<body bgcolor="#000000" text="#000000"><!-- --><div id="flagi" style="visibility:hidden; position:absolute;" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><div id="flagtop"></div><div id="top-filler"></div><div id="flagi-body">Notify Blogger about objectionable content.<br /><a href="http://help.blogger.com/bin/answer.py?answer=1200"> What does this mean? </a> </div></div><div id="b-navbar"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-logo" title="Go to Blogger.com"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/logobar.gif" alt="Blogger" width="80" height="24" /></a><div id="b-sms" class="b-mobile"><a href="sms:?body=Hi%2C%20check%20out%20%5B%20Ikatan%20Keluarga%20Orang%20Hilang%20Indonesia%20%5D%20%3A%3A%20IKOHI%20Indonesia%20at%20ikohi.blogspot.com">Send As SMS</a></div><form id="b-search" name="b-search" action="http://search.blogger.com/"><div id="b-more"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-getorpost"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_getblog.gif" alt="Get your own blog" width="112" height="15" /></a><a id="flagButton" style="display:none;" href="javascript:toggleFlag();" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif" name="flag" alt="Flag Blog" width="55" height="15" /></a><a href="http://www.blogger.com/redirect/next_blog.pyra?navBar=true" id="b-next"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_nextblog.gif" alt="Next blog" width="72" height="15" /></a></div><div id="b-this"><input type="text" id="b-query" name="as_q" /><input type="hidden" name="ie" value="ISO-8859-1" /><input type="hidden" name="ui" value="blg" /><input type="hidden" name="bl_url" value="ikohi.blogspot.com" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_this.gif" alt="Search This Blog" id="b-searchbtn" title="Search this blog with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value='ikohi.blogspot.com'" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_all.gif" alt="Search All Blogs" value="Search" id="b-searchallbtn" title="Search all blogs with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value=''" /><a href="javascript:BlogThis();" id="b-blogthis">BlogThis!</a></div></form></div><script type="text/javascript"><!-- var ID = 3565544;var HATE_INTERSTITIAL_COOKIE_NAME = 'dismissedInterstitial';var FLAG_COOKIE_NAME = 'flaggedBlog';var FLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/flag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var UNFLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/unflag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var FLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif';var UNFLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/unflag.gif';var ncHasFlagged = false;var servletTarget = new Image(); function BlogThis() {Q='';x=document;y=window;if(x.selection) {Q=x.selection.createRange().text;} else if (y.getSelection) { Q=y.getSelection();} else if (x.getSelection) { Q=x.getSelection();}popw = y.open('http://www.blogger.com/blog_this.pyra?t=' + escape(Q) + '&u=' + escape(location.href) + '&n=' + escape(document.title),'bloggerForm','scrollbars=no,width=475,height=300,top=175,left=75,status=yes,resizable=yes');void(0);} function blogspotInit() {initFlag();} function hasFlagged() {return getCookie(FLAG_COOKIE_NAME) || ncHasFlagged;} function toggleFlag() {var date = new Date();var id = 3565544;if (hasFlagged()) {removeCookie(FLAG_COOKIE_NAME);servletTarget.src = UNFLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = false;} else { setBlogspotCookie(FLAG_COOKIE_NAME, 'true');servletTarget.src = FLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = true;}} function initFlag() {document.getElementById('flagButton').style.display = 'inline';if (hasFlagged()) {document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;} else {document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;}} function showDrop() {if (!hasFlagged()) {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'visible';}} function hideDrop() {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'hidden';} function setBlogspotCookie(name, val) {var expire = new Date((new Date()).getTime() + 5 * 24 * 60 * 60 * 1000);var path = '/';setCookie(name, val, null, expire, path, null);} Function removeCookie(name){var expire = new Date((new Date()).getTime() - 1000); setCookie(name,'',null,expire,'/',null);} --></script><script type="text/javascript"> blogspotInit();</script><div id="space-for-ie"></div>
IKOHI

Monday, February 26, 2007

Potret Tapol 1965 Sulawesi Tenggara

Dan LANGIT PUN BERPALING
Potret Eks Tapol di Sulawesi Tenggara[i]

Oleh : Saiful Haq[ii]

Sisi gelap sejarah nasional Indonesia tahun 1965, pertarungan politik elit yang menyebabkan lebih dari 1 juta orang terbunuh, belum lagi jutaan orang yang dipenjarakan tanpa proses hukum, dilakukan oleh rezim yang baru saja berkuasa atas nama perang melawan “Hantu Komunisme”. Peristiwa itu hingga kini masih menyisakan berbagai dimensi persoalan, banyak orang yang lebih senang memilih untuk melupakannya, ada pula yang mencoba terus bertarung untuk menemukan kebenaran dan keadilan atas peristiwa berdarah itu. Selain itu yang lebih menyakitkan adalah pihak yang tidak memiliki pilihan lain, pihak yang mencoba melupakannya tapi “tidak bisa”

.…Kini aku pulang, semoga dapat diterima, ingin kubuktikan maknanya bertobat, seperti impianku akan kubangun kecerahan, kubaktikan sisa hidup untuk kebajikan.. namun ternyata apa yang kuterima, semburan ludah sumpah serapah… nyatanya jiwaku tetap terpidana, sesungguhnya aku telah mati dalam hidup”.

