan HAM di Indonesia, sebagaimana nampak pada pengadilan ad hoc kasus Timor Timur dan Tanjung Priok, serta pengadilan HAM kasus Abepura.

Pendapat serupa disampaikan oleh Duta Besar Kanada untuk Indonesia, John Holmes. Ia mengatakan, banyak kelompok yang mengakui ICC sangat bermanfaat, meskipun tidak bisa mengungkap kasus-kasus lampau karena sifatnya yang tidak retroaktif. "Setidaknya, ICC bisa mencegah terulangnya pelanggaran-pelanggaran HAM serupa di masa mendatang," ungkap Holmes saat diwawancarai SP, di Kedubes Kanada, Rabu (18/7).

Holmes berpendapat, harus ada perlindungan HAM di tingkat internasional untuk mencegah pelanggaran HAM berat yang bisa datang sewaktu-waktu. Ada sejumlah negara yang berharap tidak akan ada bahaya berupa pelanggaran hukum dan ketertiban. Kita pernah mengira ada sebuah negara yang stabil, tetapi tiba-tiba terjadi kasus. Tidak ada yang pernah menyangka bahwa pada era 1980-an Yugoslavia terpecah, terjadi perang sipil yang mengerikan. Holmes terlibat aktif dalam pembentukan Statuta Roma.

Reformasi Menyeluruh
Ratifikasi dan implementasi ICC memang bukan persoalan mudah. Dibutuhkan konsistensi pemerintah dan reformasi dalam kerangka penegakan HAM. Perubahan sistem hukum nasional juga harus dilakukan agar bisa menjamin penegakan keadilan dan pemenuhan hak-hak korban. Indonesia sebetulnya sudah menampakkan itikadnya untuk menjadi negara pihak (state party) dari ICC. Itikad tersebut antara lain dengan diundangkannya UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. UU tersebut dalam beberapa hal berusaha mengadopsi Statuta Roma tentang ICC. Tetapi, pengadopsian prinsip-prinsip Statuta Roma yang tidak sepenuh hati menyebabkan UU tidak bisa optimal menjatuhkan hukuman bagi pelaku pelanggaran HAM.

Sebelumnya, berbagai konvensi internasional telah berusaha diadopsi untuk menghapuskan praktik impunitas dengan mencantumkan aturan pertanggungjawaban komando dalam Statuta atau Piagamnya.

Contohnya, dalam Piagam Nuremberg dan Tokyo, Statuta ICTY dan ICTR, Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1977, dan Pasal 28 Statuta Roma. Indonesia juga telah mengadopsi aturan pertanggungjawaban komando dari ICC ke dalam Pasal 42 UU No.26 Tahun 2000. Kendati demikian, banyak terjadi kesalahan di dalam pengadopsian tersebut, sehingga menimbulkan celah-celah bagi terbebaskannya para pelaku, yakni komandan militer atau para atasan.

Perlindungan korban untuk pelanggaran berat HAM pun sebetulnya telah diupayakan, melalui Pasal 34 UU No.26 Tahun 2000 disusul dengan PP No.2 Tahun 2002 sebagai aturan pelaksanaannya. Tetapi jika dibandingkan dengan Statuta Roma, banyak aturan yang tidak terakomodasi dalam peraturan-peraturan tersebut. Contohnya, soal Trust Fund untuk kepentingan saksi dan korban yang didapat dari hasil denda atau penebusan, yang pengaturannya diserahkan kepada Majelis Negara Pihak.

Tak heran kalau Indonesia dinilai sebagai salah satu negara yang tidak serius dalam melindungi saksi dan korban. Ketika Pengadilan HAM Ad Hoc Timor Timur berjalan, banyak korban serta saksi yang tidak mau datang ke persidangan karena tidak yakin akan keamanannya, tidak ada perahasiaan korban, tidak ada rumah aman (safe house), serta khawatir akan perlakuan aparat.

Sejalan ICC
Pendapat berbeda dilontarkan oleh Mulatingsih, pejabat dari Direktorat Jenderal HAM Departemen Hukum dan HAM. Ia mengatakan di dalam bagian penjelasan Pasal 7 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dinyatakan, bahwa kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan telah sesuai dengan ICC.

Untuk memahami kedua jenis tindak pidana tersebut mau tidak mau harus dilakukan kajian legal spirit tentang genosida dan kejahatan kemanusiaan sebagaimana dirumuskan dalam Statuta Roma. Bagi dia, ada beberapa prinsip ICC yang telah diadopsi dalam UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Prinsip-prinsip itu antara lain, tidak dikenai peradilan in absentia kecuali terdakwa mengacaukan sidang, hak-hak terdakwa, saksi dan korban dilindungi dan dihormati, memberikan informasi yang bersifat rahasia, larangan pembuktian terbalik, serta larangan pemaksaan memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya. Statuta Roma juga menggariskan bahwa ICC merupakan pelengkap bagi yuridiksi pidana nasional.