Demikianlah sepotong bait sair lagu “Orang-orang terkucil” karya Ebiet G Ade, sedikit menggambarkan sosok-sosok korban yang bertebaran di seluruh pelosok Indonesia, ditolak, dipinggirkan dan terasing. Hukuman yang mereka terima berpuluh-puluh tahun ternyata tidak berhenti setelah bebas dari tahanan. Peminggiran, diskriminasi, stigma, stereotip, marginalisasi hingga persoalan hak milik tanah dan berbagai hak mereka sebagai warga negara seolah hilang hanya karena satu kalimat yang terus menerus menghantui mereka “EKS TAPOL”.

30 September 1965, setelah issue pemberontakan dewan revolusi yang diikuti dengan terbunuhnya 7 orang jenderal Angkatan Darat, PKI dituding berada dibelakang peristiwa tersebut. Gerakan pembunuhan dan penangkapan sistematis terhadap barisan pendukung Soekarno dilakukan merata diseluruh Indonesia. Kaum komunis, kaum nasionalis bahkan kaum agamis yang mendukung Soekarno ditangkapi dan dibunuh. Jutaan orang terbunuh sia-sia, sebagian lagi hilang dan yang sedikit lebih baik namun tidak lebih beruntung, ditangkapi dan di penjarakan tanpa proses hukum yang layak. Pulau Jawa memang merupakan daerah dengan jumlah korban yang paling massif dalam tragedi kemanusiaan ini. Namun bukan berarti daerah lain tidak mengalami hal yang sama, walau dalam kuantitas yang relatif lebih sedikit, tapi persoalan kemanusiaan bukan hanya persoalan kuantitas semata tapi juga dilihat dari kualitas akibat yang ditimbulkan oleh tindakan crimes against humanity, di Sulawesi tragedi tersebut menorehkan sayatan yang tidak kalah perihnya dengan yang terjadi di Jawa.

Pada tanggal 18 Oktober 1965, penangkapan pertama terjadi di Sulawesi Tenggara, delapan orang yang dituduh Pimpinan Daerah PKI ditahan oleh aparat dari KOREM 143. Pada tanggal 28 Oktober 1965 kerusuhan by design mulai meletus di Sulawesi Tenggara dan sekitarnya, masyarakat dengan dipandu oleh beberapa ormas dan organisasi kepemudaan mulai merusaki dan mengganyangi rumah-rumah orang yang dituduh PKI dan juga terhadap instansi yang dicurigai telah disusupi oleh PKI, tidak ada jumlah pasti kerugian dan korban jiwa dalam kerusuhan itu. Kendari, Buton, Makassar, Palu dan beberapa daerah lain di Sulawesi menjadi pusat dari kerusuhan massal tersebut.

Tahun 1968 merupakan puncak dari penangkapan terhadap orang yang dituduh PKI di Sulawesi, di Kendari tercatat lebih dari 200 orang ditahan. Karena lembaga pemasyarakatan di Kendari tidak mencukupi maka dibangunlah Rumah Tahanan Militer di Kendari. Tahun 1969 beredar issue bahwa daerah Buton sebagai pusat pasokan senjata PKI dari China, issue ini disebarkan oleh pihak KODAM, ratusan orang ditahan atas issue tersebut, kantor Bupati Buton ditengarai sebagai pusat operasi pemasokan senjata tersebut, puluhan staff kantor Bupati Buton ditangkapi, termasuk Kasim, Bupati Buton waktu itu yang beberapa bulan kemudian dinyatakan bunuh diri dengan menggantung diri dalam tahanan. Tahun 1969 Pangdam Wirabuana Andi Azis Rustam bersama Auditur Militer Kol. Busono dan Kol. Bagyo dari Direktorat Kehakiman Pusat mengeluarkan pernyataan bahwa di Buton tidak ditemukan senjata dan tidak ditemukan ada operasi pemasokan senjata dari China.

Dengan pernyataan itu, maka beberapa tahanan yang merupakan elit pemerintah Kabupaten Buton tetap ditahan, namun kemudian di pindahkan ke Moncongloe Makassar untuk di relokasi. Setelah penahanan massal yang dimulai tahun 1965, maka antara tahun 1968-1969 dilakukan interogasi atau screening oleh pihak yang ditugasi oleh pemerintah waktu itu, tercatat beberapa nama (tidak akan disebutkan disini) yang melakukan interogasi dengan siksaan. Tahanan yang diinterogasi dipaksa untuk mengakui apa yang tidak mereka lakukan dan selanjutnya menandatangani persetujuan atas Berita Acara Pemeriksaan, setruman, cambukan, sundutan dengan rokok, ujung jari yang dihimpit dengan meja dilakukan dalam proses interogasi tersebut.

1971, menjelang Pemilu, para tahanan dari RTM Kendari dan Buton dipindahkan ke Kamp Konsentrasi Tawanan Perang di Ameroro, gelombang pertama berjumlah 156 orang dan gelombang kedua sebanyak 200 orang. Para tahanan politik ini kemudian dimanfaatkan untuk mengerjakan proyek-proyek yang berada dibawah kontrol militer, kegiatan yang di beri nama Bakti Karya dipimpin langsung oleh Letkol Ahmad Haju Kepala staff Korem 143 merangkap kepala Taperda di Sulawesi Tenggara waktu itu. Proyek pembukaan lahan hutan ribuan hektar untuk lahan trasnmigrasi, perintisan jalan baru di pelosok hutan Sulawesi dikerjakan oleh para Tapol tanpa upah dan logistik yang jauh dari layak, tidak sedikit yang sakit dan mati dalam proyek tersebut. Ratusan orang dipekerjakan untuk membangun berbagai infrastruktur hingga tahun 1977.

Tanggal 26 Desember 1973, sebanyak 115 orang dipekerjakan untuk membangun kota baru yang disebut Resettlement Anduonoho sekarang mencadi Kecamatan Anduonoho, proyek ini dipimpin oleh Komandan Korem 143 Kolonel DN Lintang, para Tapol diperintahkan untuk membangun dermaga Lapuko, jalan kota, membuka hutan, mempersiapkan kavling-kavling tanah dan berbagai fasilitas pendukung lainnya termasuk membangun Pusat Latihan Kerja (Puslaja) Kendari. Setelah rampung pada tahun 1977, ratusan kepala keluarga (bukan Tapol) dari pinggiran Kendari dipindahkan ke Anduonoho, mereka mendapatkan kavling tanah dan menikmati berbagai fasilitas yang telah disediakan dan dibangun oleh para Tapol, hingga kini Anduonoho berkembang sangat pesat dan menjadi pusat hunian dan denyut ekonomi di Kendari.

Sementara itu 115 orang Tapol yang telah selesai membangun Resettlement Anduonoho pada tanggal 18 Desember 1977 dipusatkan di Nanga-nanga untuk membangun lokasi untuk Tapol yang akan segera dibebaskan, mereka membuka hutan seluas ± 1000 Ha, dan mendirikan 6 Barak untuk hunian sekitar 200 orang Tapol yang pada tahun berikutnya dipindahkan ke Nanga-nanga. Di Nanga-nanga inilah lebih dari 200 orang eks Tapol kemudian menjalani hidup baru tanpa fasilitas air bersih, listrik dan jalan tanah yang buruk. Hak kepemilikan lahan ini kemudian diserahkan oleh pemerintah secara resmi kepada eks Tapol melalui beberapa surat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi dan Kodam pada saat itu. Pihak International Committee of the Red Cross (ICRC) pernah berkunjung ke daerah ini pada tahun 1978 untuk melakukan audit lapangan, kawat duri yang tadinya dipasang mengelilingi wilayah ini dibuka agar tidak menyerupai kamp konsentrasi, kunjungan Palang Merah Internasional (ICRC) ini membuktikan bahwa ada dana yang turun untuk rehabilitasi Eks Tapol di Nanga-nanga, namun hingga kini tidak pernah ditemukan laporan resmi ICRC mengenai hasil audit mereka di daerah ini, baik laporan mengenai penggunaan dana maupun kelayakan hidup eks Tapol di Nanga-nanga.

Setelah lebih dari 30 Tahun mereka hidup di Nanga-nanga, persoalan ternyata tidak selesai, berbagai tindakan diskriminatif masih sering mereka terima, cibiran, stigma, dan keterbatasan akses sosial politik masih membuat mereka berbeda dengan warga yang non eks tapol. Bahkan dalam dua tahun terakhir, mereka mulai diusik dengan klaim-kalim sepihak atas tanah yang telah mereka olah selama 30 tahun lebih itu. Berbagai oknum mulai mencoba menjuali tanah-tanah mereka, klaim atas nama tanah adat menggugat hak legal atas tanah mereka, hal ini bukan terjadi begitu saja, tapi juga melibatkan oknum-oknum aparat desa dan pengusaha tentunya. Mencoba melawan berarti mempersiapkan diri untuk terulangnya suatu peristiwa yang jika bisa sebenarnya lebih senang mereka lupakan. Hingga kini, bersurat dan mengadu dari satu pintu birokrasi ke pintu kantor pemerintah lainnya jadi usaha yang paling aman untuk mereka lakukan, lebih dari itu? demonstrasi misalnya, itu sama saja undangan bagi maut, dari mereka yang selama ini masih memelihara hantu komunisme dalam ketakutan mistik di kepala mereka.

Berjalan melalui jalan aspal dari airport Wolter Monginsidi Kendari, menuju Konawe Selatan denyut ekonomi begitu terasa, jalur transportasi selalu merupakan prasyarat dari mobilisasi hasil produksi dan merupakan urat nadi kehidupan ekonomi. Angin pantai berhembus lembut di dermaga Lapuko, perahu nelayan tertambat, ikan dinaikkan ke darat, dijual hingga di santap di meja makan sambil disertai perbincangan bisnis dan handphone keluaran terbaru, tidak ketinggalan sinetron dan infotainment di TV ikut menyegarkan perbincangan di rumah-rumah. Memasuki Anduonoho tak pernah terpikir bahwa pada tahun 1977 masih merupakan hutan belantara, toko-toko, warung, rumah mewah dan mobil-mobil keluaran terbaru terparkir bersama keteduhan halaman yang menyiratkan kemapanan hidup panghuninya. Hujan bulan Nopember turun menjelang senja, disebuah persimpangan jalan ditengah kota Kendari terpampang sebuah spanduk rentang bertuliskan “WASPADA KOMUNISME GAYA BARU MULAI BANGKIT”.