Berarti, nantinya Mahkamah Pidana Indonesia harus mendahulukan sistem nasional. "Ini harus dilakukan, kecuali jika sistem nasional atau negara yang ada benar-benar tidak mampu dan tidak mau untuk melakukan penyelidikan atau menuntut tindak kejahatan yang terjadi, maka ini akan diambil alih menjadi di bawah yurisdiksi Mahkamah internasional," kata Mulatingsih.

Kendala NSA
Tidak hanya di wilayah domestik, ratifikasi ICC juga terkendala di level internasional. Sejumlah negara, termasuh Amerika Serikat, tidak kunjung bersedia meratifikasi ICC. Bagi AS, ketentuan-ketentuan Statuta Roma sangat merugikan. Sebab, AS memiliki banyak tentara di berbagai negara.

Ada kesepakatan yang mengganjal ICC, yakni Non-Surender Agreement (NSA), yang dimotori oleh AS. Ini adalah suatu perjanjian bilateral dua negara untuk mengecualikan warga negara masing-masing dari yurisdiksi ICC.

Pembentukan NSA dilakukan berdasarkan Pasal 98, di mana dua negara yang bersepakat untuk tidak menyerahkan warganya ke ICC, dijamin akan terbebas dari yurisdiksi ICC.
Untuk menghindar dari penuntutan di ICC, AS menggalang kerja sama bilateral NSA dengan berbagai negara. AS berhasil memiliki NSA dengan sekitar 100 negara, khususnya dengan negara kecil dan berkembang yang relatif mudah ditekan.

Indonesia sendiri hingga kini belum menerima tawaran NSA yang diajukan oleh AS, dan tampaknya tidak akan menyambut tawaran itu. [SP/Elly Burhaini Faizal]

Sumber: Suara Pembaruan Juli 2007

Peran ICC dan Pelanggaran HAM di Indonesia

Menyorot Peran ICC dalam Mengusut Pelanggaran HAM

Jakarta – Raut muka kekecewaan terpancar dari ibu-ibu maupun orang tua korban yang teraniaya. Kendati masih berlangsung, ruangan diskusi menjadi setengah kosong ditinggal banyak peserta yang lebih suka mencari penganan dan minuman hangat serta bercengkerama di luar ketimbang terus mendengar dialog dari para panelis.

Mereka tampaknya sudah tidak lagi antusias mengikuti seminar yang sebenarnya membahas topik yang menarik, yaitu memperkenalkan peran “Pengadilan Kejahatan Internasional (International Criminal Court – ICC) Sebagai Penyelesaian Alternatif Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)” yang berlangsung, Selasa (17/7), di suatu hotel di Jakarta.
Beberapa pembicara pun cukup berbobot, di antaranya Duta Besar Kanada John Holmes, Duta Besar Swiss Bernardino Regazzoni, Direktur Eksekutif ELSAM I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, Mulatiningsih dari Departemen Hukum dan HAM, dan Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) yang juga mantan korban penculikan, Mugiyanto.

Dilihat dari topiknya sempat muncul harapan dan keingintahuan yang besar dari para peserta – di mana banyak di antara mereka sudah berusia lanjut – bagaimana ICC bisa menjadi mekanisme alternatif atas sejumlah kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang masih menjadi “misteri”. Sebut saja Tragedi Semanggi I dan II tahun 1998, Tragedi Tanjung Priok tahun 1984, Pembersihan Kader-Kader PKI di akhir dekade 1960-an, Kasus Munir dan beberapa kasus penghilangan dan penculikan aktivis. ICC sendiri kini tengah menyelidiki empat kasus pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan di Darfur (Sudan), Uganda, Kongo, dan Republik Afrika Tengah (DRC). ICC juga telah memulai persidangan atas seorang tersangka dari DRC.

Kesalahpahaman
Namun, kekecewaan mulai muncul saat ada penjelasan bahwa ICC, yang baru dibentuk pada tahun 1998, memiliki yurisdiksi yang sangat terbatas dan tidak bisa begitu saja mengadili suatu kasus kejahatan maupun pelanggaran HAM. “Kalau ICC tidak bisa mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lampau, apakah ada perhatian bagi para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM?” kata Ibu Darwis, yang hingga kini masih terpukul dengan kematian anaknya akibat Tragedi Semanggi Mei 1998 dan hingga kini masih bertanya-tanya siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas tragedi tersebut.

Harapan Ibu Darwis dan para keluarga lain korban pelanggaran HAM di Indonesia tampaknya sulit dipenuhi oleh ICC. Menurut Regazzoni, situasi tersebut mencerminkan masih adanya kesalahpahaman banyak kalangan mengenai esensi dan peran ICC. “Ada harapan yang besar dari sebagian pihak bahwa ICC dapat langsung mengadili semua kasus pelanggaran di mana pun. Kesalahpahaman tersebut perlu diluruskan,” kata Regazzoni.

Pendapat senada diutarakan Holmes. Menurut Holmes, pengadilan internasional yang berbasis di Den Haag, Belanda, tersebut sebenarnya memiliki wewenang yang terbatas. “Kendati bernama Pengadilan Kriminal Internasional, yurisdiksinya tidak bersifat universal,” demikian kata Holmes, diplomat Kanada yang turut terlibat menyusun “Statuta Roma” yang menjadi dasar hukum ICC.