Sementara itu di Nanga-nanga, daerah dimana para eks Tapol di relokasi sejak tahun 1977, puluhan gubuk yang berjauhan satu sama lain, gubuk yang reot, beralaskan tanah, makan malam belum juga siap karena kayu yang dikeringkan agak basah oleh hujan sore tadi. Disinilah, di Nanga-nanga, orang-orang yang dulu merintis jalan baru sepanjang Konawe Selatan, Trans Sulawesi Tenggara, membangun dermaga Lapuko, membangun kota Anduonoho dan menyebabkan orang lain hidup bahagia diatasnya.

Orang-orang ini pulalah yang hingga hari ini hidupnya terus dihantui oleh status mereka sebagai eks Tapol, orang-orang yang tanahnya mulai dijuali dan diserobot sedikit demi sedikit, orang yang tak henti-hentinya di beri stigma Hantu Komunisme yang sewaktu-waktu bisa meruntuhkan negara ini dengan tangan mereka yang tidak lebih kuat dari cengkeraman seorang balita.

Jasa mereka tak pernah dikenang, jalan yang mereka bangun puluhan tahun dengan tumpahan keringat, dermaga yang menghidupi banyak orang, kota yang dihuni oleh ratusan jiwa dengan tidur dan makan yang cukup, semua itu tidak punya arti. Setiap hari kota, dermaga dan jalan itu dilalui jutaan orang sambil meludahkan makian, DASAR KOMUNIS!!!

[i] Tulisan ini adalah hasil wawancara dengan beberapa narasumber di Kendari Sulawesi Tenggara
[ii] Bekerja untuk Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) Jakarta, dan peneliti untuk Center for Security Sector Management (CSSM) UK untuk wilayah Asia.

Tuesday, February 13, 2007

Harapan Baru dengan Konvensi Anti Penghilangan Paksa

Buletin Elektronik Prakarsa-Rakyat.org
SADAR
Simpul Untuk Keadilan dan DemokrasiEdisi: 27 Tahun III - 2007
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org


HARAPAN BARU
BAGI PERJUANGAN MELAWAN PENGHILANGAN PAKSA
Mugiyanto*


Akhir tahun 2006 lalu, tepatnya tanggal 20 Desember, Majelis Umum PBB, mengesahkan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Konvensi ini merupakan sebuah instrumen HAM internasional tentang penghilangan orang secara paksa, yang akan secara hukum mengikat (legally binding) negara-negara anggota PBB yang meratifikasinya. Kabar ini tentu sangat menggembirakan karena telah diperjuangkan oleh masyarakat internasional -terutama para keluarga korban- selama hampir 30 tahun terakhir.

Diawali oleh perjuangan Ibu-ibu
Pada awalnya, perjuangan untuk memiliki sebuah aturan hukum internasional ini dirintis oleh sekelompok ibu yang kehilangan anak-anaknya karena ditahan lalu dilenyapkan oleh pemerintahan junta militer di Argentina pada akhir tahun 1970-an. Ibu-ibu ini lalu mengatur diri dan melakukan protes diam dengan berjalan mengelilingi sebuah tugu di depan Istana Presiden Argentina setiap Kamis sore, di Plaza de Mayo. Karena itulah, sekelompok ibu-ibu ini mendapatkan julukan Las Madres de Plaza de Mayo (Ibu-Ibu di Plaza de Mayo).

Dari keringat, darah dan airmata ibu-ibu inilah, gelombang besar gerakan anti penghilangan paksa bergulung seperti tsunami di Amerika tengah dan selatan lainnya seperti Guatemala, Chile, El Salvador, Brasil, Costa Rica, Venezuela, Peru, Honduras, Uruguay dan Mexico. Dari belahan dunia inilah gerakan menentang praktik penghilangan paksa mengalir ke Eropa, sampai akhirnya memasuki badan-badan PBB.

Dari perjuangan itu, pada tahun 1980, PBB mendirikan mekanisme tematik khusus untuk kasus penghilangan paksa yang bernama Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Paksa (United Nations Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances - UNWGEID).

Kelompok Kerja ini memiliki mandat humanitarian dengan meneruskan laporan-laporan kasus individual oleh keluarga korban atau organisasi HAM ke pemerintah yang bersangkutan. Kelompok Kerja ini tidak memeliki wewenang memaksa pihak pemerintah untuk melakukan penyelidikan atau penuntutan atas sebuah kasus penghilangan paksa.

Lalu pada tahun 1992, Majelis Umum PBB mengesahkan Deklarasi PBB untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Deklarasi Anti Penghilangan Paksa). Deklarasi ini antara lain menyebutkan bahwa kasus tersebut tidak bisa dibenarkan atas alasan apapun. Namun, Deklarasi hanya merupakan ekspresi komitmen dan kesepakatan moral yang bersifat umum segenap anggota PBB untuk bersama-sama memerangi penghilangan paksa tanpa sanksi dan aturan yang mengikat negara-negara yang tidak mematuhinya.

Proses panjang pembahasan dan pengesahan Konvensi
Hasilnya, pada tahun 2002, Komisi HAM PBB membentuk Kelompok Kerja (Working Group) yang bertugas untuk merumuskan bentuk dan isi instrumen hukum yang dimaksud. Kelompok Kerja yang dipimpin oleh Duta Besar Perancis untuk PBB, Bernard Kessedjian ini mengadakan pertemuan dua kali setahun mulai tahun 2003 dengan me libatkan elemen masyarakat sipil. Pertemuan yang pernah diikuti oleh almarhum Munir ini sering diwarnai perdebatan panas, antara lain soal bentuk instrumen, apakah sebuah Protokol Tambahan (Optional Protocol) atas Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, ataukah sebuah Konvensi yang sama sekali terpisah.

Setelah perdebatan alot selama 3 tahun, akhirnya pada bulan September 2005, Kelompok Kerja tersebut menyetujui rancangan instrument dalam bentuk Konvensi untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.

Selanjutnya pada bulan Juni 2006 Dewan HAM PBB yang baru terbentuk mengesahkan Rancangan Konvensi Anti Penghilangan Paksa tersebut dan memutuskan untuk membawa Rancangan Konvensi untuk disahkan oleh Majelis Umum PBB. Akhirnya, tanggal 20 Desember 2006, Sidang Majelis Umum PBB di New York benar-benar mengesahkan Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa. Sejak saat itu, Rancangan Konvensi ini secara resmi telah menjadi Konvensi yang bisa segera diberlakukan secara aktif.

Tahun 2007 tahun krusial
Tahun 2007 adalah tahun krusial dalam usaha masyarakat global melawan penghilangan paksa karena pada tahun 2007, Konvensi Anti Penghilangan Paksa yang baru disahkan itu akan mulai diratifikasi oleh berbagai negara dan diberlakukan secara aktif (enter into force).

Menurut Konvensi tersebut, Konvensi akan berlaku secara aktif 30 hari setelah diratifikasi oleh 20 negara. Dibandingkan dengan Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang mensyaratkan 60 ratifikasi negara, Konvensi ini dipastikan akan bisa berlaku aktif jauh lebih cepat, yaitu pada bulan Maret 2007, mengingat tanggal 7 Pebruari 2007, sudah terjadi kesepakatan lebih dari 20 negara Eropa Barat dan Amerika Latin untuk melakukan ratifikasi terbuka di Paris, Perancis. Dalam konteks nasional, pengesahan Konvensi Anti Penghilangan Paksa oleh PBB harus dijadikan momentum dan dorongan bagi pemerintah beserta jajaran penegak hukumnya untuk menunjukkan komitmennya dalam penegakan HAM. Secara khusus, momentum ini harus dijadikan kesempatan untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Ad Hoc Komnas HAM atas kasus Penghilangan Paksa tahun 1997-1998 yang saat ini berhenti di kantor Jaksa Agung.

Di sini penulis juga berharap agar Pemerintah Indonesia menjadi salah satu negara yang melakukan ratifikasi terbuka di Paris, Perancis pada bulan Pebruari 2007. Ratifikasi oleh Indonesia ini akan menjadi ukuran konsistensi sikap Indonesia sebagaimana disampaikan oleh Menlu Hassan Wirajuda yang dalam pidato pembukaan Sidang Pertama Dewan HAM PBB tanggal 22 Juni 2006 yang menyatakan Indonesia "akan memprioritaskan perlindungan non-derogable rights (hak dasar yang tidak bisa ditunda pemenuhannya), dan membuang jauh-jauh praktik extrajudicial killing (pembunuhan diluar prosedur hukum) dan enforced disappearances (penghilangan paksa). Ratifikasi oleh Indonesia juga akan sejalan dengan sikap Indonesia yang menjadi salah satu negara sponsor pengesahan Konvensi dalam Sidang Majelis Umum PBB ke 61 tanggal 20 Desember 2006 yang lalu.

Efektifitas Konvensi
Ketika Indonesia meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa, berarti Indonesia menjadi negara pihak (state party) atas Konvensi tersebut. Artinya pula, Indonesia mengikatkan diri pada aturan-aturan sebagaimana disebutkan dalam Konvensi. Konsekuensi lanjutannya, Indonesia harus menyesuaikan aturan-aturan hukum nasional supaya sejalan dengan Konvensi dimaksud.

Pertanyaannya kemudian, sejauh mana Konvensi bisa efektif memerangi penghilangan paksa, mengingat Indonesia sudah meratifikasi berbagai Konvensi internasional, namun tidak terimplementasi secara baik?