Pengadilan itu pun baru bertindak atas kasus di suatu negara yang sudah meratifikasi Statuta Roma. Satu hal lagi yang mengecewakan, ICC pun tidak bersifat retroaktif. “Pengadilan tidak bisa menyidangkan kasus yang terjadi di waktu sebelum negara peserta meratifikasi Statuta Roma,” kata Holmes. Jadi, selama Indonesia belum meratifikasi “Statuta Roma” – yang rencananya akan dilakukan tahun 2008 – ICC tidak mungkin menyidangkan suatu pelanggaran atau kasus kejahatan yang terjadi di waktu sebelum DPR meratifikasi perjanjian tersebut.

Selain itu, Holmes menegaskan bahwa ICC bukanlah pengadilan HAM dan juga bukan pengadilan banding. “ICC merupakan pengadilan yang bersifat komplementer, yaitu hanya menerapkan yurisdiksinya bila negara-peserta diketahui tidak berkeinginan atau tidak dapat mengusut atau menyidangkan suatu kasus,” kata Holmes. Dengan kata lain, kasus-kasus pelanggaran HAM besar di Indonesia di masa lampau – seperti Kasus Tragedi Semanggi 1998 dan Tanjung Priok 1984 – bisa dikatakan tidak mungkin dibawa begitu saja ke ICC untuk disidangkan.

Kecil pula kemungkinan ICC bisa memproses gugatan para korban dan keluarganya yang merasa tidak puas atas putusan maupun vonis yang diberikan hakim pengadilan nasional atas suatu kasus pelanggaran HAM. Wajar saja bila muncul kekecewaan dari sejumlah pihak yang hadir dalam diskusi tersebut. Ketua IKOHI, Mugiyanto, menyadari adanya kekecewaan tersebut dengan mengacu para prinsip non-retroaktif dan komplementer yang dianut ICC.

Pencegah
Kendati demikian, dia menilai bahwa keberadaan ICC, meski tidak bersifat retroaktif, bisa mencegah terulangnya kembali pelanggaran-pelanggaran HAM berat di Indonesia sekaligus menjadi pendorong bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem dan kinerja aparat hukum di negeri ini. “Itulah sebabnya ICC di masa datang dapat menjadi mekanisme alternatif bagi korban pelanggaran HAM. Bila institusi negara tidak mau mengusut dan menyidangkan suatu kejahatan, maka korban maupun pihak keluarga bisa mengadu ke ICC yang sifatnya independen,” kata Mugiyanto.

Dia pun optimistis bahwa para keluarga belasan aktivis yang masih “hilang” dapat pula mengadu ke ICC bila pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung, masih belum bersedia mengusut kasus penghilangan tersebut. Itu dengan catatan bila Indonesia sudah meratifikasi Statuta Roma yang rencananya akan dilaksanakan tahun 2008. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah seberapa serius upaya pemerintah dan DPR untuk mewujudkan hal tersebut? (ren)

Sumber: Sinar Harapan, 19 Juli 2007

NAVIGATION
BUKU BARU!!!

Image and video hosting by TinyPic>

Kebenaran Akan Terus Hidup
Jakarta : Yappika dan IKOHI xx, 220 hlm : 15 x 22 cm
ISBN: Cetakan Pertama,
Agustus 2007
Editor : Wilson
Desain dan Tata letak :
Panel Barus
Diterbitkan Oleh :
Yappika dan IKOHI
Dicetak oleh :
Sentralisme Production
Foto : Koleksi Pribadi

Dipersilahkan mengutip isi buku dengan menyebutkan sumber.

Buku ini dijual dengan harga RP. 30,000,-. Untuk pembelian silahkan hubungi IKOHI via telp. (021) 315 7915 atau Email: kembalikan@yahoo.com


NEWEST POST



ARCHIVES


ABOUT



IKOHI was set up on September 17, 1998 by the parents and surfaced victims of disappearances. Since then, IKOHI was assisted by KONTRAS, until October 2002 when finally IKOHI carried out it first congress to complete its organizational structure. In the Congress, IKOHI decided its two priority of programs. They are (1) the empowerment of the social, economic, social and cultural potential of the members as well as mental and physical, and (2) the campaign for solving of the cases and preventing the cases from happening again. The solving of the cases means the reveal of the truth, the justice for the perpetrators, the reparation and rehabilitation of the victims and the guarantee that such gross violation of human right will never be repeated again in the future.

Address
Jl. Matraman Dalam II, No. 7, Jakarta 10320
Indonesia
Phone: 021-3100060
Fax: 021-3100060
Email: kembalikan@yahoo.com


NETWORK


COUNTERPARTS

Indonesian NGOs
State's Agencies
International Organizations

YOUR COMMENTS

Powered by TagBoard
Name

URL / Email

Comments [smilies]



engine: Blogger

image hosting: TinyPic








layout © 2006
IKOHI / content © 2006 IKOHI Indonesia

public licence: contents may be cited with acknowledgement of the owner

best view with IE6+ 1024x768 (scripts enabled)