Pertama, Konvensi menegaskan bahwa tidak ada alasan apapun yang membenarkan tindak penghilangan paksa. Konvensi juga menyatakan bahwa penghilangan paksa adalah pelanggaran yang berkelanjutan (continuing offense) dan merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Konvensi melarang seseorang ditahan di tahanan rahasia dan semua negara pihak harus memiliki catatan resmi atas orang-orang yang sedang ditahan.

Konvensi juga mengharuskan semua negara pihak untuk menjadikan penghilangan paksa sebagai tindak pidana tersendiri dalam hukum pidana nasional. Selain itu, Konvensi juga mengharuskan negara pihak untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan bekerjasama dalam mencari, menyelidiki dan membebaskan orang-orang yang dihilangkan. Bila korban dinyatakan meninggal, negara pihak harus melakukan penggalian (exhumation), pengidentifikasian dan mengembalikan mayat atau kerangka kepada keluarga.

Selanjutnya, disebutkan Konvensi menjamin hak anggota keluarga dan masyarakat untuk mengetahui nasib dan keberadaan korban serta untuk mengetahui kemajuan dan hasil penyelidikan. Yang tak kalah pentingnya, Konvensi menjamin hak-hak korban atas pemulihan serta kompensasi yang cepat dan adil.

Kedua, untuk memastikan bahwa aturan Konvensi dijalankan oleh Negara pihak, Konvensi memiliki Badan Pemantau (Monitoring Body) yang bernama Komite Penghilangan Paksa (Committee on Enforced Disappearances). Komite ini beranggotakan 10 orang ahli yang kompeten, berdedikasi, berintegritas dan mewakili wilayah geografis internasional serta secara jender berimbang.

Komite inilah yang akan melakukan tugas-tugas antara lain menerima, menanggapi dan memberikan rekomendasi atas laporan negara pihak mengenai langkah-langkah yang diambil di tingkat nasional. Komite juga memiliki wewenang untuk meminta informasi dari negara pihak tentang orang yang dilaporkan hilang, serta memintanya melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencari korban. Selain itu, atas persetujuan negara pihak, anggota Komite juga bisa melakukan kunjungan ke sebuah negara pihak dan mengeluarkan laporan atas hasil kunjungan tersebut ke Komite.

Yang tak kalah pentingnya, untuk menjamin efektifitas Konvensi, Komite Penghilangan Paksa memiliki wewenang untuk membawa ke Sidang Majelis Umum PBB melalui Sekjen PBB bila terdapat negara pihak yang sama sekali tidak mau bekerjasama, dan bila ada indikasi bahwa tindakan penghilangan paksa sedang terjadi secara sistematis atau meluas.

Pertanda awal penegakan HAM 2007
Adanya Konvensi Anti Penghilangan Paksa tidak akan secara otomatis melenyapkan praktik penghilangan paksa dari muka bumi. Disahkannya Konvensi Anti Penghilangan Paksa secara konsensus berarti adanya kesepakatan hukum yang mengikat negara-negara anggota PBB untuk bersama-sama menghentikan, mencegah dan menghukum pelaku tindakan penghilangan paksa. Pengingkaran dan pelanggaran atas aturan-aturan Konvensi yang telah diratifikasi akan menjadikan sebuah negara pihak tercoreng dan terkucil dari pergaulan masyarakat dunia yang beradab.

Implementasi di tingkat nasional yang harus dilakukan setalah proses ratifikasi, sepenuhnya ditentukan oleh sejauh mana pemerintah sebuah negara benar-benar berkomitmen memerangi tindakan keji yang oleh masyarakat internasional dianggap sebagai hostis humanis generis ini.
Indonesia, yang kini duduk di dua lembaga terhormat PBB yaitu Dewan HAM (United Nations Human Rights Council) dan Dewan Keamanan (United Nations Security Council) diharapkan bisa menjadi contoh dan inspirasi bagi negara-negara lain dalam implementasi penegakan HAM, khususnya dalam isu penghilangan paksa dengan cara meratifikasi Konvensi.

Secara paralel, laporan penyelidikan Ad Hoc Komnas HAM untuk kasus penghilangan paksa tahun 1997-1998 juga musti segera ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung. Bila demikian, hal ini bisa menjadi pertanda awal yang baik bagi pemerintahan SBY-JK di tahun 2007 dalam bidang penegakan HAM.

----------------------------------------------------------
* Penulis adalah Ketua Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) dan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), sekaligus sebagai anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

Friday, February 02, 2007

Mencari Politik Penyelesaian Pelanggaran HAM oleh SBY

Harian Kompas, 30 Januari 2007

Pelanggaran HAM
Menanti Arah Politik Penyelesaian Presiden
Budiman Tanuredjo

Dua surat Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dikirimkan pada 6 November dan 27 November 2006. Dua bulan surat yang ditandatangani Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara itu tidak mendapat tanggapan dari Kantor Kepresidenan.

Padahal, substansi surat itu bukan hal ringan. Surat tertanggal 6 November 2006 berisi keinginan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membicarakan permasalahan hak asasi manusia yang dihadapi bangsa Indonesia. Meski Indonesia telah menandatangani Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, kondisi hak asasi manusia belum sepenuhnya terwujud.

Surat kedua tanggal 27 November 2006 berisi hasil penyelidikan proyustisia pelanggaran hak asasi manusia berat berupa penculikan aktivis 1997-1998. Dalam surat kedua itu juga dilampirkan satu berkas ringkasan eksekutif hasil penyelidikan. Satu hal penting yang disampaikan Abdul Hakim adalah meminta Presiden Yudhoyono memerintahkan aparat negara yang berwenang mengusut ketidakpastian keberadaan dan/atau nasib 13 orang yang masih hilang. "Mereka harus ditemukan dan dikembalikan kepada keluarganya dalam keadaan apa pun," kata Abdul Hakim kepada Kompas, pekan lalu.

Nasib kedua surat itu baru ditanggapi Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, Jumat, 26 Januari 2007. Yusril mengatakan, Presiden sudah menerima surat dari Komnas HAM serta Kantor Menko Politik, Hukum, dan Keamanan menelaah hasil penyelidikan Komnas HAM soal penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998.

Abdul Hakim mengaku kaget mendengar respons Yusril. "Kok baru sekarang. Padahal, surat itu sudah dikirimkan dua bulan lalu," ucap mantan Ketua Dewan Yayasan LBH Indonesia ini.
Upaya bangsa Indonesia menyelesaikan kasus penculikan aktivis, termasuk kasus pelanggaran hak asasi manusia berat, memang baru sebatas korespondensi antarpejabat negara dan diskursus di media massa atau retorika rapat kerja di parlemen. Padahal, dalam konstruksi hukum internasional, pelaku pelanggaran hak asasi manusia berat dikategorikan sebagai hostis humani generis (musuh seluruh umat manusia).

Sebagaimana dalam kasus penghilangan orang secara paksa, korespondensi terjadi antara Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dan Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara. Kemudian ditanggapi juru bicara kepresidenan dan kemudian Menteri Sekretaris Negara di media massa.

Tak heran, ketika korban penculikan, seperti Mugiyanto, meminta agar Presiden Yudhoyono sendiri berbicara soal nasib mereka, nasib korban penculikan yang masih tak bisa berbicara. Bekas korban penculikan memang tak semuanya masih sejalan. Bahkan, ada di antara mereka yang sudah berseberangan posisi. Namun, masih ada pula yang terus berjuang untuk mendapatkan keadilan substantif!

Bagi Mugiyanto yang masih bisa dengan lancar menjelaskan rute perjalanan ketika ia ditangkap di rumah susun Klender sampai diserahkan ke Polda Metro Jaya sebagai terminal akhir, tanggapan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh terlalu menyakitkan. Jaksa Agung mengaku tak bisa menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM karena belum ada keputusan DPR membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. "Menemukan kembali 13 orang yang masih hilang adalah lebih substansial daripada memperdebatkan soal pasal. Dan itu membutuhkan kepemimpinan kuat Presiden Yudhoyono," ujar Mugiyanto.

Presiden Yudhoyono termasuk jarang berbicara soal hak asasi manusia dan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, terutama jika dibandingkan dengan isu korupsi atau reformasi birokrasi. Pada saat memberikan pidato di depan Sidang Paripurna DPR, 16 Agustus 2006, Presiden Yudhoyono mengungkapkan, kondisi HAM Indonesia membaik karena tak terjadi lagi pelanggaran hak asasi manusia. Presiden juga menyebutkan, Indonesia dipercaya duduk sebagai Dewan HAM PBB dan telah meratifikasi dua kovenan internasional. Presiden juga menyinggung soal segera terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Apa yang disampaikan Presiden di Sidang Paripurna DPR adalah sebuah fakta? Indonesia telah meratifikasi dua kovenan internasional adanya kenyataan, Indonesia terpilih dalam Dewan HAM PBB adalah realitas. Namun pada sisi lain, KKR tak jadi lahir karena dipangkas Mahkamah Konstitusi sebelum Presiden menyerahkan ke-42 nama calon anggota KKR ke DPR juga adalah suatu fakta yang seharusnya mendapat tanggapan dari Presiden. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu yang mandek adalah fakta yang menuntut kepemimpinan politik Presiden. Dan adanya 13 korban penculikan yang tak diketahui nasibnya adalah kewajiban konstitusional Presiden untuk menyelesaikannya karena mereka adalah warga negara Indonesia.

Hasil penyelidikan Komnas HAM menunjukkan sepuluh aktivis diculik kemudian dilepaskan. Mereka adalah Mugiyanto, Aan Rusdianto, Nezar Patria, Faisol Riza, Rahardjo Waluyo Djati, Haryanto Taslam, Andi Arief, Pius Lustrilanang, Desmond Mahesa, dan "St". Dalam laporannya, Komnas HAM menyebutkan, satu orang yang kemudian diketahui tewas adalah Leonardus Nugroho Iskandar alias Gilang. Gilang ditemukan pada 23 Mei 1998 di hutan Watu Mloso, Kecamatan Plaosan, Magetan, Jawa Timur.

Komnas HAM juga menyebutkan, 13 korban belum diketahui nasibnya. Mereka adalah Yani Afrie, Sonny, Herman Hendrawan, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Petrus Bima Anugerah, Wiji Thukul, Ucok Munandar Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Naser.

Mugiyanto tak bisa memberikan tanggapan terhadap nasib 13 orang itu. Namun, Mugiyanto mengasumsikan ke-13 orang lain itu masih hidup karena memang belum ada indikasi mereka meninggal.

Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara juga berpendapat serupa. Bagi Komnas HAM, ke-13 orang itu harus dikonstruksikan masih hidup. "Negara harus segera memastikan nasib mereka dan memberitahukan kepada keluarga kondisi mereka," kata Abdul Hakim.
Wahyu Susilo, adik dari Wiji Thukul, kepada Kompas menuturkan bahwa kepastian nasib Wiji amat dinanti oleh Sipon (istri Wiji Thukul). "Status itu tentunya menyangkut status perdata Mbak Sipon," ujar Wahyu.

Dalam konteks seperti itulah, rasanya tepat jeritan Mugiyanto agar Presiden Yudhoyono bersuara. Saatnya Presiden menunjukkan kepemimpinan politiknya yang jelas dan dalam bahasa terang untuk menyelesaikan kasus orang hilang.

Teriakan Mugianto adalah jeritan kemanusiaan agar Presiden memberi perhatian kepada mereka yang tak kuasa berbicara. Karena kenyataannya, surat Komnas HAM yang dikirim dua bulan lalu baru mendapat perhatian Istana setelah ramai disuarakan korban.
Membaca ringkasan eksekutif Komnas HAM, penghilangan orang secara paksa 1997-1998 adalah bagian dari political disappearences (pelenyapan politik) oleh aktor-aktor negara.
Raker Komisi III DPR dengan Jaksa Agung, Senin kemarin, mengagendakan raker khusus mengenai penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Raker khusus itu akan digelar pekan depan meski belum ada tanggal yang pasti.

Pengalaman empirik hampir sembilan tahun sejak Soeharto turun, paling tidak memberikan pesan: masa lalu harus diselesaikan! Jika tidak, masa lalu akan terus saja membayangi masa kini dan menggelayuti masa depan sehingga perjalanan ke depan akan terus tersendat.

Seperti ditulis Taufik Abdullah dalam pengantar buku Bersaksi di Tengah Badai, "Masa lalu adalah negeri asing. Siapa tahu di sana, di negeri asing itu, terletak sumber dari ketidakberesan yang kini atau ’di sini’ kita rasakan. Kalau perjalanan ke masa lalu, seperti juga ke negeri asing, bisa dilakukan, bukankah sebaiknya unsur-unsur yang menyebabkan ketidakberesan itu diperbaiki di sana agar yang terjadi di sini baik-baik saja."

Berjalan ke masa lalu dalam konteks ini adalah menelusuri kembali pelenyapan politik 1997-1998 dan kemudian menjadikannya sebagai prinsip dasar untuk menghargai manusia dan kemanusiaan.

Individual memory (memori individual) bisa dibungkam seiring datangnya kematian. Namun, ingatan sosial (social memory) akan tetap hidup meskipun kematian telah menjemput. Dan, ingatan sosial akan terus mempertanyakan impunitas!

NAVIGATION
BUKU BARU!!!

Image and video hosting by TinyPic>

Kebenaran Akan Terus Hidup
Jakarta : Yappika dan IKOHI xx, 220 hlm : 15 x 22 cm
ISBN: Cetakan Pertama,
Agustus 2007
Editor : Wilson
Desain dan Tata letak :
Panel Barus
Diterbitkan Oleh :
Yappika dan IKOHI
Dicetak oleh :
Sentralisme Production
Foto : Koleksi Pribadi

Dipersilahkan mengutip isi buku dengan menyebutkan sumber.

Buku ini dijual dengan harga RP. 30,000,-. Untuk pembelian silahkan hubungi IKOHI via telp. (021) 315 7915 atau Email: kembalikan@yahoo.com


NEWEST POST



ARCHIVES


ABOUT



IKOHI was set up on September 17, 1998 by the parents and surfaced victims of disappearances. Since then, IKOHI was assisted by KONTRAS, until October 2002 when finally IKOHI carried out it first congress to complete its organizational structure. In the Congress, IKOHI decided its two priority of programs. They are (1) the empowerment of the social, economic, social and cultural potential of the members as well as mental and physical, and (2) the campaign for solving of the cases and preventing the cases from happening again. The solving of the cases means the reveal of the truth, the justice for the perpetrators, the reparation and rehabilitation of the victims and the guarantee that such gross violation of human right will never be repeated again in the future.

Address
Jl. Matraman Dalam II, No. 7, Jakarta 10320
Indonesia
Phone: 021-3100060
Fax: 021-3100060
Email: kembalikan@yahoo.com


NETWORK


COUNTERPARTS

Indonesian NGOs
State's Agencies
International Organizations

YOUR COMMENTS

Powered by TagBoard
Name

URL / Email

Comments [smilies]



engine: Blogger

image hosting: TinyPic








layout © 2006
IKOHI / content © 2006 IKOHI Indonesia

public licence: contents may be cited with acknowledgement of the owner

best view with IE6+ 1024x768 (scripts enabled)